Para Penyelam yang Tidak Minum Air

Teringatlah adagium atau peribahasa asli negeri ini: sambil menyelam minum air. Artinya, dua kegiatan yang dilakukan secara mangkus dan sangkil (efektif dan efisien) karena bersamaan. Lalu, saya menemukan kalimat-kalimat sakti ini:

Membaca untuk meluaskan kefasihan; Menulis untuk menaikkan derajat kefasihan; Mengajar untuk membagi segenap kefasihan.

Mirisnya dalam jagat kemajuan teknologi informasi kini banyak pengajar (guru, dosen, instruktur, fasilitator, widyaiswara) yang justru tidak membaca, apalagi menulis. Ilmu mereka hanya terekam dalam format power point (meskipun ini masuk kategori menulis) dan lalu menguap begitu saja di ruang-ruang kelas. Mereka tidak membaca sehingga seperti katak di bawah tempurung kaca; mereka tidak pula menulis sehingga enggan menggali dan mengawetkan ilmu yang mumpuni.

Kenyataan ini terdapat pada begitu banyak lembaga/instansi pemerintah maupun swasta yang menggagas berbagai program pemberdayaan maupun program pendidikan untuk masyarakat. Para instruktur atau fasilitator yang ditugaskan umumnya memang menguasai teknik berbicara di depan publik dan presentasi, namun giliran mereka diminta membuat modul atau semacam buku panduan (handbook), masalah pun mengadang.

Kondisi ini setali tiga uang terjadi pada para peneliti yang memiliki kepiawaian dalam riset. Giliran membuat laporan hasil riset dan membukukannya, mereka pun memiliki kegamangan. Karya-karya yang dibuat terkadang menimbulkan tawa kecil, bukan sebagai bentuk penghinaan, melainkan tawa yang melahirkan keprihatinan. Sebuah laporan terkadang diserahkan begitu saja untuk dijadikan buku, padahal dalam proses kreatifnya, sebuah laporan harus diadaptasi ke dalam bentuk anatomi atau format buku dengan menghilangkan dan menambahkan beberapa bagian. Pada kenyataannya, kita memang miskin pengetahuan soal kecerdasan literasi, terutama menulis dan menyunting.

Alhasil, kita memang punya banyak ‘penyelam’ di negeri ini, tetapi mereka tidak membuatnya mangkus dan sangkil dengan cara minum air. Artinya, kebanyakan dari mereka memang tidak membaca dan tidak pula menulis. Hal yang terakhir ini memang paling sulit sehingga di dunia pun terkenal sebuah ungkapan:

All scientists are the same, until one of them writes a book.

Jika Anda seorang guru/dosen/fasilitator/trainer/widyaiswara, boleh saja sakit hati mendengar ungkapan itu. Ya, Anda adalah para guru/dosen/fasilitator/trainer/widyaiswara kebanyakan di negeri ini yang tiada bedanya dengan roti (mengutip syair lagu Iwan Fals). Sampai kemudian Anda menulis sebuah buku (buku yang minimal 48 halaman), barulah Anda memang berbeda dari mereka yang kebanyakan itu.

Tidak berhenti sampai di situ. Buku pun akan membuat Anda berbeda dari penulis lainnya jika memang mengandung amanat perubahan, menarik, serta dilengkapi pengayaan (enrichment) dari hasil riset maupun pemikiran. Anda pun akan semakin berbeda jika produktif menghasilkan buku yang tidak lagi satu, tetapi mampu melahirkan 2-5 buku dalam rentang satu tahun.

Sambil menyelam minum air.  Sambil mengajar dan memberikan sekian materi, sebenarnya Anda punya kesempatan bertemu dengan berbagai ide penulisan setiap hari atau setiap saat. Ruang-ruang kelas itu adalah ibarat ruang kontemplasi bagi Anda untuk menstimulus ide-ide yang berasal dari kekuatan ilmu Anda. Karya buku itu adalah pengakuan sekaligus kredibilitas berarti untuk gelar sarjana Anda, master Anda, ataupun doktor Anda.

Sepercik pengalaman mengompori para dosen dan widyaiswara di beberapa perguruan tinggi dan pusdiklat (ITS, Unpad, Polimedia, LIPI Press, IKJ, Bakosurtanal, Kemenperin, Kemenhut, dsb.) untuk menulis buku, membuat saya memang harus mengusung program Gebrak Literasi, terutama dalam hal tulis-menulis di seluruh lembaga/instansi di negeri ini. Saya memang punya ambisi membuat orang melek terhadap penulisan buku, apakah itu fiksi, nonfiksi, serta faksi pada ‘jalan yang benar’. Memang kebenaran itu relatif, namun kebenaran selalu didasarkan pada ilmu, metode, dan filosofi untuk sebuah kemaslahatan. Karena itu, saya hanya menerapkan metode atau langkah standar dalam penulisan: prewriting-drafting-revising-editing-publishing.

Tidak peduli Anda adalah guru/dosen/fasilitator/trainer/widyaiswara dari negeri antah berantah dan pendidikan apa pun, Anda tetap dapat dilatih menulis buku. Syarat utama adalah mau dan mampu menjalani pelatihan yang sifatnya bersinambungan, sambung-menyambung. Karena itu, Anda tidak akan lagi menjadi penyelam yang tidak meminum air.

[Dalam persiapan melakukan penyeliaan penulisan buku seri Creativepreneur, dosen-dosen IKJ. | Training penulisan buku panduan untuk para fasilitator/instruktur implementasi program antikorupsi KPK. | Training Book Writing Revolution 4-5 Feb 2012 @Jogja; 16-17 Feb 2012 @Bandung. Kontak 081320200363]

:: Bambang Trim

komporis buku Indonesia

writer-editor-book packager 

 

13 thoughts on “Para Penyelam yang Tidak Minum Air”

  1. “Membaca untuk meluaskan kefasihan; Menulis untuk menaikkan derajat kefasihan; Mengajar untuk membagi segenap kefasihan.”

    Saya terpana oleh kalimat itu…. 🙂

  2. Setuju, Pak. Banyak banget kasus begini. Jadi inget, pas kemaren barusan ngobrol sama teman yang dosen di salah satu perguruan tinggi, kebiasaan itu pun sudah menulari mahasiswa. Dia sering kesal ketika membimbing skripsi mahasiswa. Dia bilang, “Nung, belum baca isinya, baru liat naskahnya sepintas aja udah sakit mata.” ….
    Dan tentang dosen … banyak juga atau sudah jadi rahasia umum malah, dosen yang menulis buku … bahannya kopas dari internet. Memprihatinkan. Soal kegagapan menulis dan menuangkan pikiran juga pernah diulas oleh seorang teman di blognya di sini http://hasanahworld.wordpress.com/2011/10/04/tentang-tugas-mahasiswa/#comments

Leave a Reply to nsputra Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.