Manistebu.com | Ada empat tahun hidup saya dihabiskan dengan BMX. Anda tentu kenal apa itu BMX, ya sebuah jenis sepeda yang kerap digunakan untuk balapan ataupun menampilkan atraksi yang disebut free style. Saya mengenal BMX kali pertama pada kelas 6 SD (1986) dan terus berlanjut hingga ke kelas 3 SMP, kendaraan utama saya ke mana-mana adalah BMX.
Diingat-ingat kehidupan bersama BMX itu ada hubungannya dengan kreativitas saya sebagai penulis kini. Ceritanya saya masuk klub BMX berbarengan dengan era populernya break dance. Â Atraksi BMX yang kami tunjukkan kadang-kadang diikuti dengan atraksi break dance dan saya juga penari break dance. Pamor klub BMX hampir setara dengan pamor klub break dance yang selalu dicibir sebagai klub anak jalanan, klub pelarian, dan berbagai tudingan negatif lainnya.
Saya mendapatkan pengalaman baru dengan teman-teman BMX yang umumnya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Kadang-kadang mereka memang tampak benar jalanannya. Klub kami pun bersama-sama sepakat dinamai Reckless yang bermakna berani, nekad, ugal-ugalan, dan sembrono (ini juga merupakan judul lagu breakdance dinyanyikan oleh Ice T yang kerap digunakan Turbo a.k.a Boogaloo Shirmp untuk menunjukkan kepiawaian breakdance-nya).
Manifestasi paling sering dari nama itu adalah atraksi menggulingkan tong sampah di jalanan dengan mengangkat roda belakang sepeda, lalu mengayunkannya mengenai tong sampah. Alhasil, sampah tumpah berantakan.
Klub yang menjadi seteru kami pada masa itu bernama KANDAS yang merupakan singkatan dari ‘Kelompok Anak Nakal di Atas Sepeda’. Hehehe nama yang kreatif menurut saya. Dan uniknya klub ini berasal dari anak-anak yang gak mampu beli BMX, tapi mereka memodifikasi jenis ‘sepeda mini’ yang sempat populer awal 80-an menjadi sepeda yang mirip BMX. Kalau mereka lewat berkelompok, terjadilah saling mengejek.
Saya menikmati perjalanan dengan klub BMX ini di kota kecil, Tebingtinggi Deli. Klub kami memiliki bengkel modifikasi sepeda BMX. BMX yang kami miliki bukanlah layaknya BMX yang kini berharga jutaan atau puluhan juta dengan bahan batang sepeda super-ringan. Wajar jika anak-anak kaya pengguna BMX supermahal itu sangat mudah memainkan free style. Tapi, kami menggunakan BMX dengan bahan rangka yang berat dan ini menjadi puncak kekaguman saya pada beberapa teman yang mampu mengangkat sepeda mereka melayang di udara melewati 10 orang teman yang tidur berjajar di jalan.
Saya tidak terlalu ahli bermain free style, hanya menguasai beberapa atraksi dan saya pun ingat pernah melakukan jumping di atas papan luncur setinggi 1,5 meter dengan ditaruh api menyala dari ban yang dibakar di bawahnya. Karena menggunakan BMX kelas murah, alhasil rangka sepeda saya patah dan kaki saya pun terkilir. Hehehe kenangan yang menurut saya sulit dilupakan.
Peran saya yang lain di klub adalah mendesain logo kaos klub kami. Saya meniru gambar dari poster-poster BMX yang banyak dijual kala itu. Semasa SMP saya punya keterampilan khusus menggambar, entah mengapa sekarang keterampilan itu jadi luntur. Nah, setelah gambar maka dicarilah tagline atau semboyan untuk klub kami. Ketua klub bernama Udin memberikan semboyan pertama yang dia comot dari tulisan di sebuah truk: ‘debu-debu pelarian’ maka kami pun memodifikasinya menjadi: ‘debu-debu jalanan’.
Setelah lama menggunakan tagline itu, kami pun kembali mengganti desain kaos. Lalu, giliran saya memunculkan sebuah tagline baru: ‘roda-roda udara’ mengingat salah satu keahlian klub kami adalah jumping dari papan luncur yang tinggi. Hehehe itulah proses kreatif saya mencipta tagline dan juga merancang desain untuk kaos klub BMX.
Hm… I love BMX! Rasanya saya rindu ber-BMX ria kembali. Pengalaman juga tak terlupakan adalah ketika mengikut BMX cross dengan menggunakan track untuk motor cross. Klub kami kalah total karena kehabisan tenaga. Sebabnya apa? Kami selalu berlatih ngebut di jalan beraspal atau lintasan berlantai semen. Jadi, wajar kemudian kami tidak cukup berpengalaman ngebut di jalan tanah yang berlumpur.
BMX dan break dance bagi saya adalah kreativitas masa kecil yang memancing pengembangan otak kanan saya. Bersama teman-teman yang beberapanya berasal dari keluarga broken home itu saya menemukan persahabatan dan kesetiakawanan. Mereka kerap memanggil saya ‘Ebiet’ karena satu-satunya anak yang berkacamata minus dan orang berkacamata paling populer saat itu adalah Ebiet G. Ade.
Pelajaran kreativitas paling berharga lainnya adalah kemampuan merakit sepeda. Semua sepeda BMX Â yang saya beli adalah hasil rakitan sendiri dimulai dari membeli rangka, stang, garpu (shock breaker), velg, ban, sadel, dan sebagainya. Saya biasa menggabungkan bagian-bagian sepeda yang berkualitas baik karena kita tahu bahwa sepeda BMX jadi yang dibeli di toko sering dicampur antara bahan berkualitas tinggi dan berkualitas rendah.
Terkadang bersama teman saya pun melakukan modifikasi lain, misalnya mengganti jari-jari sepeda dengan jari-jari motor yang lebih kuat dan diameternya lebih besar. Kami juga melakukan modifikasi pada garpu sepeda dengan menempatkan besi padat yang tadinya hanya berupa pipa. Alhasil, garpu tidak akan patah ketika melakukan atraksi jumping, namun jelas beratnya jadi bukan main.
Sekali lagi, saya benar-benar mencintai BMX sebagaimana saya juga sangat mencintai breakdance.
Sekadar berbagi cerita…. 🙂

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.