Mengapa Ide Itu Penting?

Ketika memberikan pelatihan aplikasi literasi mengikat makna, saya meminta kepada para peserta pelatihan untuk menuliskan sepuluh “koki” yang menurut mereka merupakan koki terbaik. Buku-buku masakan para “koki” tersebut benar-benar bermanfaat bagi mereka dan dapat mereka nikmati. “Koki” yang saya maksud memang para penulis buku. Saya yakin racikan dan masakan seorang “koki” yang baik akan memberikan kesan tertentu (yang tak terlupakan) dan mudah diingat kembali oleh para pembaca buku mereka.

Setelah itu, saya pun menayangkan presentasi saya terkait dengan 10 “koki” yang berasal dari dalam dan luar negeri yang saya anggap sebagai para “koki” terbaik atau buku-buku ciptaan mereka dapat memberikan “gizi” kepada diri—tepatnya pikiran—saya. Kesepuluh “koki” dalam negeri pilihan saya: Rhenald Kasali, Haidar Bagir, Dewi “Dee” Lestari, Andrea Hirata, Jalaluddin Rakhmat, Emha Ainun Nadjib, Ratna Megawangi, Goenawan Mohamad, Ulil Abshar Abdala, dan Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan kesepuluh “koki” luar negeri: J.K. Rowling, Malcolm Gladwell, Stephen R. Covey, Annemarie Schimmel, Mohammad Iqbal, Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, Thomas Armstrong, Karen Armstrong, dan Peter F. Drucker.

Saya tidak hanya menayangkan foto atau gambar para “koki” tersebut. Saya juga menayangkan buku-buku karya mereka yang telah saya baca dan nikmati. Buku-buku mereka saya anggap sebagai buku “bergizi” karena bahasa-tulisnya yang jernih dan menggerakkan pikiran. Frasa “menggerakkan pikiran” itulah yang kemudian saya kaitkan dengan ide atau gagasan. Ya, para “koki” tersebut kadang-kadang dengan sangat jelas menampakkan gagasannya dalam buku-buku karya mereka. Gagasan itu kadang saya tangkap lewat judul buku atau sinopsis (penjelasan ringkas tentang isi buku) atau di bagian-bagian lain buku setelah saya mencicipi beberapa halaman buku tersebut.

Bagi saya, ide atau gagasan akan mampu memberi nyawa atau menghidupkan sebuah buku. Buku yang berhasil memercikkan gagasan akan mengarakterisasi buku tersebut. Rhenald Kasali—di awal-awal karier kepenulisannya—sangat aktif dalam menggunakan kata change. Buku yang melambungkan namanya bahkan berjudul Change! Ada dua buku karyanya yang meninggalkan kenangan yang tak terlupakan bagi diri saya saat ini: Meylin dan Self-Driving.

Buku Myelin menggerakkan pikiran saya lewat ide muscle memory. Menurut buku Myelin, pengetahuan disimpan oleh brain memory, sementara latihan (excercises) disimpan oleh otot-otot di sekujur tubuh kita. Buku Self-Driving menggerakkan pikiran saya tentang keadaan pendidikan kita yang masih terjebak ke dalam paradigma pendidikan yang hanya memproduksi para penumpang (passengers) bukan para pengemudi (drivers). Anak didik kita masih lebih banyak dicekoki materi hapalan ketimbang materi yang menantang mereka untuk berani menciptakan sesuatu. Kita perlu pendidikan yang dapat melahirkan para driver andal yang berani menerjang keganasan malam, awas terhadap ancaman dan godaan di tengah jalan, serta bersiaga 24 jam selama diberi amanah dan tanggung jawab mengelola perusahaan, lembaga, atau negara.

J.K. Rowling memberi saya kisah tentang obsesi para penyihir sekaligus obsesi manusia pada umumnya: hasrat akan kehidupan yang abadi. Segala cara akhirnya ditempuh untuk meraih obsesi itu. Gagasan hidup abadi ini juga mencerminkan sikap-sikap buruk (jahat) manusia yang terperangkap oleh kerakusan, keserahakan, dan mau menang sendiri. Untungnya ada manusia yang masih dilingkari oleh cinta—disimbolkan dengan sosok Harry Potter—yang kemudian dapat melawan keserakahan dan kebencian. Pertarungan abadi antara kebaikan versus keburukan ini akhirnya mewarnai tujuh jilid novel fantasi yang fantastis, yaitu Harry Potter. Ide atau gagasan, sekali lagi, mampu menghidupkan sebuah buku.[]

 

3 thoughts on “Mengapa Ide Itu Penting?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.