The Dangerous Business of Publishing

Penerbitan buku itu seperti “kutukan”, kata seorang teman. Seseorang yang masuk ke sana takkan bisa keluar dari sana. Hehehe, saya membenarkan. Dan saya termasuk orang yang sering menggoda seseorang masuk ke dunia penerbitan buku, lalu hidupnya pun berputar-putar di sana meski ia tak lagi bersama saya.

Bisnis penerbitan buku sebenarnya bisnis ekstra rumit karena menggunakan insting lebih untuk dapat menghasilkan produk buku pro-pasar. Bisnis ini juga menggunakan keahlian gabungan, seperti editing, desain grafis, illustration making, dan book making. Namun, entah mengapa kebanyakan orang menganggapnya gampang dan dapat dimasuki siapa pun–terutama mengompori orang untuk self-publishing.

Untuk kesekian kali saya menerima berita dari seorang rekan tentang penerbit muda yang terbanting-banting akhirnya karena buku menumpuk dan utang di percetakan menggunung. Pun, untuk kesekian kali saya menerima berita seorang self publisher menanggung getir karena bukunya cuma laku sepersepuluhnya dari total tiras cetak, padahal sudah dalam rentang setengah tahun, sedangkan argo kredit jalan terus.

Para trainer dunia penerbitan buku memang tidak salah untuk mendorong-dorong orang menulis dan menerbitkan buku segera. Namun, ada keberhati-hatian ketika mulai mendorong-dorong orang mendirikan penerbit, apalagi dengan modal pinjam sana sini. Beberapa dari mereka memang paham atau mengambil jalan pintas menggunaka jasa penerbitan buku (publishing service), tetapi lebih banyak lagi mereka justru celaka dalam pemasaran serta penjualan karena tidak mengenali hutannya, mereka hanya mengenali pohon-pohon penerbitan buku.

Dunia penerbitan buku memang dunia gagasan. Kali pertama yang dilakukan adalah menggagas atau membeli gagasan seorang. Ujungnya adalah memasarkan gagasan itu. Di ujungnya banyak para penerbit baru ataupun self-publisher yang tumpul.

Buku Fiksi yang Tak Pasti

Buku fiksi seperti novel, apalagi puisi atau kumpulan cerpen adalah pertaruhan besar penerbit. Namun, di sisi lain, proses kreatif para penulis pemula atau penulis muda sekarang justru paling besar berkutat di sini. Umumnya generasi sekarang senang sekali menulis puisi, novel, atau cerpen meski sebagian besar karya mereka masih penuh luka-luka–karena kurang mampu bersastra, epigon, ataupun tak punya cukup gagasan yang menarik.

Buku fiksi yang meledak di pasaran seperti gejala anomali. Hampir tidak pernah disadari penerbitnya, terutama yang ditulis oleh penulis pemula. Andrea Hirata menyebut dirinya: “Saya hanya penulis kemarin sore.” Beberapa penerbit memang tidak melirik dia pada awalnya, tapi sebuah keputusan substantive editing mampu membuat buku itu terbit. Buku itu masuk pasar dan mengalami decline hingga hampir terlupakan untuk kemudian terselamatkan oleh acara Kick Andy dan menjadi booming karena menyedot perhatian serta keinginan banyak orang–ada tragedi pendidikan yang menarik dalam novel tersebut serta menyentuh. Ini memang anomali.

Pun begitu dengan Ayat-ayat Cinta yang kali pertama dianggap sebagai genre yang aneh. Keanehan tidak serta merta berterima pada penerbit. Lalu, novel ini meledak karena digempur dengan publikasi media, diangkat keunikan serta ‘tragedi cinta’ di dalamnya. Eksotisme Mesir dan kota Alexandria menjadi sajian penambah selera maka novel ini menjadi novel tidak biasa yang mengguncang Indonesia.

Bagaimana penerbit Indonesia bisa mencari-cari anomali lain seperti ini? Karena itu, segala peruntungan dicoba. Karena mencoba peruntungan, modal besar dipertaruhkan untuk sebuah karya fiksi yang berhasil di pasar. Hanya segelintir cerita manis karya fiksi, kebanyakannya terbanting-banting di pasar hingga akhirnya terbanting-banting dalam harga. Sulit membuat orang ngeh untuk membaca dan membelinya dalam angka yang melampaui skala ekonomi.

Beberapa kali dalam pelatihan penulisan, saya menyebutkan bahwa karya fiksi berbasis keinginan. Sulit sekali menakar keinginan pembaca. Karena itu, seorang penulis fiksi memang harus nyemplung dalam pusaran keinginan pembaca dan berproses kreatif dengan memainkan perasaan pembaca: sedih-gembira-tertawa-bahagia-geram-tegang, dsb.

Saya sering bertemu penulis fiksi yang sangat percaya diri menawarkan naskahnya–menyebut-nyebut karyanya sebagai karya terobosan dalam jagat sastra Indonesia. Beberapa karya beraroma internasional dengan melibatkan tokoh-tokoh lintas benua, beberapa karya lagi sangat mengindonesia, beberapa karya full fantasi layaknya Harry Potter, dan beberapa karya lagi bernuansa romantis religius. Semua gagasannya menarik memang, tetapi untuk menakarnya apakah ini yang sedang diinginkan pembaca di Indonesia, itu yang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Memang akhirnya saya melihat beberapa karakter penulis fiksi sejati. Dia tidak harus berlatar sastra, tetapi ia gila membaca–membaca bukan dalam arti harfiah, tetapi lebih luas dengan menghimpun segala informasi. Penulis fiksi berbakat ini selalu bereksperimen dengan tema, perwatakan, latar, dan alur cerita. Di Indonesia saya kira ada beberapa orang yang punya karakter seperti ini dari generasi masa kini, sebut saja Dewi Dee, Tasaro, Fira Basuki, Alberthiene Endah, Tere Liye, dan pendatang baru A. Fuadi. Tentu ada beberapa yang lain juga dan terus lahir di Indonesia.

Para penulis itu bereksperimen, tetapi kalau penerbit buku fiksi, jangan bereksperimen jikalau modal penerbitan pas-pasan atau dari pinjaman! Kadang-kadang mempertaruhkan nama besar penulis juga bisa jeblok. Fiksi itu tak pasti, menakarnya harus dengan kekuatan insting yang tajam dan mengangkatnya harus dengan kekuatan promosi yang powerful sekaligus taktis. Ini akan menghabiskan energi Anda melebihi buku-buku yang lain.

Buku Anak Lebih Aman

Buku anak masuk kategori lebih aman karena kita bermain dalam dua rangkaian sekaligus: kebutuhan dan keinginan; anak dan orangtua. Sebagian besar buku anak merupakan keputusan (keinginan) orangtua untuk membelinya; sebagian kecil lain anaklah yang memilih bukunya sendiri. Karena itu, peluang terbuka lebih luas dengan menggarap tema-tema ringan keseharian, tema fantasi, ataupun tema yang memang lagi tren di kalangan anak-anak, seperti princess ala Disney.

Pengusaha buku yang masuk ke jalur buku anak lebih aman saya kira karena potensi buku menumpuk di gudang bisa dikurangi dengan banyak cara, terutama penjualan sistem direct selling dari sekolah ke sekolah ataupun tempat di mana para ibu atau bapak senang berkumpul. Koneksi orangtua kepada anak adalah koneksi supercepat melebihi teknologi gelombang paling canggih sekalipun. Begitu melihat buku anak maka ortu akan segera mengingat anaknya dan berpandangan anak pasti senang atau anak saya perlu membaca.

Bagi Anda pemain yang ingin aman (safety player), cobalah memulai dengan buku anak. Namun, tidak mudah pula mencari penulis-penulis buku anak yang brilian. Di Indonesia ada beberapa penulis buku anak yang sungguh berbakat dan punya segudang gagasan untuk buku anak. Anda bisa mencari dan melirik mereka di grup Forum Penulis Bacaan Anak.

Buku-buku Short Time

Buku-buku short time ini kategori berbahaya karena umur buku yang pendek disebabkan momentum tertentu atau tren tertentu. Buku-buku teknologi komputer bisa masuk kategori short time book atau medium karena teknologi dapat berubah dengan cepat. Namun, buku-buku komputer masih lebih aman daripada buku-buku politik yang jika terlewat sedikit saja atau media sudah tidak lagi mengeksposenya, alamat buku akan mengendap di gudang.

Buku-buku short time yang berhasil ambil saja contoh karya George Junus Aditjondro yang diterbitkan Galang Press dan berhasil menyedot perhatian yaitu Gurita Cikeas. Mengapa? Karena topik yang diangkat adalah kontroversial. Sangat pendek umurnya, tetapi ketaktisan penerbit akhirnya mampu mengoptimalkan penjualan buku tersebut dalam rentang waktu yang pendek. Namun, perlu diingat bahwa jaringan distribusi dan penjualan menjadi sebuah faktor sukses bermain di buku-buku short time seperti ini.

Buku Fast Book Lebih Bergigi

Buku-buku fastbook dengan karakter murah meriah dan menyentuh kebutuhan banyak orang memang lebih bergigi dalam pasar. Hanya kadang bagi banyak penerbit, buku-buku seperti ini kurang menantang, apalagi bagi mereka yang berjiwa idealis–pasti maunya menerbitkan buku kategori sulit, rumit, ataupun mulai berpikir estetis. Padahal, kalau buku-buku fastbook ini juga digarap apik dan dilapisi gagasan pengemasan yang mantap, buku ini pun punya energi yang bisa menyelamatkan cash flow.

Buku Religi yang Evergreen

Dalam konteks Indonesia, buku-buku religi atau spiritual Islam memang masih menunjukkan kedigdayaannya meskipun sebuah topik kadang dikeroyok puluhan penerbit. Sebut saja tema shalat dhuha ataupun sedekah yang dengan berbagai judul dan pengemasan ditawarkan oleh penerbit. Namun, anehnya semuanya kadang bisa laku normal (3.000 eksemplar). Buku seperti ini pun tidak khawatir menjadi usang topiknya karena dapat digunakan sepanjang masa.

Kasus menarik di Indonesia, mungkin belum banyak diangkat adalah fenomena penerbit buku religi di Solo. Saya kira ini model penerbitan berantai yang unik. Menyambung dengan paragraf pertama tulisan ini, saya temukan bahwa seorang editor atau penggiat buku di sebuah penerbitan mengajukan pengunduran diri. Bukannya kerja dalam bidang lain, personel yang resign tadi malah mendirikan penerbit juga, kadang lokasinya berdekatan dengan penerbit asal tempat ia bekerja. Unik sekaligus lucu dan ini terjadi di beberapa penerbit: satu keluar lalu bikin penerbit.

Kemudian, yang terjadi seperti garpu tala, satu penerbit menerbitkan judul anu maka yang lain pun ikut menerbitkan anu. Contoh kasus paling menarik adalah buku tentang shalat subuh yang kali pertama diluncurkan penerbit Aqwam. Serentak penerbit lain mengikuti dan hasilnya hampir semua masuk kategori laris jual. Namun, keadaan begini memang tidak akan dapat bertahan lama karena bagaimanapun kesamaan topik akan saling menganibal yang lain dan dari sekian penerbit yang tumbuh bak jamur pada musim hujan itu pun satu per satu rontok karena manajemen dan kelemahan di pasar.

Di-Yusuf Agency-kan

Aha, siapa tak kenal Yusuf Agency, agen penjualan buku yang sangat fenomenal di Indonesia, atau Jawa khususnya. Dengan hanya berjongkok ria di stand buku yang dihias seadanya, kita bisa memperoleh buku-buku bagus dengan harga termurah se-Indonesia: 5 ribu, 10 ribu, atau 15 ribu. Buku-bukunya bisa ditawar dan ketika ditawar, Pak Yusuf cukup mencium bau bukunya, lalu mengiyakan tawaran kita atau menurunkan lebih sedikit. Bau buku ternyata bisa menjadi indikator harga buku. Makanya para pemasar buku patut belajar ilmu ini pada Pak Yusuf.

Lalu, muncullah guyonan itu bahwa sebuah buku yang gagal di pasaran solusinya adalah dengan cara di-yusufagency-kan. Artinya, dijual obral sebagai dead stock dengan harga bandrol kadang dalam ukuran satu truk. Yang penting buku itu tidak menumpuk di gudang dan jadi biaya. Biarlah kembali bernasib dibeli dengan harga pokok produksi atau paling tidak bisa jadi uang.

Di-yusufagency-kan terus terang menjadi mimpi buruk bagi sebuah penerbitan kecil atau penerbit pemula. Beda dengan penerbit besar yang sudah mendapatkan subsidi dari buku-buku lain yang sudah lebih dulu laris dan menghasilkan profit berkali-kali lipat.

***

Tidak hendak berpanjang-panjang lagi, tulisan ini hanya untuk membagi kewaspadaan bagi teman-teman yang berniat masuk dalam bisnis penerbitan buku. Anda akan mendapatkan “kutukan” tak bisa lari ke bidang lain, itu pertama. Kedua, Anda harus bersiap sport jantung untuk menerima risiko buku Anda tidak dilirik pembaca ataupun ditempatkan di rak paling tidak terlihat di toko buku. Anda juga harus bersiap pasang kuda-kuda untuk tidak menerima tawaran menggiurkan dari para kriminal perbukuan: seseorang menelepon Anda sok akrab, lalu bersedia membeli buku Anda dalam jumlah lumayan dengan tunai. Pembayaran dilakukan dengan giro atau transfer ke rekening Anda, bukti transfer dikirim lengkap dengan validasi bank. Hehehe semua itu bodong dan jangan percaya 1.000%.

Nah, jangan hanya termakan oleh manisnya penerbitan buku… melihat bos-bos para penerbit berkendaraan supermewah… melihat keberhasilan buku-buku best seller dan melambungkan Anda menjadi selebritas… merasa begitu mudah menerbitkan buku (kalau cuma begini, saya pun bisa)… dan melupakan risiko bisnis di depan mata. Jangan sampai Anda dikejar-kejar para penulis, percetakan, ataupun mertua yang Anda pinjami uang hingga kemudian menarik kembali anaknya dari pelukan Anda. Semoga tidak demikian.

:Catatan perbukuan

Bambang Trim

4 thoughts on “The Dangerous Business of Publishing”

  1. Yayat Sri Hayati

    Bagaimana dengan buku2 perguruan tinggi? Masuk kategori mana? Karena belum ada dibahas di tulisan Bapak.

    1. Buku perguruan tinggi memang masuk penerbitan speasialis dengan pangsa pasar yang terbatas. Jika mampu mempertemukan buku dengan pembacanya yang potensial, penerbit perguruan tinggi dapat establish. Hanya memang kadang mahasiswa kita tidak punya kemauan dan minat mengoleksi buku–kebanyakan memfotokopinya. Mudah-mudahan ke depan berangsur lebih baik dan mencerahkan.

  2. Buku univ. itu mahal loh, pak. Makanya ga ada yg mau mengoleksinya. Mahasiswa2 sesungguhnya mau beli tapi terlalu mahal dan tebel pula.
    Buku yg berkaitan dengan DKV pun susah dicari dan kl ada, mahal. Miris dah.

    1. Mahal itu relatif, Mas. Kalau untuk pendidikan kita, pasti yang punya uang akan berusaha membelinya. Saya dulu memang kuliah dalam keadaan prihatin, tapi saya tetap memaksakan membeli dan sebagian lagi difotokopi. Buku DKV ada beberapa. Kalau yang mahal itu, biasanya buku DKV yang menampilkan contoh-contoh desain dengan kertas luks dan berwarna.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.