Focal Concern

Saya sudah memahami bahwa passion saya sejak kuliah adalah di dunia buku, terutama penulisan dan penyuntingan. Pilihan pertama saat lepas kuliah dahulu tentulah menjadi karyawan dan punya status sebagai editor.  Saya termasuk yang mengalami banyak berpindah perusahaan hingga menempati berbagai posisi puncak di penerbit. Usia 31 tahun, saya sudah menjadi direktur di penerbit MQ Corp milik Aa Gym. Namun, saya jelas belum menemukan pencarian yang pas untuk  impian saya di dunia buku.

Lepas dari MQ, saya sempat bergabung dengan Penerbit Salamadani. Di sinilah saya mengenal sosok Bang Semch (N. Syamsuddin Haesy) yang kini menjadi pemred Jurnas. Dari Bang Semch saya mengenal konsep imagineering–sebuah usaha mengontruksi mimpi dengan menetapkan focal concern dan memahami driving force

Lama sebenarnya saya mencari makna ini. Bahkan, sampai saya harus berpindah kerja lagi. Usaha sebagai entrepreneur telah pula dijalani sejak 2008, tetapi terus terang kurang memberi benefit, apalagi profit yang berarti. Tentu ada yang salah soal ini, soal focal concern saya. Hal ini karena bukan semata-mata untuk penghasilan pribadi karena sesungguhnya dengan segenap pengalaman, saya masih produktif berkarya dan bisa menghasilkan rupiah. Namun, untuk sebuah bisnis, terasa ada yang kurang tepat.

Benarlah bahwa proses itu harus dilalui dan bahwa harus ada masa untuk merenungkan impian kita. Saya merekonstruksi lagi segala potensi dan peluang hingga akhirnya baru menemukan focal concern setelah saya dibombardir dengan kegiatan yang semua bermuara pada lembaga pendidikan. Selain itu, juga pertemuan-pertemuan dengan beberapa orang yang seperti terkoneksi dengan focal concern yang harus saya pilih.

Apa itu focal concern? Soal ini memang berhubungan dengan fokus dari sekian banyak pilihan yang ada. Kadang memang kita tidak bisa meraup semua pilihan atau kadang pilihan itu seolah-olah pas buat kita, tetapi sebenarnya lebih banyak memboroskan tenaga serta waktu. Kita harus mengangkat satu “tema besar” dalam diri kita, termasuk bisnis kita.

Tema besar yang saya pilih kini adalah “buku akademik”. Di sinilah saya merasa focal concern yang harus saya pilih karena ternyata saya memiliki kekuatan penggeraknya (driving force). Ada peluang karena begitu banyak guru/dosen/widyaiswaara yang belum menulis buku atau kalaupun sudah  menulis, belum layak disebut buku akademik. Ada idealisme meningkatkan kualitas pendidik dengan berkarya.

Saya pun memutar haluan bisnis saya beberapa derajat. Dan ini menumbuhkan semangat ketika usia sudah memasuki kepala empat. Pencarian saya menemukan titik terangnya. []

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.