Juri Menulis

Mengikuti sayembara penulisan memang biasanya mewarnai karier seorang penulis. Sebuah lomba yang diikuti dan menjadi juara sebagai pengakuan tidak terkira. Tentu di balik lomba itu pun ada sesuatu yang membuat bangga yaitu tentang siapa jurinya. Rasanya tidak afdol ketika dinyatakan menang, kita tidak tahu siapa yang menjadi jurinya walaupun biasanya dirahasiakan pada awal-awal.

Kata-kata ‘keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat’ menandakan betapa kredibilitas juri dipertaruhkan untuk menentukan sebuah karya berhak mendapat penghargaan. Walaupun demikian, menjuri sebuah tulisan tidak dapat lepas dari unsur subjektivitas yang tentunya didukung oleh opini dan ilmu sang juri. Boleh jadi sebuah karya yang dinyatakan menang ternyata dicibiri oleh banyak orang sebagai karya yang tak pantas menang dan ini memang ada atau banyak terjadi.

Saya mengalami masa-masa ikut sayembara atau lomba menulis ini pada akhir tahun 1990-an. Menyabet juara I pada Lomba Cerita Keagamaan Depag RI yang kali pertama diselenggarakan membuat saya bangga bukan kepalang, terutama di antara sederetan juri ada nama sastrawan besar, Ibu Titie Said. Pun ketika saya menjadi juara I Lomba Penulisan Artikel dalam rangka 50 Tahun Ikapi, saya bersuka cita karena salah satu jurinya Hermawan Sulistyo, peneliti LIPI yang juga pakar politik. Satu lagi juga yang membuat saya bahagia ketika lolos dalam penilaian Program Pustaka I Adikarya Ikapi dan Ford Foundation, skripsi saya yang disulap menjadi buku pun diloloskan terbit. Seseorang yang memberi rekomendasi lolos adalah tokoh yang sangat saya kagumi dalam perbukuan yaitu Pak Alfons Taryadi. Semua ini menjadi kenangan tak terlupakan dalam karier kepenulisan saya.

Masa-masa selanjutnya, berbalik saya yang diminta menjadi juri. Saya pernah ikut memberi penilaian pada sayembara buku sastra Khatulistiwa Literary Award–salah satu penghargaan sastra bergengsi yang masih eksis. Lalu, juga pernah menjadi juri untuk Islamic Book Fair Award yang waktu itu diketuai Bapak Nazaruddin Umar, untuk menilai ratusan buku dengan berbagai kategori. Ini pun menjadi pengalaman berharga, di samping sebenarnya pekerjaan saya sepanjang 1995 sampai kini pun adalah menilai naskah dan meloloskan naskah untuk diterbitkan di dapur penerbit buku. Pekerjaan editing sama dengan pekerjaan menjurii naskah-naskah untuk dinyatakan layak terbit. Dalam ranah akuisisi (acquiring) naskah ada model kriteria untuk menyatakan sebuah naskah lolos dan layak diterbitkan–pandangan-pandangan subjektif editor juga bisa terlihat, namun tetap saja ia harus mempertahankan argumennya dengan wawasannya, terutama dalam meyakinkan bagian marketing.

Soal juri menulis ini saya merasa ada yang hilang ketika maraknya audisi penulis untuk menjaring para penulis pemula. Ada audisi yang mencantumkan benar siapa jati diri penyelenggaranya dan tentu berikut dewan juri yang terhormat. Namun, kebanyakan audisi memang tidak jelas siapa penyelenggara dan siapa jurinya sehingga sangat meragukan kapabilitas dan kredibilitas mereka untuk menyatakan sebuah naskah layak menjadi pemenang dan mendapatkan hadiah ratusan ribu rupiah, sertifikat, serta buku contoh. Bagi sebagian besar penulis pemula itu tentu ‘EGP’ alias emang gue pikirin yang penting menang dan naskah gue bisa terbit. Ah, inilah zaman yang telah berubah, terkadang merasa membuang energi memikirkannya, tetapi terkadang menggelitik rasa untuk mengabarkannya. Apakah seorang juri tak penting lagi untuk kau ketahui? Jangan-jangan ia sendiri (sang juri misterius itu) tidak pernah menulis dan tidak pernah menang satu lomba pun. Beu! []

Ba(ha)sa Basi Bambang Trim

Hanya5Alinea ©2012 oleh Bambang Trim

6 thoughts on “Juri Menulis”

  1. ya emang aneh, euforia menulis memang terjadi.sampai-sampai menulis buku seolah-olah mudah banget. Berbeda dgn tempo dulu, sekedar menulis artikel pun demikian beratnya lolos seleksi–apalagi buku…apakah ini pertanda baik atau buruk?

    1. Pertanda meningkatnya minat menulis iya karena kemudahan yang ditawarkan dunia maya terutama. Namun, peningkatan ini juga membawa keburukan karena segala sesuatu menjadi instan tanpa proses. Tapi inilah dinamika dan tetap saja penulis yang berproses akan menjadi matang di antara yang lainnya. 🙂

  2. mas roro Diah WL

    Waktu SMu dan Kuliah saya memang beberapa kali menjadi juara Karya ilmiah remaja. Menyabet juara 1 dan juara 2 tingkat propinsi dan termasuk penulis karya ilmah tingkat nasional peringkat ke 100. Namun itu dulu. Saya teringat bahwa pernah mendapatkan uang banyak dari menjuarai event tulis menulis. Uang hasil kejuaraan menulis saya pergunakan untuk usaha jual beli baju. Itu dulu..Dulu karya cerpen saya pernah di terbitkan dan mendapat sambutan dari kawan sekampus karena buat heboh. Saya juga aktif menulis esai di koran derah dan kampus. Ah itu dulu…Saya telah tidur lama untuk tidak menulis lagi ketika secara beruntun saya gagal menjuarai berapa event nasional. Saya berpikir mungkin saya terlalu sombong sehingga Allloh tidak mengijinkan saya menjadi juara lagi. Sibuk mengurus keluarga dan kerja membuat saya vacum menulis. Saya telah tidur panjang hampir 20 tahun lamanya. Sekarang saya cuman sebatas penulis pengalaman-pengalaman saya di FB. Ya..menyalurkan hoby saya sebagai penulis karena saya ingat pesan bapak “sebagai penulis perlu dikomporin” itu sewaktu bapak kirim dan nangkring di FBsaya .

    1. Ya karena menulis sebuah keterampilan. Ada keberbakatan yang tumbuh disebabkan latihan terus-menerus sehingga menebalkan myelin menulis. Dua puluh tahun cukup membuat myelin itu menipis dan membuat kaku semua ‘otot-otot menulis’. Jadi, terbuka pilihan memang menjadikannya sekadar hobi atau menjadikannya sebagai gantungan hidup. Yang pasti menulis membuat kita lebih hidup. 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.