Saya Membaca dalam Menulis; Saya Menulis dalam Membaca

Sebuah pesan di kotak surat facebook saya terima dari teman facebooker, Mas Adi Baskoro. Beliau menuliskan seperti ini.

Pak Bambang,sampai saat ini jika dikalkulasi waktunya, lebih banyak mana antara membaca dan menulis? pertanyaan berikut: bagaimana cara mengeluarkan ide-ide yang berputar-putar di pikiran ke atas keyboard? sebab sampai detik ini saya masih juga kesulitan. pikiran dan eksekusi seperti berjarak, otak dan tangan terasa kurang sinkron.

Saya berpikir sejenak dalam perjalanan dari Jakarta-Bandung. Pertanyaan ini mengasyikkan dan saya coba memainkan kalkulasi porsi antara membaca dan menulis. Baru saja saya menamatkan novel “Nagabumi” karya Seno Gumira Adjidarma setebal lebih dari 700 halaman setelah sebelumnya meloncat-loncat baca buku berjudul “Api Sejarah 2” karya Prof Ahmad Mansur Suryanegara. Dan kemarin sore saya baru dapat hadiah buku dari seorang Tasaro berjudul “Muhammad saw: Lelaki Penggenggam Hujan” dengan tebal lebih dari 500 halaman. Bagaimanapun menghadapi buku-buku tebal adalah sebuah tantangan tersendiri dan saya memerlukan magnet untuk menuntaskannya.

Pertanyaan Mas Adi tadi membenturkan saya pada suatu jawaban. Tidak ada porsi bagi saya, apakah itu fifty-fifty atau 70:30 antara membaca dan menulis. Sesungguhnyalah saya membaca dalam menulis dan saya menulis dalam membaca! Saling berganti dominasi porsinya, tetapi sebenarnya juga bersinergi dan bersenyawa.

Setiap kali menulis, bahkan untuk menuliskan note di facebook pasti saya ikuti dengan kegiatan membaca–mengoneksi beberapa referensi untuk sekadar mengecek data, fakta, ataupun penulisan nama orang agar tidak salah. Beberapa waktu lalu saya salah menuliskan judul lagu Beyonce karena saya ‘malas’ mengecek dan merasa pasti benar. Judul lagu itu saya tuliskan “If I was a boy” yang seharusnya “If I were a boy”. Jadi, bagaimanapun senyampang menulis, saya pun (harus) membaca.

Dan saya menulis dalam membaca. Ketika membaca buku “Api Sejarah 2” saya tengah memikirkan tulisan apa yang dapat saya buat dari pembacaan buku ini. Tulisan-tulisan itu bersama gagasan berkelebat membentuk sebuah tatanan judul, lalu juga kalimat pertama dari sebuah tulisan. Ketika membaca buku Seno pun, akhirnya saya menemukan gagasan sekaligus tulisan tentang “Pendekar Editor!”. Begitulah bahwa dalam membaca, saya pun menulis.

Saya pernah mengungkapkan bahwa biaya yang saya keluarkan untuk membeli begitu banyak buku harus kembali lagi atau balik modal dengan tulisan. Karena itu, saya berusaha menulis dalam membaca.

Intinya, saya tidak dapat memetakan porsi banyakan mana antara membaca dan menulis. Keduanya senyawa dan bergerak selaras seperti Pendekar Tanpa Nama dengan jurus Tanpa Bentuk: “Dalam diam sesungguhnya aku bergerak; dalam gerak sesungguhnya aku berdiam.” Menandakan sebuah kecepatan proses karena memang kita memetakan membaca dan menulis sebagai kegiatan yang mendarah daging, menyatu dalam diri.

Tentang ide yang berkelebat, memang kita perlukan jaring penangkap yang akurat. Tiada yang dapat saya sarankan selain berlatih dan berlatih ibarat koboi yang berlatih menggunakan laso untuk menjerat kuda liar atau banteng liar. Ide itu kadang memang liar dan belum jinak ketika kita tak menguasainya. Karena itu, kita perlu tahu seluk-beluk menjinakkannya setelah mengalami proses menulis berkali-kali. Apa yang perlu dicari adalah sebuah ‘laso’ berupa kalimat pertama dari tulisan kita dan pelajarilah itu dari cara para penulis besar menulis kalimat pertama. Beberapa orang lagi menyebutnya sebagai pembuka ‘lead’ atau paragraf awal.

Maka jarak pikiran dan eksekusi itulah yang harus kita potong dengan kalimat pertama. Berjarak karena kita merasa asing antara ide dan jenis tulisan; ide dan ragam tulisan; dan kita pun kerap tidak tahu untuk siapa kita seharusnya menulis. Inilah yang perlu ditajamkan dengan pelatihan dan pengumpulan ilmu sebanyak-banyaknya.

Sikronisasi pun akan muncul dari harmonisasi penggunaan pancaindra. Gunakan seluruh pancaindra untuk menulis, jangan hanya kinestetik melalui tangan. Gerakkan mata, telinga, penciuman, dan lidah juga untuk menulis. Gunakan segala pilihan kata yang ‘merangsang’ pancaindra itu. Maka memang menulis ibarat belajar silat, melatih segala kepekaan indrawi dan melesatkannya dalam gerak yang tidak tertangkap oleh mata awam.

Hehehe, saya cukupkan dulu perbincangan soal ilmu: membaca dalam menulis; menulis dalam membaca. Saya diburu waktu harus memberi training hari ini. Salam sukses, terima kasih buat Mas Adi Baskoro yang telah memancing gagasan saya tentang menulis.

:catatan kreativitas
Bambang Trim

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.