Agar Warga Kampus Tak Menulis Rampus

Tulisan di Kompas Kampus menjelang libur lebaran pada 7 Agustus 2013 menarik untuk dibaca. Tulisan itu sekali lagi–karena Kompas sudah berkali-kali–menyajikan perihal penguasaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa, terutama karya tulis. Kesimpulan yang selalu mengemuka adalah memprihatinkan.

Lemahnya penguasaan tata tulis pada mahasiswa terkait juga lemahnya penguasaan terhadap penggunaan bahasa Indonesia baku, bahkan termasuk hal-hal yang elementer seperti ejaan. Banyak asumsi menyikapi kondisi tersebut, di antaranya sikap abai terhadap bahasa Indonesia, pengaruh bahasa gaul atau bahasa asing yang sudah bersimaharajalela, dan anggapan remeh terhadap pelajaran bahasa Indonesia itu sendiri.

Alhasil, dalam soal penulisan maka dihasilkanlah tulisan yang amburadul ejaan maupun tata kalimatnya. Sebagian dari mereka memang menulis secara rampus (serampangan), bahkan dalam interaksi publik seperti di media sosial juga tak jarang perilaku rampus (berkata-kata tidak sopan) ini juga muncul.

Lihat saja media sosial seperti Kompasiana. Meskipun blog ini jelas-jelas menggunakan bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia, tetap saja kita akan menemukan tulisan yang kacau balau. Penulisnya pun kadang menganggap sepi persoalan bahasa ini karena mereka merasa sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalaupun mereka merasa belum berbahasa dengan baik dan benar, sikap tidak acuh pun muncul dengan anggapan bahwa orang toh mengerti apa yang mereka tuliskan.

Perlu memang terobosan dalam pembelajaran bahasa Indonesia sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk standardisasi pemelajaran penulisan (komposisi) yang memadukan keterampilan pengembangan gagasan dan penggunaan bahasa tulis. Penulisan harus dipandang sebagai keterampilan hidup (life skill) yang dapat mengantarkan seseorang meraih sukses dalam karier maupun kehidupannya. Alasan yang kerap saya kemukakan hanya satu: tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis.

Saya sejak bulan Juni hingga Agustus 2013 ini coba merampungkan naskah 101 Solusi Editing untuk Pelajar, Mahasiswa, Guru, Dosen, Penulis, Editor, Wartawan, dan Praktisi Humas. Buku ini terkait penggunaan bahasa dalam karya tulis dan juga berisikan hal-hal yang berhubungan dengan penulisan serta penerbitan karya.

Satu hal saya tetap memopulerkan penerapan proses penulisan seperti yang diterapkan dalam kurikulum pembelajaran menulis di negara-negara maju, yaitu pramenulis-penulisan-penyempurnaan-penyuntingan-penerbitan.

Proses menulis standar
Proses menulis standar

Proses ini dapat dilatihkan dalam program lokakarya ataupun bengkel kerja paling tidak 2 s.d. 3 hari yang sudah sering saya selenggarakan secara efektif di kampus-kampus. Persoalan berbahasa Indonesia baku dalam karya tulis dibahas pada proses penyuntingan atau editing naskah. Hal-hal praktis tentang kebahasaan dalam istilah saya “dilenturkan” sehingga dapat dipahami dengan cepat dan tepat.

Karena itu, beberapa pengalaman serta pengetahuan saya himpun dalam buku 101 Solusi Editing tersebut dengan harapan dapat digunakan secara praktis oleh siapa pun. Buku ini insya Allah akan diterbitkan Penerbit Bumi Aksara. Saya berharap meskipun dalam konteks kecil, warga kampus tak lagi menulis secara rampus. [BT]

 

4 thoughts on “Agar Warga Kampus Tak Menulis Rampus”

Leave a Reply to sekarozzorahigurashi Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.