Plagiat Memang “Seksi”

Boleh jadi plagiat itu memang seksi. Pelakunya yang disebut plagiator seolah tak jera membuat berita. Terakhir, mencuat kabar dugaan plagiat yang dilakukan oleh dua orang doktor dari Unpad. Buku berjudul Cybernotary sebanyak 62 halaman (dari total isi buku 149 halaman) diduga merupakan plagiat langsung (direct plagiarism) dari tesis mahasiswa yang diuji para doktor tersebut.

Plagiat diambil sebagai jalan pintas untuk menancapkan nama pada sebuah karya yang sebenarnya bukan murni karya si empunya nama, bahkan bisa jadi tidak murni 100%. Karya yang tidak murni 100% sebagai karya sang empunya nama diistilahkan sebagai direct plagiarism atau plagiat langsung. Ini jenis plagiat paling parah yaitu mengambil seluruh karya orang lain, termasuk dengan cara copy paste, lalu diakui sebagai karyanya.

Di sisi lain, ada juga para penulis yang dicap plagiator karena keteledoran belaka. Mereka teledor tidak mencantumkan sumber kutipan dari bahan-bahan yang dilindungi hak cipta atau kalaupun mereka mengutip sering tidak jelas di mana akhir kutipan itu berada. Ada pula buku yang dikutip untuk sumber tulisan, tetapi malah tidak tercantum di dalam daftar pustaka. Hal ini memperlihatkan kekacauan tata kelola penulisan.

Saya kadang menengarai sering terjadi plagiat dalam plagiat. Hal ini bisa terjadi akibat munculnya para penulis yang menawarkan jasa penulisan–alih-alih disebut konsultasi penulisan. Nah, para mahasiswa atau akademisi yang terdesak waktu serta kemampuan kerap menggunakan jasa-jasa seperti ini. Jelas, jasa ini menjadi ilegal ketika kesepakatan yang diambil adalah membantu penulisan 100%, termasuk penggagasan ide tulisan. Ilegal sekaligus tidak etis mengakui karya seseorang (para penulis bayaran tadi) menjadi karyanya.

Di sini kerap blunder terjadi. Sang penulis bayaran justru juga melakukan plagiat dengan mengutip di sana-sini atau mengambil jalan pintas copy paste. Adapun mereka yang menggunakan jasa tersebut tidak lagi melakukan cek dan ricek terhadap karya bayaran itu yang ternyata dapat mencelakakan mereka disebabkan nama mereka tercantum sebagai pemegang hak cipta.

Mengapa harus plagiat? Ya ini salah satunya dampak dari kegagalan pendidikan literasi kita, khususnya tulis-menulis. Banyak mahasiswa dan dosen yang memang gagap, bahkan lumpuh menulis. Di sisi lain tuntutan akademis menyulitkan mereka dalam soal tulis-menulis. Dosen punya kepentingan untuk meraih angka kredit prestasi guna kenaikan pangkat dari sebuah produk tulisan ilmiah, terutama buku. Pada sebuah titik, dosen memiliki kuasa untuk mengendalikan mahasiswa. Selalu ada mahasiswa brilian yang mampu menyajikan karya ilmiah, terutama skripsi, tesis, atau disertasi berbobot. Di sinilah dosen yang menjadi penguji kerap mengambil kesempatan untuk bisa menempatkan namanya di dalam karya tersebut apabila karya itu dikonversi ke dalam buku.

Ada dosen yang sadar diri dan sekadar menempatkan namanya sebagai editor. Namun, nilai angka kredit menjadi editor masih lebih kecil daripada penulis. Lalu, agak naik sedikit, dosen menawarkan diri menjadi penulis pendamping (co-writer). Di sini nama dosen akan menjadi nama kedua. Akan tetapi, kadang dosen juga gengsi namanya menjadi nama kedua, lalu meminta kepada si mahasiswa agar ia ditempatkan sebagai penulis utama. Dalam penulisan buku yang dilakukan lebih dari satu orang, penempatan nama pertama sangat berpengaruh dan sudah dimaklumi bahwa pemilik nama pertamalah yang dianggap sebagai author atau orang yang paling berhak terhadap otoritas ide di dalam naskah tersebut.

Jadi, cukup fair atau tidak? Bukan saja masalah tidak fair, melainkan ini juga bentuk pelanggaran hak cipta atau lebih khusus hak moral yang dilindungi UU Hak Cipta No. 19, Tahun 2002. Bagaimana bisa seseorang yang tidak punya kontribusi terhadap ide dan pengembangan ide di dalam naskah, namanya ikut dicantumkan hanya demi angka kredit yang dapat melambungkan kariernya di dunia akademis? Tidak etis dan memalukan.

Karena itu, jika terjadi sang mahasiswa menolak karyanya dieksploitasi, lalu ingin diakui dosen pengujinya sebagai karya sang dosen juga, boleh jadi jalan pintas plagiat pun dilakukan. Gawatnya, sang dosen sendiri memang lemah dalam penulisan sehingga ia pun bisa mengupah orang lain untuk melakukan rewriting karya tersebut. Ada tindakan plagiat yang disebut plagiat mosaik (mosaic plagiarism) yaitu tindakan plagiat dengan cara mengubah kata-kata dari sumber yang diambil, tetapi tetap tidak menyebutkan bahwa itu adalah kutipan. Para penulis yang memiliki skill bagus, tentu dapat mengelabuhi pembaca bahwa itu bukan merupakan hasil plagiat dengan mengambil ide inti dari suatu karya. Jadi, ketika melakukan penulisan ulang, hasil karyanya menjadi tidak kentara sebagai hasil plagiat. Ya, “beruntung” (dalam tanda petik ganda) jika sang dosen bisa bersua penulis semacam ini–beruntung agak sulit diketahui.

Duh, plagiat memang seksi. Penulisan memang menarik bagi sebagian orang dijadikan ladang bisnis, termasuk dengan cara-cara ilegal. Di belahan dunia lain pun sama kerap terjadi kasus-kasus plagiat. Para akademisi yang gagap, bahkan lumpuh menulis. Ini sudah menjadi fenomena. Namun, jika mereka mengambil risiko melakukan plagiat pada zaman kini, sungguh merupakan tindakan yang “berani”. Plagiat makin mudah tercium kini. Boleh jadi masih banyak kasus lain yang “didiamkan” demi mengamankan karier sang akademisi. Miris….[]

_______

Tidak ingin terjebak dalam soal plagiat? Anda dapat mengikuti “Mastering Professional Writing” bersama Bambang Trim, 22 Juni 2013, di Hotel Bumi Sawunggaling, Bandung. Workshop selama satu hari penuh.

©2013 oleh Bambang Trim

4 thoughts on “Plagiat Memang “Seksi””

  1. Selamat pagi pak Bambang, salam kenal…
    Wah seru sekali, pagi-pagi sudah sarapan plagiasi, hehehe…

    Pak, saya masih bingung dan rancu soal plagiasi ini. Ijinkan saya bertanya sbb:

    Di mana sebenarnya batasan yang jelas sebuah tindakan dianggap plagiasi atau bukan. Apakah cukup dengan mencantumkan sumber rujukan (artikel, url, etc), lalu dianggap bukan plagiasi?
    Bagaimana jika penulis mencantumkan sumber rujukan atas tulisannya, meski tidak minta ijin secara langsung kepada penulis tulisan sumber/aslinya? Apakah ini juga termasuk plagiat?
    Dalam mengutip tulisan, baik langsung maupun tidak, haruskah meminta ijin terlebih dahulu kepada penulis sumbernya? Atau, cukupkah ditulis sumber referensinya begitu saja?
    Apakah menterjemahkan sebuah tulisan menjadi karya baru dalam bahasa lain termasuk plagiat? Bagaimana jika bukan semata diterjemahkan, melainkan dibaca, dipahami, kemudian ditulis ulang dengan bahasa/kalimatnya sendiri (menyadur?), apakah ini termasuk plagiasi?
    Jika sebuah media—katakanlah surat kabar—menulis sebuah berita yang asalnya dari media asing, inti ceritanya sama, cuma beda bahasa, dan hanya mencantumkan inisial media asalnya (misalnya AFP, RTR, dsb), apakah ini dianggap sebagai sebuah plagiasi?
    Jika seorang penulis, setelah membaca sebuah buku/ebook berbahasa asing, kemudian terinspirasi dan menulis buku dengan konten yang kurang lebih sama (ditulis ulang dengan bahasanya sendiri, baik dalam bahasa yang sama maupun berbeda), apakah ini dianggap plagiat?
    Soal plagiat mosaik itu, saya masih agak rancu. Menulis adalah kegiatan menuangkan kembali pemikiran dan pengetahuan sesorang dari hasil membaca. Lagu, apakah penulis ketika menulis buku harus mencantumkan daftar buku bacaannya meski tidak mengutip apapun? Misalnya begini. Si fulan hobi fotografi. Ia suka membaca semua literatur tentang fotografi. Suatu ketika ia ingin sekali menulis buku tentang fotografi. Tulisannya tentu saja tulisan karyanya sendiri, hasil kegiatan membaca selama ini. Pertanyaannya, haruskah penulis mencantumkan sumber referensi?

    Demikian pak, terima kasih sebelumnya atas jawaban dan pencerahannya.
    PS: workshop MPW bulan Juni nanti masih terima pendaftaran?

    1. Terima kasih, salam kenal kembali ini Mas/Mbak …. ?

      Saya coba jawab pertanyaannya:

      1. Sebelumnya sempat ada batasan kuantitas untuk kutipan sebuah sumber yaitu tidak melebih 10% dari seluruh konten dengan mencantumkan sumbernya. Apabila yang dikutip lebih dari 10%, penulis wajib meminta izin kepada pemegang hak cipta. Namun, dalam UU No. 19 Tahun 2002, perihal kuantitas ini tidak disebutkan. Setahu saya undang-undang hak cipta di luar negeri masih menggunakan soal kuantitas ini. Jadi, sebenarnya etiket terkecil dari penghormatan terhadap hak cipta orang lain adalah mencantumkan sumber kutipan dan dengan jelas ditandai di mana kita mengutip dan di mana akhir kutipan (bisa dengan model tanda “” ataupun penggunaan huruf italic).
      2. Pencantuman sumber kutipan jelas bukan merupakan plagiat. Plagiat itu terindikasi jika mengutip, tetapi tidak menyebutkan sumber kutipan atau asal kutipan dari pemegang hak cipta. Plagiat paling parah terindikasi jika mengambil karya orang lain dan mengakui sebagai karya dia (penulis).
      3. Cukup ditulis sumbernya dengan asumsi kita tidak melihat soal kuantitas tadi. Tapi umumnya kutipan kan memang sedikit dan lebih pada untuk menguatkan opini ataupun penelitian kita, bukan digunakan sebagai materi konten tulisan kita. Jika kita mengambil satu bab, tentu diperlukan izin dan biasanya berbayar.
      4. Penerjemahan memerlukan izin resmi tertulis dari pemegang hak cipta, baik itu penulis atau penerbit. Jika menerjemahkan saja tanpa izin, itu masuk ranah plagiat. Terjemahan berbeda dengan saduran. Saduran jelas mengubah materi konten dan mengadaptasinya dengan cara lain. Saduran yang tidak termasuk plagiat adalah menyebutkan bahwa saduran tersebut bersumber dari buku anu atau tulisan anu.
      5. Semua kutipan yang mencantumkan sumber kutipan tidak dapat dianggap plagiat. Kadang kantor berita juga mengenakan bayaran bagi berita yang dikutip media lain.
      6. Terinspirasi itu sulit dibuktikan sebagai plagiat. Plagiat itu jelas menggunakan bahasa atau materi yang sama dari sumber yang sudah ada.
      7. Daftar pustaka itu berbeda dengan daftar rujukan. Di dalam daftar pustaka, semua tulisan/buku yang kita baca untuk menuliskan suatu karya, patut disebutkan walaupun tidak dirujuk langsung di dalam tulisan. Namun, daftar rujukan adalah daftar tulisan/sumber yang langsung dirujuk di dalam teks. Itu sebabnya tulisan di jurnal menggunakan frasa “Daftar Rujukan” atau “References”, berbeda dengan Bibliografi atau daftar pustaka. Plagiat mosaik itu memang disengaja melakukan plagiasi agar tidak ketahuan…. caranya dengan mengubah kata-kata dari sumber asli.

      Semoga menjawab. Workshop MPW masih terbuka pendaftarannya. Silakan mendaftar. Terima kasih.

  2. oiya, satu lagi…
    membaca penjelasan soal plagiasi mosaik di atas, apakah berarti tidak ada tulisan yang 100% murni (bebas plagiasi)? mirip pabrik ban dan lingkaran. sejak dulu, setahu saya ban berbentuk lingkaran. belum ada pabrik ban yang—agar tidak disebut plagiat—menciptakan ban berbentuk kotak atau segitiga.

    1. Yang disebut plagiasi perlu kita batasi bahwa ada bagian naskah kita yang menggunakan naskah orang lain, tetapi kita tidak mengakuinya. Sebenarnya hampir tidak ada yang disebut ide orisinal kini karena ide kita pasti dipengaruhi ide-ide yang sudah terbit sebelumnya. Jadi, yang ada ide-ide segar. Pengaruh ide orang lain terhadap karya kita tidak lantas bisa dicap plagiat.

Leave a Reply to nulisologi Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.