Wajah Lembaga di Dalam Buku

 Dinamika lembaga negara di Indonesia ini memang kencang sekali perubahan maupun kiprahnya pascareformasi. Kita mengenal seperti Komisi Yusidial atau Mahkamah Konstitusi yang baru dibentuk. Selain itu, ada pula lembaga lama seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kedudukannya sekarang adalah lembaga negara, setara dengan Presiden maupun DPR.

Hari Kamis, 13 Desember 2013, saya diminta menjadi moderator mewakili Ketua Ikapi dalam acara sosialiasi yang diselenggarakan BPK dengan judul panjang “Mengenal BPK Lebih Dekat: Upaya Mendorong Terwujudnya Tata Kelola Keuangan Negara yang Akuntabel dan Transparan Melalui Proses Pembelajaran di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah”. Acara yang diadakan di Hotel Grand Sahid Jaya ini dihadiri lebih kurang 20 orang dari unsur penulis dan editor penerbit dari perkiraan peserta 60 orang.

Boleh dikatakan dinamika organisasi membuat BPK perlu menyosialisasikan organisasi dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi)  BPK kepada khalayak. Ada kegalauan tersendiri karena buku-buku pelajaran masih banyak yang memuat BPK sebagai lembaga tinggi negara, padahal istilah “lembaga tertinggi” dan “lembaga tinggi” negara sudah tidak berlaku lagi setelah MPR disejajarkan menjadi lembaga negara pasca-amandemen UUD 1945 bersama DPR, Presiden, MK, MA, KY, BPK, dan lainnya. BPK termasuk lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan Presiden, DPR, dan MPR. BPK dipimpin secara kolektif yang disebut Ketua BPK (bukan kepala BPK) dengan anggota 9 orang.

Atas kepentingan itu BPK mengundang juga Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud yang diwakili Dr. Sumiyati, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang diwakili Dr. Eko Indrajit, dan Kepala Pusdiklat BPK, Dr. Cris Kuntadi. Diskusi pun berkembang soal materi tentang BPK di dalam kurikulum, terutama momentum isu kurikulum 2013 dan bagaimana pengembangan materi itu dilakukan oleh penulis dan editor. Alih-alih membicarakan materi BPK, isu hangat pun dilontarkan kepada Puskurbuk soal rencana pembuatan buku babon (induk) pelajaran serta uji publik Kurikulum 2013. Jawaban-jawaban tangkas justru dikemukakan wakil BNSP, Pak Eko Indrajit menanggapi kekhawatiran para penulis dan editor yang kebetulan mewakili penerbit swasta itu.

Dalam sepengamatan saya memang dinamika organisasi ataupun lembaga-lembaga negara ini yang mengalami perubahan sekaligus perkembangan kadang luput di-update di dalam buku-buku pelajaran. Pola pembelajaran “otak kiri” seperti yang ditengarai Pak Eko Indrajit pada masa ORBA memang membentuk ingatan kita yang tidak lepas dari penyebutan BPK sebagai lembaga tinggi negara. Hal yang juga membuat kacau ketika BPK dirancukan dengan BPKP yang kepanjangannya Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Ada yang menyebut BPKP adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan atau Badan Pemeriksa Keuangan Pusat, padahal BPK dan BPKP dua lembaga yang berbeda karena BPKP berada langsung di bawah Presiden.

Wacana yang mengemuka soal lembaga di dalam buku ini adalah tentang pengenalannya pada jenjang pendidikan tertentu dari dasar hingga menengah. Apakah BPK mau disajikan secara induktif dengan mengenalkan nilai-nilai yang diusungnya terlebih dahulu (independensi-integritas-profesionalisme), baru kemudian secara deduktif tentang lembaga BPK berikut tugas dan fungsinya? Soal nilai-nilai BPK ini dapat ditunjukkan dari contoh sederhana bagaimana seorang anak mengelola uang sakunya, lalu orangtua melakukan pengecekan terhadap penggunaan uang saku (pola induktif). Adapun model hafalan deduktif seperti apa itu BPK, apa tugasnya, dapat dikenalkan secara simultan pada tiap tahap pembelajaran.

Salah satu kepentingan yang disampaikan Kapusdiklat BPK bahwa BPK ingin anak-anak, remaja, sampai masyarakat umum mengenal mereka dan muncul juga keinginan dari generasi muda untuk menjadi bagian dari BPK. Independensi BPK kini juga suatu hal yang “menarik” untuk diketengahkan kepada khalayak. Fenomena yang terjadi pada penyelenggara negara yang disampaikan sebagai joke bahwa mereka (penyelenggara negara) lebih takut kepada BPK atau KPK daripada kepada Tuhan, sungguh hal yang membuat miris. BPK bukan untuk ditakuti, melainkan dipahami sehingga muncul kehati-hatian dan profesionalitas dalam pengelolaan keuangan negara.

BPKTentang mengungkap sesuatu lewat tulisan ini sebenarnya saya tertarik bicara soal buku dan bagaimana wajah lembaga itu ditampilkan di dalam buku. Baru saja saya menyelesaikan proyek pengembangan buku materi antikorupsi untuk KPK yang disajikan secara lebih populer untuk pembaca sasaran remaja dan masyarakat umum. Saya melihat KPK sudah lebih dulu “agresif” menerbitkan buku atau menjadikan buku sebagai media sosialisasi, salah satunya dengan program penerbitan buku anak Tunas Integritas berikut program turunannya berupa lokakarya untuk guru-guru.

Untuk soal buku ini, saya pun sudah melihat BPK membuat buku saku yang naskahnya dikerjakan Dr. Ade Armando, karikatur Benny Rachmadi, dari Satu Kata Communication. Buku berjudul Mengenal Lebih Dekat BPK ini dibagikan gratis kepada para peserta sosialiasi tanggal 13 Desember 2013. Buku format saku fullcolor ini lengkap membahas soal BPK walaupun penyajian kontennya masih terasa formal. Kesan  ngepop-nya terbantu dengan karikatur-karikatur buatan Benny. Buku lain yang saya terima dan menarik juga adalah buku Museum BPK Bercerita. Sayang buku ini tidak dapat dijejaki halaman hak ciptanya: siapa yang menulis, siapa yang menataletak, ISBN, dan tahun berapa diterbitkan tidak ada informasinya.

Membukukan Lembaga

Bagaimanapun selain mendorong materi BPK disisipkan secara lengkap dan benar di dalam kurikulum lewat Puskurbuk dan BSNP, upaya mandiri dari BPK untuk membuat program-program sosialiasi mengandalkan media buku yang lebih populer juga penting, termasuk program buku-buku digital yang dapat dikerjasamakan misalnya dengan Qbaca Telkom (ekosistem buku digital). Selanjutnya, penerbitan buku sebaiknya juga mengikuti standar penerbitan buku dari anatomi hingga identitas buku yang ber-ISBN. Ikapi dapat membantu BPK untuk membuat program penerbitan sosialisasi, termasuk pengembangan materi untuk pendidikan dasar (anak-anak SD) lewat Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (ALINEA) misalnya.

Satu kata kunci penting dalam soal menyajikan wajah  lembaga sebagai konten baca adalah “kreativitas” dari lembaga-lembaga itu sendiri, terutama biro humas ataupun biro kependidikannya. Tampilan-tampilan buku haruslah dibuat sedemikian menarik dengan spesifikasi dan format yang juga tepat. Buku multimedia juga tidak dapat diabaikan mengingat munculnya generasi digital dan menderasnya penggunaan internet di Indoensia. Selain itu, setelah penerbitan buku perlu dipikirkan pula program turunan seperti lokakarya ataupun bedah buku yang dapat dirancang secara kreatif-atraktif.

Pendeknya, kita perlu sadar terhadap kedigjayaan buku untuk mengalirkan informasi, termasuk tentang lembaga-lembaga pemerintah, BUMN, perguruan tinggi, ataupun perusahaan swasta di Indonesia. Memang minim sekali terbitan ataupun sosialisasi terbitan dalam bentuk buku tentang sebuah lembaga/instansi/perusahaan yang mengungkap tidak hanya sejarah, kiprah, ataupun kisah sukses, tetapi juga kepentingannya untuk masa mendatang. Karena itu, tahun 2013 mendatang dapatlah diprogramkan juga penerbitan buku sebagai program kerja yang berbasis edukasi untuk masyarakat ataupun selingkung lembaga/instansi/perusahaan.[]

© 2012 oleh Bambang Trim

Komporis Buku Indonesia ~ penulis, editor, penerbit, dan konsultan penulisan-penerbitan buku

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.