Mengapa Saya Tidak Bisa Kaya dari Royalti (#2)

Apa yang Membuat Penulis Kaya dari Royalti?

Seorang wartawan harian Kompas sepuluh tahun lewat pernah mewawancarai saya. Pertanyaannya: Apakah penulis Indonesia bisa hidup dari royalti (buku)? Saya pun menjawab: Apabila penerbit di Indonesia profesional dalam membayar royalti, penulis dapat hidup dari royalti. Sayang, jawaban saya yang kemudian termuat di Kompas menjadi lain: Bambang Trim mengatakan bahwa banyak penerbit di Indonesia tidak jujur dalam membayar royalti.

Persoalan mengapa penulis tidak bisa kaya dari royalti buku di Indonesia bukan semata soal ketidakjujuran penerbit. Soal penerbit ‘nakal’ itu sudah lagu lama. Namun, saya lebih menekankan kata profesional, bahkan secara tegas dapat saya katakan: “Kalau penerbit belum siap mengelola sistem royalti, sebaiknya tidak usah memberlakukan royalti. Berlakukan saja sistem beli putus (outright) dengan masa eksploitasi tertentu (3-10 tahun).”

Mari kita selisik bersama dari sisi penulis dan juga penerbit secara positif apa yang sebenarnya membuat Anda bisa kaya dari royalti.

Anda bisa kaya kalau produktif menulis. Ya, Anda bisa mengharapkan penjualan royalti menjadi besar kalau produktif menghasilkan buku paling tidak satu setiap dua bulan (6 judul setahun). Karena itu, Anda punya cadangan royalti. Mari berandai-andai Anda punya 6 judul, royalti 10%, harga rata-rata buku Anda Rp30.000,00, dan oplag rata-rata 3.000 eksemplar. Jadi, Anda punya cadangan royalti dengan asumsi semua terjual Rp9.000.000,00 x 6 = Rp54.000.000,00. Kalau Cuma terjual 50%nya, Anda punya cadangan Rp27.000.000. Bisakah uang Rp27.000.000 membuat Anda menjadi kaya? Belum, masuk ke kelas menengah juga masih kurang. Ukuran kelas menengah di Indonesia adalah mereka yang memiliki rumah sendiri tipe 36-45, kendaraan pribadi berupa mobil keluaran di atas tahun 2.003-an, dan tabungan plus asuransi—meskipun benda-benda tadi masih kredit. Selain itu, ukuran kelas menengah Indonesia kini adalah mereka yang menghabiskan biaya Rp6-Rp8 juta per bulan. Jika Anda cuma berharap dari angka Rp27 juta per tahun, Anda belum bisa disebut kelas menengah; pun jika Anda berpenghasilan Rp54 juta per tahun. Jadi, sebenarnya 6 judul buku pun tidak akan membuat Anda lantas kaya. Mungkin target yang bisa Anda kejar adalah 12 judul per tahun, itu pun dengan syarat terjual semuanya dalam setahun.

Anda bisa kaya kalau buku yang diterbitkan berharga tangguh. Harga yang tangguh? Harga yang memenuhi ekspektasi kebanyakan pembaca di Indonesia itu adalah Rp25.000-Rp30.000. Mereka akan mengatakan bahwa buku itu terjangkau atau murah. Harga-harga buku di pasar ritel seperti Indomaret atau Alfamart tidak jauh dari angka itu. Pengunjung toko ritel itu memang beragam dan kebanyakan masyarakat menengah ke bawah, yang baca buku juga dapat dicirikan. Buku-buku yang dipajangkan juga tidak jauh-jauh dari buku anak, buku kumpulan SMS, buku kumpulan puisi cinta, buku kumpulan humor, buku resep masakan, dan buku-buku kategori fast book lainnya. Ya, Anda sulit kaya kalau kebanyakan buku yang Anda buat dan terbitkan berharga Rp25.000-Rp30.000-an. Lakunya? Jika setahun habis 3.000 eksemplar, itu sudah hebat. Mengapa? Buku instan seperti ini yang buatnya bisa 20-30 orang penulis. Anda berebut pada ceruk pasar yang ramai dan kebanyakan memang diramaikan para penulis amatiran. Karena itu, buku-buku ini biasa dibeli dengan sistem beli putus tadi (outright) dengan harga Rp500.000-Rp1.000.000. Ya, untuk kaya Anda harus punya karya masterpiece dengan harga tangguh di atas Rp50.000,00. Royaltinya pun akan terasa nendang.

Anda bisa kaya kalau buku yang diterbitkan memang buku laris. Hal ini berhubungan dengan harga yang tangguh dan kelarisan buku. Percuma Anda punya buku seharga Rp75.000.000, tetapi lakunya setahun cuma 200 eksemplar. Apa ukuran laris itu? Bagi saya ukuran laris itu ya kalau sudah mampu cetak ulang kedua atau buku paling tidak terjual 4.000-5.000 eksemplar dalam setahun. Ini belum masuk ukuran best seller. Best seller itu ya kalau sudah masuk cetakan ketiga dan seterusnya, lalu mampu bertahan dalam rentang 2-3 tahun tanpa putus dengan angka penjualan di atas 50.000 eksemplar. Perhatikan tanda-tanda buku best seller: cetakan I 3.000 (tes pasar), cetakan II 5.000 (optimis), cetakan III 10.000 (yakin). Rentang cetakan I-III bisa terjadi dalam 3 bulan dan kemudian terjadilah ledakan di atas angka penjualan 18.000 eksemplar tadi. Ya, kalau begini, penerbit sudah happy banget karena sudah BEP sekaligus untung untuk buku tersebut. Tentu yang kita sebut ledakan jika memang terjadi penjualan di atas 30.000 eksemplar dalam setahun, artinya sepuluh kali lipat penjualan normal (3.000 eksemplar). Penulis tentu bisa kaya mendadak kalau yang terjadi seperti ini walau dia cuma nulis satu buku. Kalau kemudian terjadi best seller (asumsi penjualan di atas 50.000 eksemplar), ya penulis bisa kaya beneran, apalagi jika bukunya yang meledak bukan cuma satu judul. Karena itu, jangan tertipu dengan klaim best seller atau seorang penulis yang mengajari Anda bagaimana menulis buku best seller, padahal dia sendiri belum tampak menjadi kelas menengah Indonesia alias orang kaya baru. Jangankan jadi penulis best seller, menjadi penulis buku laris saja belum kesampaian. Penulis buku best seller itu untuk masa kini jelas di Indonesia, seperti Andrea Hirata, Dewi Dee, Raditya Dika, Asma Nadia, Ippho Santosa, Andrias Harefa, Rhenald Kasali, Quraish Sihab, dan ada beberapa lagi. Ya, penulis di luar negeri, khususnya di negara yang perbukuannya sudah maju, angka ‘kutukan’ 3.000 eksemplar itu sudah tidak berlaku. Mereka sudah terbiasa dengan buku-buku yang laris di atas angka itu dan menerima royalti ribuan hingga puluhan ribu dolar dalam rentang setahun, apalagi jika bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Anda bisa kaya kalau Anda proaktif ikut menjual buku.Nah, Anda juga bisa kaya kalau ikut menggenjot penjualan buku, apalagi jika Anda seorang public speaker. He-he-he jangan sampai Anda mengisi training tentang bagaimana memasarkan diri, memasarkan produk, atau motivasi lainnya, tetapi menjual buku sendiri malah memble. Anda akan dapat keuntungan dua kali jika mampu memainkan posisi tawar dengan penerbit. Misalnya, dari 3.000 cetakan pertama, Anda berani mengambil secara konsinyasi (titip jual) sebanyak 500 eksemplar untuk dijual sendiri. Untuk hal ini, penerbit dapat memberi Anda diskon 35%-40% bergantung pada besarnya nilai transaksi dan posisi tawar Anda. Jadi, Anda bisa dapat untung dari diskon dan juga bisa dapat royalti dari penjualan yang Anda lakukan sendiri. Paling tidak Anda dapat mengontrol penjualan yang Anda lakukan sendiri. Penerbit tentu bersenang hati dengan tipe penulis yang mau berpayah-payah ikut menjual seperti ini di berbagai event maupun kesempatan ia bisa bertemu komunitas ataupun massanya. Kini, penerbit paling senang mencari para penulis yang punya follower di twitter hingga ratusan ribu sampai jutaan follower. Paling tidak sekali ngetweet, sang penulis bisa mengompori banyak orang untuk membeli bukunya.

Anda bisa kaya kalau strategi dan sistem penjualan penerbit berjalan baik. Sekuat apa pun buku Anda, setangguh apa pun harga buku Anda, akan sia-sia jika buku Anda dikelola penerbit yang tidak profesional dalam pemasaran. Penerbit seperti ini meskipun punya tim pemasaran (marketing), terkadang buku Anda justru tidak terpromosikan, tidak terdisplay dengan baik, sulit ditemukan, dan akhirnya tidak terjual. Pemasaran buku tentu adalah sebuah strategi dan usaha yang harus dilakukan penerbit untuk mendongkrak penjualan sebesar-besarnya. Namun, memang banyak terjadi buku bagus, justru tidak laku, sulit dicari, bahkan akhirnya dibiarkan mati dengan sendirinya. Jika buku Anda diterbitkan oleh penerbit seperti ini, Anda tidak akan bisa kaya sampai kapan pun. Apa yang ada adalah bête, kesal, galau, dan akhirnya…. cape deh. Karena itu, terkadang memang jarang-jarang ada penerbit yang sudah mapan sistem maupun strategi penjualannya sehingga Anda sebagai penulis cukup tenang dan nyaman menitipkan karya Anda pada penerbit tersebut.

Anda bisa kaya kalau sistem pelaporan penerbit profesional. Adakah penerbit yang tidak tahu sampai hari ini buku Anda terjual berapa eksemplar? Jawabnya, ada! Hal ini disebabkan sistem pelaporan yang tidak standar, kacau, dan tidak terkoneksi pada distributor ataupun cabang-cabang penjualan. Idealnya input hasil penjualan dilakukan harian oleh distributor sehingga data penjualan dapat ditampilkan dan diakses secara online oleh penerbit atau paling tidak data ini dapat diterima mingguan. Celakanya data ini terkadang dikumpulkan pada saat penerbit hendak membayarkan royalti. Tentu jika pantauan penjualan tidak dilakukan bulanan, bahkan mingguan, alamat penjualan buku per judul juga tidak terperhatikan trennya. Kebanyakan penerbit memang merasa buku itu bisa hidup sendiri tanpa harus ada promosi, strategi display, strategi event, strategi penempatan, dan sebagainya. Alhasil, begitu ada buku yang baru terbit, buku yang lama kerap dilupakan dan Anda pun dilupakan sebagai penulis. Itulah mengapa catatan dan laporan royalti Anda tidak akan memuaskan Anda.

Bagaimana mungkin ketika menunggu setahun Anda hanya  mendapatkan royalti Rp500.000 sampai Rp1.000.000? Lebih baik memang menulis artikel di media massa dengan masa tunggu paling lama 1-2 bulan dan Anda sudah bisa mengantongi lebih dari Rp500.000.  Biasanya kalau sudah begini yang muncul adalah saling menyalahkan bahwa buku yang Anda tulis memang kurang laku di pasaran. Sebaliknya, Anda pun menyerang penerbit dengan ungkapan tidak becus menjual.

Jadi, kesimpulannya urusan royalti itu berkelindan antara penulis-penerbit dan faktor-faktor yang memengaruhinya, seperti konten buku, momentum/event, harga buku, oplag/tiras buku, daya jual buku (kadang disebut juga daya serap), strategi pemasaran buku, dan sistem pelaporan penjualan buku. Penulis tidak akan pernah bisa kaya selama penerbit juga belum siap benar menerapkan sistem royalti yang standar dan belum siap benar mengelola pemasaran buku yang optimal.

Terus terang saya mampu membeli rumah dari hasil royalti buku pelajaran bahasa Indonesia SD yang saya susun sebanyak 6 kelas, lalu kemudian saya menerima royalti dalam rentang tiga tahun dengan jumlah lebih dari dua ratus juta rupiah. Royalti sedikit besar lainnya yang saya gunakan untuk biaya menikah dan membeli sedikit kemewahan adalah dari hasil buku pelajaran bahasa Indonesia SMP yang lolos proyek pengadaan buku dengan dana dari World Bank. Jika ditanya buku-buku umum, rata-rata royalti yang saya terima hanya kisaran jutaan, tidak sampai ke angka belasan, apalagi puluhan juta setahun. Belum lagi terhitung royalti yang tidak dibayar oleh penerbit karena penerbitnya bangkrut, hidup segan mati tak mau, lupa, dan sebagainya. Angka puluhan juta justru saya dapat dengan mengandalkan jasa co-writing dan ghost writing buku tanpa perlu memikirkan risiko royalti.

Peluang lain saya lakukan dengan memanfaatkan kecepatan dan keterampilan menulis yaitu dengan sistem jual putus ke penerbit. Saya dapat menyelesaikan naskah 50-70 halaman per hari (dalam kondisi prima) sehingga dapat menyelesaikan sebuah buku format sedang (64-140 hlm.) hanya dalam tempo 3-5 hari. Dari sini kita dapat menghitung antara waktu dan kemampuan yang kita gunakan layak untuk dibayar flat mulai Rp1.500.000-Rp7.000.000 per buku jika ditawarkan ke penerbit. Alhasil, lebih menguntungkan daripada menunggu royalti setahun untuk angka Rp1.000.000. Ya, kalau royalti yang kurang siap dilakukan penerbit, kemudian kita cuma menerima Rp1-Rp2 juta per tahun, sampai lumutan juga tidak akan bisa kaya.

Nah, inilah sebagian the untold story soal royalti yang terkadang menjadi pertanyaan, soal bisa tidaknya penulis hidup mapan dari royalti. Hal ini berpulang kembali kepada sang penulis. Apakah ia bisa benar-benar menjadikan menulis sebagai karier, pekerjaan, atau bisnis? Atau ia cuma sekadar menulis buku itu untung-untungan, hanya sebagai portofolio, atau juga sebagai pengakuan saja? Akan sangat berbeda dari sisi visi dan misi menulis buku itu sendiri. Kalau visi dan misinya sangat ideal seperti demi mencerdaskan bangsa tanpa embel-embel, ya tidak usah memikirkan royalti, menulis saja dan terbitkan. Namun, jika visi dan misinya profesional, ya tentu harus membuat buku yang bagus kualitasnya, laku dijual, serta ikut bertanggung jawab memasarkannya. Dorongan finansial dan lakunya bukulah yang membuat Anda akan menjadi penulis produktif karena merasakan benefit dari hasil kerja Anda. Mandeknya penjualan sebuah buku, tidak adanya hasil yang dapat Anda nikmati, jelas akan membuat Anda ‘malas’ untuk menulis buku lagi. Kreativitas Anda pun akan terhenti.

(Masih bersambung ….)

©2012 oleh Bambang Trim

Komporis Buku Indonesia

12 thoughts on “Mengapa Saya Tidak Bisa Kaya dari Royalti (#2)”

  1. Mungkin agar buku kita laku sebaiknya jadi Penulis Cerita Anak atau komikus dengan syarat cetak sendiri secara SELF PUBLISHING dan jual dengan harga 5000 pasti banyak anak indonesia yang beli

  2. Peng Kheng Sun

    Saya cari-cari sub judul “Anda bisa kaya kalau masyarakat Indonesia lebih dari 50% sangat gemar membaca!” tapi kok tidak ketemu.

  3. Bambang Trim, “Terus terang saya mampu membeli rumah dari hasil royalti buku pelajaran bahasa Indonesia SD yang saya susun sebanyak 6 kelas, lalu kemudian saya menerima royalti dalam rentang tiga tahun dengan jumlah lebih dari dua ratus juta rupiah”.
    Aq sudah menulis buku pelajaran bahasa Arab SD, SMP, SMA tapi belum menerima hasil penjualannya bahkan 1 jt pun belum. Bagaimana pak Bambang? Apa yang sebaiknya aq lakukan untuk saat ini?

  4. Pingback: Untukmu - BNGPY: OBROLAN RINGAN DALAM BENTUK TULISAN

Leave a Reply to yudhiherwibowo Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.