Diskusi Sabtu, 3/10/09, dengan Bang Syam (jurnalis dan penulis kawakan) lumayan hangat. Beliau memaparkan teori imagineering (lebih jauh baca buku Indigostar) yang dapat diterapkan dalam industri penerbitan. Saya menyimpulkannya menjadi formula 1-1-150 alias 1 kreator, 1 suporter, dan 150 ambasador.
Satu kreator adalah subjek dari mereka yang menekuni bidang proses kreatif kepenulisan. Hanya dibutuhkan satu kreator hebat untuk satu naskah yang berdaya–punya daya tarik, punya daya ubah, dan tentu saja punya daya jual. Dia memang kerap disebut pengarang (biasanya untuk karya-karya fiksi) dan penulis (biasanya untuk karya-karya nonfiksi).
Daya imajinasi dan dorongan berkreasinya sebagai kreator sejati menjadi harapan munculnya para peminat baca–menumbuhkan industri buku untuk membuat kepompong hingga lahir kupu-kupu indah (buku-buku bermutu). Kreator memang seharusnya mereka yang punya daya pikir (think), daya nalar (insthink), dan daya rasa (feeling) yang optimal dipergunakan.
Satu suporter adalah subjek industri perbukuan yaitu cukup satu penerbit yang profesional. Di dalamnya ada tenaga-tenaga editor yang siap menjadi suporter para penulis, bukan justru menjadi kompetitor atau lawan untuk berdebat. Lebih jauh, editor menempatkan dirinya sebagai ‘pelayan’ terbaik penulis, namun diharapkan lebih pintar dan lebih piawai dalam menulis sehingga ia bisa memberikan saran penuh dukungan terhadap kreasi para pengarang/penulis.
Seratus lima puluh ambasador alias duta buku. Nah, ini yang menarik. Mengapa 150 orang? Saya ambil asumsi buku dicetak 3.000 eksemplar atau lebih. Lalu, saya mengalokasikan 5% untuk buku contoh maka 5% sama dengan 150 eksemplar buku contoh. Buku contoh memang dibagikan secara gratis guna kepentingan promosi. Lalu, siapa yang berhak mendapatkan 150 buku itu atau setiap satu orang masing-masing mendapatkan satu buku? Sebaiknya, mereka yang berjiwa ambasador atau berkarakter duta dari buku kita.
Karakter duta itu adalah mereka yang mau dan berminat membaca buku yang kita beri. Lalu, dengan senang hati aktif mengampanyekan atau menyuruh orang untuk membaca dan membeli buku itu karena dia mendapatkan pengalaman luar biasa dengan membacanya.
Andy F. Noya adalah ambasador paling berhasil untuk banyak buku, terutama “Laskar Pelangi”. Cukup satu Andy F. Noya dan Kick Andy maka daya dukungnya mampu setara dengan daya 3.000 ambasador, bahkan lebih. Saya pernah melihat juga daya dukung luar biasa dahsyat ini dari seorang ambasador buku bernama Aa Gym ketika mengusung “The True Power of Water”. Di luar negeri kita tahu ambasador paling diinginkan para penulis buku adalah Oprah Winfrey.
Iklan buku di koran, neon box di toko-toko buku, ataupun model-model lain above the line tampaknya kurang terlalu berpengaruh terhadap buku. Namun, seorang ambasador begitu berpengaruhnya. Ambasador buku yang paling berpengaruh menurut saya adalah tokoh publik, ulama/ustadz, artis, presenter, komentator, akademisi, politikus, penulis TOP, pejabat publik, wartawan, dan sebagainya. Karena itu, apa yang perlu dibangun oleh penerbit adalah komunitas (community development) untuk kemudian dapat membina para ambasador tersebut.
Ambasador buku sering juga diperlihatkan secara terbuka melalui buku tercetak. Bentuknya bisa dalam kata pengantar (foreword) sehingga ada yang mencantumkan lebih dari satu atau dalam bentuk testimoni singkat (endorsement). Sayang, banyak penerbit tidak menggunakan para ambasador awal ini sebagai ambasador terusan untuk membantu mempertemukan buku itu dengan pembacanya.
Saya pernah memberi kata pengantar untuk sebuah buku terjemahan tentang penerbitan buku. Sayang, keinginan saya kurang direspons penerbit untuk dapat membawa buku tersebut dalam setiap event pelatihan tentang penulisan-penerbitan yang saya isi. Padahal, penjualannya bisa di-push lewat captive market yang sudah saya bina yaitu para penulis dan editor. Bayangkan, kadang seorang trainer, leader MLM, ataupun leader asuransi bisa mengompori peserta training ataupun downline-nya untuk membeli sebuah buku. Dan Anda pasti mafhum begitu banyak orang yang menjadi ‘ambasador’ “The Secret” karya Rhonda Byrne dan “Quantum Ikhlas” karya Erbe Sentanu tanpa diminta.
Seratus lima puluh ambasador dapat menghasilkan penjualan berkali-kali lipat dan menunjukkan kekuatan ‘word of mouth’. Seratus lima puluh ambasador itu kini tidak hanya menggunakan mulut, tetapi juga email, SMS, YM, fesbuk, hingga twiter untuk ‘menghasut’ orang membeli buku tertentu. Kata-kata mereka lebih jitu untuk mempengaruhi sahabat, kerabat, bahkan orang yang baru dikenalnya untuk membeli buku.
Ambasador bisa identik dengan talent. Namun, talent pasti harus dibayar untuk sebuah promo buku. Dan ambasador tidak harus menjadi seorang talent dan tidak harus dibayar karena mereka dengan senang hati diikuti ikhlas merekomendasikan buku kepada orang lain. Alhasil, ada peran kreator dan suporter yang proaktif membentangkan jejaring ambasador ini. Buku harus menjadi produk yang menawarkan bukan hanya keandalan content, melainkan juga kemampuan memberikan pengalaman serta kesan, seperti kata James Gwee: delight your customer; delight your reader. Beri kesan kepada pembaca Anda maka Anda akan mampu menciptakannya menjadi ambasador.
Saya pernah menjadi ambasador untuk buku Tung Desem, “Financial Revolution”–entah berapa orang yang membeli gara-gara rekomendasi saya. Saya pernah dan selalu menjadi ambasador untuk buku referensi “Tesaurus Bahasa Indonesia” karya Eko Endarmoko setiap kali pelatihan penulisan-penerbitan meskipun baru satu bulan terakhir ini saya berkenalan dan berkontak langsung dengan Mas Eko. Dan banyak lagi, buku yang berkesan bagi saya, pasti saya rekomendasikan kepada orang lain meskipun saya tidak kenal langsung penulisnya dan tidak dibayar untuk itu. 🙂
Akhir diskusi memang terus membawa saya berpikir membangun komunitas lebih intens dan jejaring lebih luas guna menghimpun sebanyak mungkin ambasador. Saya sebagai subjek penulis, saya sebagai subjek penerbit, dan saya juga sebagai subjek ambasador perlu memiliki daya imajinasi untuk mengontruksi gagasan yang karib dengan semangat zaman.
Dulu tidak terpikir bagaimana note fesbuk ini pun bisa menjadi jalan mempropagandakan sebuah buku atau sosok seorang penulis. Karena itu, di samping mengoptimalkan note fesbuk ini, saya sebagai ambasador penulis pun harus menguasai hypnotic writing–he-he-he untuk yang satu ini saya merekomendasikan buku karya Joe Vitalae terbitan Gramedia agar dibaca (judul yang sama: Hypnotic Writing). Ilmu menulis ini memang menggunakan pendekatan neurolinguistic programming sehingga mampu mempengaruhi VAKOG (visual, auditory, kinesthetic, olfactory, dan gustatory) alias lima pancaindera manusia.
Memang kita sudah saatnya memikirkan begitu banyak terobosan yang dapat diciptakan untuk menggerakkan industri penerbitan-perbukuan. Iklan saja tidak cukup untuk membuat orang mau dan berminat membeli, apalagi benar-benar membacanya. Buku yang tidak laku kadang bukan karena kurang bagus, tetapi memang tidak bertemu dengan pembacanya yang potensial.
:catatan perbukuan Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesi

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.