Buku yang Bukan Buku

Pengalaman mengisi berbagai pelatihan penulisan buku akademik kerapkali membawa saya pada diskusi dan pertanyaan-pertanyaan terkait definisi, terutama definisi buku itu sendiri. Hal ini penting ketika kemudian muncul semacam sindiran bahwa di kalangan akademisi sendiri kerap menulis buku yang “bukan buku”.

Diskusi menarik soal ini terutama terjadi saat saya menyelia penyusunan pedoman penulisan buku untuk Balai Cetak dan Reproduksi LIPI (LIPI Press). Bagaimana sebuah buku didefinisikan? Dalam banyak literatur tentang buku selalu definisi Unesco yang ditampilkan: A book is a non-periodical printed publication of at least 49 pages, exclusive of the cover pages, published in the country and made available to the public. (Buku adalah publikasi tercetak tidak berkala dengan ketebalan lebih dari 49 halaman, memiliki kover  yang khas, diterbitkan suatu negara dan tersedia untuk publik. Sumber: Recommendation concerning the International Standardization of Statistics Relating to Book Production and Periodicals, 19 November 1964).

Unesco membuat definisi tersebut untuk menyusun sebuah statistik tentang pengaruh buku terhadap perkembangan ekonomi dan budaya suatu negara. Karena itu, buku perlu didefinisikan dan dibedakan dengan terbitan berkala, seperti koran, majalah, ataupun brosur (pamlet). Belakangan Unesco juga menambahkan kriteria baru bahwa buku harus diterbitkan sekurang-kurangnya 50 eksemplar dan dijual bebas.

Berbeda halnya dengan yang didefinisikan US Postal Service bahwa buku adalah publikasi berjilid memiliki 24 atau lebih halaman, setidaknya 22 di antaranya dicetak dan mengandung bahan bacaan utama, dengan iklan terbatas hanya untuk promosi buku. Definisinya lebih ringkas dalam soal halaman dan menyatakan boleh ada iklan, tetapi iklan tentang buku juga.

Secara awam sebenarnya kita sudah bisa membedakan mana buku dan mana yang bukan buku dalam pengertian fisiknya. Dalam soal jumlah halaman, tentu bisa terdapat perbedaan karena sebuah buku anak dengan tebal 16, 24, atau 32 halaman (semuanya berkelipatan 8 atau 16 sesuai dengan halaman cetak/kuras) tetap disebut sebuah buku tanpa mengacu pada kriteria Unesco tersebut.

Dalam ranah akademik, definisi Unesco inilah yang kerap digunakan. Sebagai contoh persyaratan Dikti Kemdikbud dalam pengajuan insentif buku ajar mencantumkan ketentuan buku harus berketebalan >49 halaman. Berbeda dengan hibah buku teks, Dikti mensyaratkan ketebalan buku >200 halaman. Di sini kemudian agak terjadi kebingungan dalam soal definisi: apa bedanya buku ajar dan buku teks? Dalam edaran yang dikeluarkan Dit. Litabmas Dikti tersebut tidak tampak jelas perbedaan antara buku ajar dan buku teks. Mengapa buku ajar harus >49 halaman dan buku teks harus >200 halaman, sedangkan keduanya sama-sama merupakan hasil penelitian para dosen?

Saya pun coba menyusun definisi beberapa jenis buku akademik yang dihimpun dari berbagai sumber serta berdasarkan pengalaman menggarapnya seperti berikut ini.

Jenis

Pengertian

Buku Acuan/Referensi

Buku yang berisi informasi dasar tentang bidang atau hal tertentu. Informasi dasar atau pokok ini dapat dijadikan sebagai acuan (referensi) oleh guru/dosen untuk memahami sebuah masalah secara teoretis. Contoh: ensiklopedia, kamus bidang, tesaurus, buku induk, dan buku pintar.

Buku Pegangan (Guru/Dosen)

Buku yang berisi uraian teknis serta rinci bidang tertentu. Buku ini digunakan guru/dosen untuk memecahkan, menganalisis, dan menyikapi permasalahan yang akan diajarkan kepada siswa/mahasiswa.

Buku Ajar

Buku yang berisi uraian bahan pelajaran bidang tertentu sesuai dengan kurikulum/silabus pembelajaran yang disusun secara sistematis serta diarahkan untuk tujuan/kompetensi tertentu. Buku ini digunakan sebagai sarana pembelajaran di dalam kelas/ruang kuliah dan digunakan secara bersama oleh guru/dosen serta siswa/mahasiswa.

Buku Teks

Buku yang berisi uraian pada satu bidang ilmu tertentu, baik secara luas maupun secara mendetail yang dapat digunakan guru/dosen, siswa/mahasiswa, hingga para praktisi di bidang tersebut. Buku teks disajikan lebih populer dibandingkan buku ajar yang taat pada pola penyajian materi di dalam kurikulum/silabus.

Buku Latihan

Buku yang berisi bahan-bahan pelatihan untuk menilai tingkat kepahaman siswa/mahasiswa terhadap suatu bidang tertentu yang telah diajarkan. Biasa digunakan secara periodik dan sekali pakai.

Buku Kerja/Buku Kegiatan

Buku yang difungsikan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang terkait dengan pembelajaran. Biasa digunakan juga sebagai buku tugas untuk dilaksanakan di luar kelas.

Buku Penunjang

Buku yang berisi bahan-bahan penunjang untuk pengayaan materi yang telah dipelajari siswa/mahasiswa. Buku ini sering juga disebut sebagai buku pengayaan.

Modul

Modul terkadang tidak digolongkan sebagai buku, tetapi sebagai kumpulan bahan-bahan pelajaran yang disusun secara sistematis lengkap dengan tes/uji indikator kemampuan siswa/mahasiswa menyerap bahan pelajaran. Modul berisi uraian ringkas atas suatu bahasan dalam bidang tertentu dan digunakan untuk satu bidang tertentu yang sangat spesifik.

Terkait soal ketebalan halaman, dalam pandangan saya, selayaknyalah buku teks dan buku ajar itu dibuat dengan ketebalan >100 halaman yang mengacu pada anatomi buku nonfiksi standar: preliminaries (halaman pendahulu) + text matter (halaman isi) + postliminaries (halaman penyudah). Apabila menggunakan perhitungan cetak, buku ajar dapat dibuat dalam format 112, 128, 144, dan 160 halaman dengan ukuran buku standar A5 atau B5. Untuk buku teks yang merupakan pendalaman terhadap suatu materi/bidang ilmu dapat dibuat lebih tebal dengan varian halaman 208 dan 224 halaman.

Sampailah kita pada bahasan apa yang disebut buku yang bukan buku tanpa melihat dari ketebalan atau syarat fisiknya. Banyak karya buku akademik tertolak mendapatkan pengakuan sebagai buku teks atau buku ajar karena tidak memenuhi kriteria sebuah buku dalam hal penyajian kontennya.

Bukan buku karena anatomi dan formatnya. Kerapkali akademisi mengajukan karya tulis ilmiah (KTI) sebagai naskah buku tanpa melakukan konversi ke anatomi sebuah buku. Naskah KTI itu, misalnya skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian tidak digolongkan sebagai naskah buku. Jika akademisi tersebut membukukannya apa adanya, itulah “buku yang bukan buku” karena tidak memenuhi kaidah penyajian sebuah buku meskipun halamannya >49 dan diberi ISBN. Tampaknya memang perlu dilatihkan keterampilan konversi KTI nonbuku menjadi buku akademik dengan memahami proses kreatif penulisan buku akademik.

Bukan buku karena merupakan kumpulan tulisan. Tren menyatukan karya tulis yang tipis atau pendek awalnya terjadi pada karya sastra, seperti puisi, cerpen, dan drama. Kumpulan karya ini kemudian disebut antologi yang dipungut dari bahasa Yunani, anthologia dengan makna untaian bunga—dengan mengadopsi sebutan serupa yang digunakan antologi paling awal pada abad ke-17 di Yunani, The Garland. Tampaknya berdasarkan makna ini kemudian dikenal dalam bahasa Indonesia sebuah buku yang disebut bunga rampai merupakan kumpulan tulisan dari satu orang atau dari banyak orang. Rampai sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna campuran atau kumpulan dr berbagai macam (buku, bunga, dsb). Lalu, mengapa tidak disebut “buku rampai” saja, bukan “bunga rampai” atau “buku bunga rampai”?

Jadi, antologi lebih tepat digunakan pada kumpulan karya sastra dari satu penulis/pengarang atau dari beberapa orang penulis/pengarang dalam satu topik yang saling berhubungan. Adapun untuk definisi lain dikenal istilah omnibus. Kata omnibus di dalam KBBI hanya didefinisikan bus, sedangkan dalam kamus bahasa asing didefinisikan juga sebagai berikut: an anthology of articles on a related subject or an anthology of the works of a single author. Antologi dari beberapa artikel (nonfiksi) dalam satu topik yang saling berhubungan disebut omnibus; pun antologi karya dari satu orang penulis/pengarang disebut omnibus. Contoh omnibus misalnya novel yang telah diterbitkan seorang penulis/pengarang dan dalam ketebalan yang tipis atau pendek, kemudian disatukan maka karya tersebut disebut omnibus.

Antologi dan omnibus tetap digolongkan sebagai buku yang merupakan kumpulan karya banyak orang ataupun kumpulan karya hanya satu orang. Jika kemudian dari antologi yang ditulis oleh banyak orang diterbitkan, apakah penulisnya sudah disebut penulis buku? Tentu tidak, tetapi disebutkan sebagai kontributor antologi. Dalam hal ini ada satu orang yang sangat berperan sehingga kemudian ia disebut editor atau penyunting yang memilah dan menata karya antologi itu. Jika editor juga ikut menulis satu tulisan, dalam halaman hak cipta namanya akan disebut sebagai kontributor plus juga sebagai editor.

Atas dasar inilah kemudian ada asumsi dalam ranah akademik bahwa buku yang merupakan hasil kumpulan artikel/esai itu bukanlah buku karena dikumpulkan dari beberapa tulisan, baik  yang memang sudah dipublikasikan sebelumnya (republishing articles)  maupun belum. Alasan lain bahwa penyusunan tulisan secara sistematis berdasarkan logika bidang ilmu (pendahuluan/rumusan masalah-isi/pemaparan dan teori pendukung-kesimpulan) tidak terjadi. Jadi, memang tidak terdapat satu alur pemikiran ilmiah tentang suatu bidang yang kemudian dapat disimpulkan pembaca secara utuh. Hal ini termasuk juga buku bunga rampai yang disusun misalnya dalam momentum tertentu, seperti dies natalis sebuah perguruan tinggi dan pengukuhan seorang tokoh menjadi guru besar. Buku yang bukan buku ini juga termasuk karya kumpulan naskah akademik atau prosiding. Buku yang bukan buku ini seyogianya tidak dapat diajukan seorang dosen sebagai syarat mendapatkan angka kredit (KUM).

Ada yang berkilah bahwa buku bunga rampai ini seperti buku yang dibagi berdasarkan chapter-chapter yang ditulis para experties di bidangnya. Keliru karena kategori yang dimaksud adalah kategori buku teks yang ditulis lebih dari satu orang penulis/pengarang. Misalnya, ada buku teks tentang zoologi maka setiap bab (chapter) akan ditulis oleh seorang ahli di bidangnya: serangga, burung, reptil, dan sebagainya. Tentu hal ini tetap dianggap sebagai sebuah buku, bukan merupakan buku bunga rampai. Buku bunga rampai itu sudah jelas bahwa merupakan kumpulan artikel/esai/makalah yang disatukan menjadi satu kesatuan, lalu dijilid dan diterbitkan.

***

Ini baru dalam ranah akademik. Dalam ranah lebih populer lagi, bahkan sangat populer muncul buku yang bukan buku lebih radikal lagi bentuknya disebabkan maraknya media sosial di internet. Misalnya, buku kumpulan quote atau kata-kata motivasi, kumpulan tweet, kumpulan update status facebook di linimasa, dan kumpulan isi blog. Penerbit tetap menyebutnya sebagai buku dan penulisnya pun tetap merasa sebagai penulis buku walaupun itu “buku yang bukan buku”.

Begitupun demam antologi yang juga terjadi. Melihat begitu banyak animo orang ingin menulis buku maka sebuah lembaga lalu menyelenggarakan lomba penulisan artikel/esai/cerpen yang kemudian diterbitkan dalam bentuk antologi. Pemenangnya kadang hanya mendapatkan contoh buku antologi itu dan akhirnya antologi pun dijual kepada kontributor alias para penulis yang sudah menang tadi. Karena merasa sudah menghasilkan karya buku, antologi tadi pun diborong 10-50 eksemplar untuk dijual lagi atau sekadar dibagi-bagi. Para penulisnya senang sudah menghasilkan buku antologi dan kelak mereka pun bercita-cita menuliskan “buku solo”–begitu istilah mereka. Buku solo? Apa pula ini? Ya, buku yang disusun sendiri alias oleh satu orang (padahal antologi bisa juga disusun sendiri) meskipun nanti tetap masuk kategori buku yang bukan buku karena berupa kumpulan tulisan kecil-kecil.

Kalau dipaparkan soal buku yang bukan buku ini dalam ranah populer, mungkin akan dijawab: Emang gue pikirin.… Hehehe nanti kita bahas juga tentang definisi e-Book alias buku elektronik/digital. Dari tadi serius sekali bahasannya….[]

©2013 oleh Bambang Trim

3 thoughts on “Buku yang Bukan Buku”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.