Buku Bermasalah, UU Buku, dan Lembaga Perbukuan

Manistebu.com | Tepat saat RUU Sistem Perbukuan dilakukan uji publik pada 20 Februari 2017 kemarin, tepat pula hari itu pemberitaan tentang buku anak Aku Belajar Mengendalikan Diri dalam seri “Aku Bisa Melindungi Diri” menjadi viral yang mengundang reaksi berbagai pihak. Buku cerita anak yang memuat konten pendidikan seks (masturbasi) itu dianggap bermasalah meskipun beberapa yang lain membela buku itu sebagai buku pendidikan seks untuk anak–wajar-wajar saja.

Buku tersebut sebenarnya terbitan 2016, lalu Tiga Serangkai yang menerbitkannya memberi klarifikasi bahwa buku itu sudah ditarik sejak Desember 2016. Penerbit juga siap mengganti uang pembelian buku atau mengganti dengan buku lain apabila buku dikembalikan langsung ke penerbit. Memang dalam beberapa kasus buku yang mencuat dan viral di internet terkadang merupakan kasus yang sudah lama atau sudah lebih dulu direspons oleh penerbitnya.

Dalam kasus buku TS ini peristiwanya boleh dibilang tidak terlalu lama dan tampaknya ada pembaca yang baru menemukan buku itu langsung menyebarkannya di media sosial. Alhasil, penulis dan penerbitnya pun menerima gelombang kecaman terus-menerus buah dari reaksi netizen.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tampaknya berada pada sisi yang paling mengecam buku tersebut. KPAI bersuara keras, bahkan mendesak segera diundangkannya RUU Sistem Perbukuan agar kasus-kasus buku anak–yang menurut istiliah mereka disebut tidak ramah anak–semacam ini tidak terjadi lagi. KPAI juga meminta penulis dan penerbit untuk meminta maaf secara terbuka karena kasus seperti ini dianggap sudah berkali-kali terjadi. Bahkan, hari ini (21/2) para komisioner KPAI melakukan rapat pleno untuk menentukan langkah hukum terhadap penulis-penerbit.

Sebagai praktisi di dunia perbukuan, saya memandang kasus ini sangat mungkin terjadi dan terekspose karena memang dunia perbukuan kita saat ini diberi kebebasan untuk berkreasi. Para penulis dan penerbit sering bereksperimen terhadap tema-tema yang ditengarai akan diperlukan atau disukai masyarakat pembaca. Penulis dan penerbit sering berpatokan pada fenomena: kecenderungan dan tren. Dalam kasus buku pendidikan seks untuk anak, penulis-penerbit sudah lama melihatnya sebagai suatu kecenderungan yang perlu ditanamkan kepada anak-anak dan terlebih para orangtua.

Kita boleh mundur ke belakang ketika pada era 1980-an muncul buku Adik Baru: Cara Menjelaskan Seks kepada Anak yang menghebohkan dan langsung mendapat reaksi untuk ditarik. Buku itu adalah terjemahan dari buku Peter, Ida, und Minimum karya Grethe Fagerstrom dan Gunilla Hansson yang dikemas ulang oleh ilustrator Swanie Gunawan dan dieditori oleh tokoh pendidikan, Conny R. Semiawan. Penerbitnya PT Midas Surya Grafindo. Buku itu dianggap vulgar dan dengan cepat mengundang kecaman karena dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Pemerintah Orba masa itu langsung turun tangan dengan mengeluarkan surat Kejaksaan Agung nomor 012/J.A./2/1989 yang melarang peredaran buku, padahal buku ini sudah mendapatkan rekomendasi dari Direktorat Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya untuk peredaran dan diberi keterangan ‘tidak mengandung pornografi’. Terbayang oleh saya pada masa itu adalah begitu repotnya menerbitkan buku harus dengan izin polisi dan juga campur tangan jaksa agung.

Dengan kebebasan berkreasi seperti saat ini dan pada beberapa kasus menjadi kebablasan, di situlah pemerintah kembali merasa bahwa mengatur penerbitan buku itu menjadi penting. Karena itu, RUU Sistem Perbukuan kembali disuarakan oleh KPAI untuk segera diundangkan. Di sisi lain, dunia perbukuan kita memang memerlukan sentuhan pembinaan dan pengembangan secara profesional.

Pelatihan-pelatihan penulisan dan editing profesional paling tidak perlu digiatkan untuk memandu kerja dan kreativitas penerbitan pada jalur yang tidak melenceng dari tatanan nilai yang dipegang teguh masyarakat Indonesia, apalagi dalam penulisan-penerbitan buku anak-anak. Boleh jadi jika diselisik secara saksama, masih banyak buku anak yang beredar itu mengandung konten yang tidak ramah anak.

Saya sendiri yang juga terlibat dalam perumusan RUU Sistem Perbukuan tidak dapat serta merta menghubungkan kasus munculnya buku bermasalah dengan konteks RUU karena jelas RUU tidak sampai mengatur soal teknis bagaimana penulis harus menulis naskah dan penerbit harus menerbitkan buku. Namun, di draf RUU memang terdapat hak dan kewajiban penulis dan penerbit sebagai acuan bagi mereka untuk berkreasi.

Selain itu, RUU Sisbuk juga memuat sanksi administratif apabila pelaku perbukuan, khususnya penerbit melakukan pelanggaran-pelanggaran. Adapun sanksi pidana biasanya terkait pada persoalan pelanggaran hak cipta dan penyebaran fitnah, hoax, serta penistaaan SARA yang sudah diatur pada undang-undang lain.

Namun, ada satu hal penting dalam RUU Sisbuk bahwa ada dorongan bagi pemerintah untuk membentuk lembaga perbukuan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menerapkan UU Sistem Perbukuan apabila telah diundangkan. Lembaga ini, apa pun namanya kelak, dapat menjadi pembina, pengembang, sekaligus pengawas terhadap aktivitas penerbitan dan buku-buku yang terbit. Berbeda dengan badan yang dimiliki oleh Kemendikbud sebelumnya, lembaga ini punya lingkup perbukuan yang lebih luas, yaitu buku pendidikan dan buku umum.

Ketika terjadi kasus buku seperti terbitan TS tersebut, lembaga perbukuan inilah yang seharusnya kali pertama merespons dan melakukan investigasi terhadap penulis-penerbit untuk mendapatkan informasi jelas terkait penerbitan buku. Selanjutnya, tindakan apa yang perlu dilakukan juga menjadi tanggung jawab lembaga ini, terutama dalam menerapkan sanksi administratif. Dengan demikian, isu buku bermasalah tidak berkembang liar berikut asumsi berbagai pihak. Kewaspadaan tingkat tinggi memang harus diterapkan dalam era penyebaran informasi digital yang sering tidak terkendali seperti saat ini.

Kita tunggu DPR-RI yang tengah bekerja cepat untuk segera mengesahkan RUU Sisbuk menjadi UU Sisbuk. Masukan-masukan dari hasil uji publik umumnya masih menyuarakan keberatan penerbit, terutama dari kalangan penerbit buku teks yang merasa pemerintah terlalu jauh campur tangan dalam penerbitan buku teks. Namun, ketika munculnya konten bermasalah pada buku teks, kembali pemerintah akan menjadi sasaran sebagai pihak yang semestinya turut bertanggung jawab. Kesimpulannya, persoalan buku memang harus ada sistem yang mengaturnya tanpa harus membatasi kreativitas penerbit. Di sisi lain kreativitas juga memerlukan fondasi atau asas kepatutan dan kelayakan terbit.

Kasus buku bermasalah dari Penerbit TS ini semoga menjadi kasus terakhir sampai diundangkannya RUU Sisbuk dan menjadi cermin untuk membenahi persoalan perbukuan kita yang sudah berkelindan rumit. Di tengah daya literasi sebagian besar masyarakat yang masih rendah maka buku-buku yang diterbitkan pun harus merupakan buku dari naskah terpilih dan melewati kamar editorial yang canggih.


Bambang Trim, praktisi penulisan-penerbitan; Ketua Asosiasi Penulis Profesional Indonesia, dan anggota Tim Pendamping Ahli RUU Sisbuk, Komisi X DPR-RI.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.