Seorang sahabat editor yang sempat berinteraksi dg saya di sebuah penerbit menulis note dan diposting di fb serta milist. Isinya sebagian kecil saya kutipkan dalam paragraf ini:
Malam ini saya refreshing ke Gramedia Matraman.
Acara ini adalah ganti rencana mancing siang tadi yang gagal karena hujan.
Di toko itu, mata saya dipaksa melongok sebuah buku. Judulnya “1 Jam Mahir Kitab Kuning”. Sebenarnya, saya sama sekali tidak tertarik untuk membukanya atau bahkan mempelajarinya. Tapi, ada hal yang menggelitik saya yang memaksa untuk mengambilnya dari rak buku.
Apa itu? Buku itu ukurannya sangat kecil dan tipis. Kira-kira setengah ukuran A5. Jumlah halamannya pun, tak menggambarkan sebuah buku yang akan mengantar kita benar-benar menguasa/mahiri kitab kuning. Cuma 135 halaman.
Saya membuka-buka isinya. Ternyata, buku itu tak lebih dari buku “Amstilatut Tashrifiyah” yang saya pelajari sewaktu di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Buku yang juga dipelajari oleh adik-adik saya–yang sekarang melanjutkan di jurusan umum–dan sama sekali tidak mahir kitab kuning (pisss–mungkin sedikit2 bisa kaleee. hehe). Bahkan, buku pegangan untuk pelajaran Shorof saya itu, berukuran lebih besar dan (kalau tidak salah) jumlah halamannya pun lebih banyak dibanding buku di Gramedia itu.
Kegundahan yang diungkapkan sahabat saya itu memang sebuah fenomena dalam dunia perbukuan kini. Kata-kata yang mengutip ukuran waktu menjadi jurus ampuh untuk buku-buku kategori life skill dan how to. Banyak penulis ataupun penerbit memanfaatkan kekuatan judul sebagai daya tarik dalam hitungani detik untuk menarik minat awal calon pembaca. Maka bertebaranlah judul-judul: “60 Menit Pintar…”, “1 Jam Mahir….”, “30 Hari Mampu….”.
Ngarang atau kenyataan? Untuk mengujinya Anda memang harus kali pertama menelisik daftar isi buku tersebut, riwayat penulisnya, lalu memeriksa dengan cara baca cepat bab-bab penting dari daftar isi. Baru Anda dapat menyimpulkan tiga kategori buku dengan jenis judul yang sedikit banyak mengundang masalah: 1) buku berjudul bombastis; 2) buku berjudul tergesa; 3) buku berjudul menipu.
Buku berjudul bombastis. Tampilan judul dibuat sekadar menarik perhatian pembaca, terutama calon pembaca yang mudah dipengaruhi dengan kata-kata sakti, seperti ‘misteri’, ‘keajaiban’, ‘the power of …”, atau juga pilihan kata menohok: “Jangan Mau Jadi Orang Gajian Seumur Hidup”, “Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya”, “Jangan ke Dokter Lagi”, atau “Siapa Bilang Karyawan Tidak Bisa Kaya”.
Isinya ada yang dalam taraf biasa-biasa saja, tetapi ada juga yang memang dipenuhi kalimat motivasi ataupun didramatisasi sedemikian rupa oleh penulisnya. Untuk soal yang terakhir, saya sangat senang dengan buku berjudul “Presentasi yang Mencekam” karya Sutanto L. Tjokro terbitan Elexmedia. Judul buku ini memang mendukung dari sisi tata letak dan isi sehingga masuk kategori ‘bombastis’, tetapi tidak mengecewakan.
Judul bombastis benar terkadang mengundang masalah, terutama terkait dengan kontroversi. Dalam pengalaman saya, buku berjudul “Jangan ke Dokter Lagi” yang saya tulis bersama dr. Tauhid Nur Azhar malah mengundang masalah bagi sang dokter. Isi buku sebenarnya mengungkapkan sistem imun di dalam tubuh sehingga kalau sistem imun prima, seseorang tidak perlu ke dokter hanya karena sakit ringan. Namun, karena judulnya menyiratkan bahaya bagi kepentingan dokter, dr. Tauhid mendapatkan teguran dari IDI, bahkan sempat dilarang mengajar di sebuah universitas.
Buku berjudul tergesa. Ada juga buku yang tampaknya atau mungkin judulnya dibuat tergesa-gesa karena tidak ada pilihan lain, sedangkan buku harus segera naik cetak. Peran editor sangat menentukan di sini, tetapi mungkin karena jam terbang editor masih kurang, terutama dalam stimulus ide maka judul buku yang tersajikan pun tidak optimal. Buku-buku seperti ini biasanya memiliki judul dengan kata-kata biasa atau kata-kata klise yang sudah terlalu sering digunakan seperti “Ada Apa dengan ….” (meniru judul film “Ada Apa dengan Cinta?”).
Buku berjudul menipu. Contoh ini kategori paling parah dalam manajemen pernaskahan sehingga penulis atau penerbit mengamini sebuah judul buku yang antara judul dan isi tidak sinkron atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Model judul dengan menampilkan durasi waktu pada buku-buku life skill dan how to banyak yang cenderung menipu. Pasalnya, penulis atau penerbit sendiri tidak pernah melakukan riset akurat bahwa suatu keterampilan dapat dikuasai dengan mudah, malah sampai tingkat mahir hanya dalam tempo 1 jam, 24 jam, 1 minggu, atau 30 hari. Jadi, terkesan judul itu disematkan untuk menarik perhatian saja, isinya ya terserah pembaca.
Dalam kasus ini memang ada pembaca yang mengambil peduli dengan menelisik dan mempraktikkan sesuai kecap dari buku tersebut. Namun, kebanyakan pembaca Indonesia tidak ambil peduli (atau seperti sudah imun) dengan judul-judul tadi dan menganggap buku tersebut hanya berisi keterampilan praktis biasa tanpa perlu mengukur-ukurnya dengan durasi waktu tertentu seperti yang dijanjikan judul buku itu.
Saya jadi teringat salah satu butir benefit buku yang dituliskan oleh Tung Desem Waringin dalam bukunya Marketing Revolution: “Bagaimana Menjual Produk atau Jasa dalam 3 Detik atau Kurang”. Menarik, bukan? Resep ini secara gamblang disebutkan oleh Tung yaitu tentang menulis buku sebagai modal publisitas. Tung memberi resep bahwa judul buku harus menarik, taglinenya powerfull.
Kata-kata sakti atau tagline “Bagaimana Menjual Produk atau Jasa dalam 3 Detik atau Kurang” tadi memang praktik dari hypnotic writing. Apakah dapat dipercaya? Tung mengembangkan teori yang disebut irresistible sensational offer (ISO) yaitu pusat penawaran dari produk atau jasa yang ROI-nya dapat dipercaya, dikomunikasikan dengan jelas, dan orang akan tampak bodoh kalau melewatkan penawaran tersebut.
“Anda dapat menjual 3 detik, lho. Masak gak mau?” Begitulah kira-kira benefit yang ditawarkan. Nah, ini hebatnya Tung Desem, penjelasan soal benefit tadi tidak terekspos jelas di dalam buku. Pun dengan benefit “Cara Jitu Meningkatkan Peningkatan Produk atau Jasa hingga 31.500% Tanpa Biaya Tambahan”. Tung hanya menjelaskan contoh-contoh kasus berikut saran-saran, lalu contoh kasus orisinalnya adalah penjualan seminar beliau dengan mengganti judul seminar. Dari yang daftar 1 orang, kemudian setelah diganti menjadi 315 orang. Kasus ini kemudian dibombastiskan menjadi “bagaimana meningkatkan penjualan 31.500% tanpa biaya tambahan”. Dahsyat! Hehehe, Tung tidak membuat judul ‘menipu’ karena beliau punya alasan dan contoh nyata. Lebih daripada itu ada kilah lain bahwa untuk lebih jelas Anda dapat mengikuti trainingnya. 🙂
Namun, buku-buku lain yang bertebaran memang banyak menggunakan ‘judul menipu’ alias isi buku tidak dapat menjelaskan konkret durasi waktu ataupun sebuah kuantitas/kualitas yang digembar-gemborkan dalam judul. Teknik marketing lewat judul yang digunakan baru teknik permukaan yaitu memancing keingintahuan seseorang saja; fatalnya dapat membuat pembaca kecewa atau merasa dibohongi.
***
Judul tidak dapat dianggap sepele dalam konteks publisitas produk seperti buku. Bahkan, terkadang memerlukan perenungan mendalam sebelum disematkan pada sebuah buku. Saya masih ingat cerita bagaimana Jack Canfield menemukan judul “Chicken Soup”. Dia melakukan meditasi selama 2 jam sehari. Lalu, dalam meditasinya ia teringat kepada neneknya. Sang nenek selalu memberikan sup krim ayam hangat dan berkata, “Sup ini akan menyembuhkanmu”. Lalu, diperolehlah judul buku brilian yang menggetarkan dunia itu: “Chicken Soup for the Soul”.
Di Indonesia kemudian banyak yang menirunya dengan mengganti kata “Chicken Soup” menjadi “Secangkir Teh” atau “Secangkir Kopi”. Judul “Chicken Soup” sendiri memang tidak serta merta dapat diindonesiakan menjadi “Sup Ayam untuk Jiwa”; rada aneh kedengarannya.
Hal inti adalah bagaimana judul itu selain tampak unik, mengundang rasa ingin tahu, juga dilingkupi kejujuran. Ada sinkronisasi judul dan isi; ada fakta-fakta yang mendukung judul; ada alasan-alasan logis yang dapat diterima. Bagaimana pun pembaca adalah stakeholders penting bagi penerbit untuk terus ditumbuhkembangkan minat sekaligus kepercayaan agar mau membaca dan mau berubah.
Terima kasih.
Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia
www.dixigraf.com

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
saya ingin bertanya…
bagaimana caranya agar kita dapat menulis sebuah karya sastra yang membutuhkan banyak perbendaharaan kata?
jujur, saya suka sekali menulis, tapi perbendaharaan saya mungkin masih kurang…
saya minta solosinya…
trims…
Perbendarahaan kata itu didapatkan karena sering membaca, terutama membaca karya-karya sastra bermutu. Selain itu, seorang penulis juga harus membekali dirinya dengan kamus maupun tesaurus (kamus sinonim) untuk membantunya memilih kata-kata. Demikian, terima kasih…
Mengulik dan meremah judul memang pekerja gampang-gampang menantang. Kadang, ide tiba-tiba hadir dari ketidaksengajaan. Persoalannya, saya (kita) siaga dan menghargai ilham itu atau tidak.