Membongkar Self-Publishing

“Penghujung tahun 1990-an saya begitu terkompori oleh Dan Poynter lewat bukunya The Self-Publishing Manual. Lalu, awal 2000-an saya mendirikan Bunaya untuk menerbitkan buku berjudul Menggagas Buku. Saya menulisnya, mengeditnya, dan menataletaknya secara mandiri. Lalu, saya menghubungi seorang teman desainer untuk membuatkan cover. Saya cetak di sebuah percetakan sepanjang Pagarsih (Bandung) yang merupakan sentra percetakan skala kecil. Kredit termin 3 bulan pun dikucurkan untuk buku perdana itu. Lalu, saya runtang runtung memasukkan buku ke distributor dan toko-toko buku. Buku saya mengalami cetak ulang kedua. Namun, Bunaya tak bertahan lama karena akhirnya didera masalah keuangan disebabkan penagihan yang gagal total….” (Bambang Trim)

Saya belajar banyak dari pengalaman ini. Indonesia memang bukan Amerika–tempat Dan Poynter besar sebagai self-publisher. Saya makin mengkaji lagi setelah membaca hasil riset doktoral Shum FP yang diterbitkan dengan judul Publish It Yourself: Is Self-Publishng The Option for You?. Menarik bahwa Shum melakukan riset ini untuk meluruskan salah tafsir soal self-publishing dan menguatkan para penulis untuk dapat membuat keputusan tepat soal self-publishing.

Definisi sebenarnya dari self-publishing adalah ketika seorang penulis memutuskan menerbitkan sendiri naskahnya (bahkan mengedit dan menataletaknya sendiri), lalu menggunakan jasa penerbitan dengan kontrol penuh sebagai klien, dan bernegosiasi langsung dengan percetakan. Ia mengontrol secara lengkap semua proses penerbitan, percetakan, dan pemasaran. Ia menginvestasikan waktu dan uangnya hingga memperoleh imbalan lebih besar daripada menerbitkan melalui jalur konvensional penerbitan biasa.

Dengan potensi jumlah penduduk yang besar, kemudian terpisah oleh banyak pulau besar, Indonesia memungkinkan bertumbuh dan berkembangnya self-publisher. Memang ada yang salah kaprah bahwa self-publisher dianggap sebagai ‘bikin penerbit sendiri’. Alhasil, yang mengaku self-publisher itu malah menerbitkan karya-karya orang lain dengan melakukan akuisisi naskah. Padahal, mungkin yang dimaksud small publisher.

Soal ini, sebagai pembuka telah saya jelaskan secara menggebu pada “Training Menggebrak Dunia Penulisan dan Penerbitan Buku Anak II” yang diselenggarakan Dixigraf bersama Salam Learning Center. Minggu depan pada 12 Desember dalam Sesi Cergas, soal ini akan dibahas lebih detail untuk memberikan pemahaman komprehensif soal self-publishing.

Baiknya saya kutipkan tulisan Dan Poynter dalam pengantar buku Shum:

“Self-publishing adalah bisnis yang bagus. Menulis buku adalah kerja kreatif; menjual buku adalah sebuah bisnis. Beberapa orang dapat melakukan keduanya sementara yang lain lebih kreatif dalam soal bisnis. Anda harus menanyakan apakah Anda ingin menjadi seorang penerbit. Jika Anda menginvestasikan uang dalam naskah Anda, Anda dapat membuat lebih banyak daripada apa yang akan Anda dapatkan dari sebuah penerbit; hampir 40% dari harga brutto. Mengapa menerima 6 persen sampai 10 persen royalti ketika Anda dapat menerima lebih banyak lagi? Mengapa berbagi keuntungan?”

Ini betul-betul kompor Dan Poynter. Saya coba analisis dalam rugi laba sebuah penerbit yang dijalankan sendiri. Dengan asumsi kerja sama lewat jalur distributor skala nasional yang mengharapkan diskon 50-55% maka betullah bahwa sebuah self-publisher dapat menikmati margin 15-25% jikalau ia dapat mengelola: 1) biaya editorial buku; 2) biaya produksi cetak buku; 3) biaya promosi; 4) harga jual buku. Tiga faktor penting lain untuk menghasilkan sukses dalam penjualan adalah 1) content (isi buku); 2) context (kemasan buku: cover dan judul); 3) harga yang tangguh.

Self-publishing juga dapat menghemat begitu banyak waktu. Bayangkan, sebuah penerbit dapat memproses penerbitan sebuah naskah dengan jadwal terencana paling cepat 3 bulan. Self-publisher lebih ngebut dari itu. Penulisan naskah sebuah buku anak bergambar (picture book) dapat diselesaikan dalam 1 hari; ilustrasi dan layout buku dapat dikejar dalam 5 hari; proses dummy 1 hari; dan cetak serta finishing 5 hari. Total produksi kurang dari dua minggu. Lalu, kirim ke sebuah distributor skala nasional 1 hari; spreading wilayah Jakarta 3 hari; spreading pulau Jawa 5 hari; spreading luar Jawa 7 hari. Total distribusi dan spreading nasional: 1 + 7 = 8 hari (simultan). Kurang dari sebulan buku Anda sudah selling-in dan dalam rentang 2 bulan kemudian Anda sudah dapat menerima hasil. Semakin produktif Anda menerbitkan judul buku sendiri maka Anda pun akan menikmati hasil semakin besar.

Tapi, jangan terus terlena dengan mimpi indah self-publishing. Ini benar-benar ujian entrepreneurship: siap gagal dan siap bangkrut! Karena itu, saya menyarankan gunakan ‘uang dingin’ untuk bisnis self-publishing, hindarkan uang pinjaman. Sebuah buku anak bergambar 24 halaman (full color) memerlukan ongkos penerbitan tidak kurang dari Rp9-10 juta untuk 3.000 eksemplar.

Apakah bisa dikurangi? Anda dapat menurunkan tiras ke 2.000 cuma akan berimplikasi pada harga buku. Anda pun bisa menurunkan spesifikasi produk, cuma akan berimplikasi pada kualitas fisik buku.

Di sini Anda perlu jeli menangkap peluang buku yang paling dibutuhkan dan diinginkan pembaca sasaran. Kedua, Anda perlu jeli memilih mitra distributor yang memiliki reputasi, sistem informasi berbasis IT, dan juga jaringan nasional. Sekitar 45% market share buku umum ada di Jakarta dan urutan selanjutnya ada di kota-kota, seperti Surabaya, Medan, Pekanbaru, Jogja-Solo, dan Makassar. Jika Anda fokus di Jakarta saja, paling tidak Anda punya peluang lumayan bagus. Ketiga, Anda perlu jeli memilih mitra percetakan yang dapat memberikan skim kredit pembayaran dan tentunya dengan kualitas baik.

Beberapa Persiapan Penting Self-Publisher

Sekali lagi yang perlu Anda pikirkan sebelum memutuskan sebagai self-publisher adalah planning!

Apa planning Anda?
1. Persiapkan analisis naskah dihubungkan dengan kecenderungan dan tren, termasuk keinginan dan kebutuhan pembaca sasaran. Apakah buku Anda memiliki captive market di sekolah, komunitas, ataupun sebuah perkumpulan profesi?

2. Persiapkan alat kerja seperti komputer PC/laptop/notebook dengan kapasitas memori dan hardisk yang memadai, printer laser, scanner, faks, dan kamera digital.

3. Persiapkan referensi standar untuk penulisan Anda berupa kamus dan ensiklopedia, termasuk akses internet untuk mengunduh berbagai data. Internet juga berguna untuk komunikasi dan menerima data dari distributor ataupun mengecek persebaran buku kita di on-line book store. Selain itu, internet juga bermanfaat sebagai sarana promosi serta penjualan langsung.

4. Pada umumnya self-publisher tidak memerlukan gudang untuk menyimpan buku karena biasanya buku dari percetakan dapat dikirim langsung ke gudang distributor. Namun, tidak ada salahnya mengantisipasi retur buku atau mempersiapkan stok buku untuk keperluan direct selling sehingga Anda memerlukan tempat penyimpanan buku.

5. Persiapkan data administrasi yang sederhana berbasis excel karena semua kontrol produk, promosi, dan marketing ada di tangan Anda.

6. Persiapkan presentasi dalam format power point dan juga butir-butir isi buku untuk keperluan talk show, bedah buku, ataupun peluncuran buku yang mungkin harus Anda lakukan.

7. Kalau Anda mengerti keuangan itu lebih baik. Kalau tidak, sewa seorang akuntan untuk menyusun proyeksi rugi laba, neraca, dan cash-flow penerbitan Anda. Percayalah bahwa hal ini sangat sederhana dan bukan sesuatu yang rumit untuk mengontrol satu-dua buku.

Anda ingin tahu lebih banyak…?
Memang sayang ketika Anda tidak dapat mengikuti training yang diselenggarakan Dixigraf pada 12 Desember 2009. Namun, Anda bisa mengontak Dixigraf Publishing Service untuk konsultasi penerbitan di 022-5206640; www.dixigraf.com.

:catatan kreativitas Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia
Penulis 100+ judul buku
Penulis, Editor, Trainer, Konsultan, dan Dosen Bidang Penulisan-Penerbitan

4 thoughts on “Membongkar Self-Publishing”

  1. Mas Bambang, kalau saya menggunakan istilah bisnis mandiri penulisan dan penerbitan buku. Artinya, saya menulis, menataletak (plus desain cover), mencetak (printing; saya beli printer laser jet color), dan baru meminta jasa teman untuk mencetak cover sekalian jilid. Jadi, saya bisa menekan harga cetak buku. Artinya, saya hanya mencetak sekian eksemplar tergantung permintaan (print-on-demand). Trus saya hitung ongkos kirim ke tujuan. Tapi ya repot bener mas….he…he…. Tapi bener mas,exciting! Tengkyu sudah berbagi… Kapan ke Jogja mas??

    1. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gunakan penerbitan swakelola. Ya sejatinya self-publishng memang demikian. Captive market dan mengandalkan jaringan. Tanggal 17-18 Desember saya memberi training menulis buku di Jogja. Coba cek info di blog saya Mas, tentang Akademi Penulis Indonesia (Alinea). Terima kasih.

  2. Abu Usamah as-Sulaimani

    Penerbitan swakelola, mirip dengan istilah swasembada pangan. Benar-benar profesi yang menantang, dan butuh kesiapan mental dan finansial, di samping semangat juang tinggi. 🙂

    1. Ya betul karena ini salah satu pilihan kegiatan kewirausahaan kreatif. Self publishing adalah bisnis maka yang menjalankannya harus berpikir bisnis agar modalnya kembali dan ada keuntungan yang diraih.

Leave a Reply to manistebu Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.