“Jemu” memang satu kata yang tampaknya sudah jarang digunakan orang Indonesia daripada “bosan” atau “be-te” yang belakangan muncul sebagai bahasa slank. Jemu bermakna tidak suka lagi. Bahkan, ada pula frasa “jemu jelak” yang bermakna kenyang sekali. Jadi, seseorang yang ditawari makanan meskipun makanan itu sebenarnya mengundang selera, boleh jadi seseorang merasa jemu jelak dan malah menjadi enek.
Apa hubungannya dengan buku? Sebentar lagi tiba kembali Hari Buku Nasional pada Mei ini. Apakah Anda merasa jemu buku sebagai penulis atau pembaca buku? Sebab penjualan buku secara umum menurun atau tampak para penulis buku menulis dengan ‘irama yang sama’ seperti sebuah koor yang didorong kepentingan atas nama pasar dan tren.
Sekian tahun bergumul dengan buku, termasuk mempelajari segi proses kreatif dan produksinya, terus terang saya belum terjangkiti ‘jemu buku’. Malah makin mendalami, makin pula punya antusiasme dan kepenasaran tingkat tinggi. Hanya terpaan badai demi badai regulasi dalam dunia buku, seperti pajak, royalti, minat baca, minat menulis, ataupun program buku sekolah elektronik, kadang memang mengecilkan hati kita untuk tetap bertahan dalam dunia buku. Kita mungkin tertarik pada dunia lain yang lebih menggiurkan dan terkesan canggih, misalnya teknologi informasi minus buku.
Jemu sebagai pembaca juga tidak saya alami, kecuali memang sekali dua kali merasa bosan dengan deretan buku bertopik sama tanpa pengembangan sama sekali. Kalau sudah demikian, saya pun melakukan penelisikan lebih dalam–mencermati buku-buku yang hanya menampilkan judul punggung saja atau yang sengaja diselipkan oleh para checker pesaing agar tidak tampil ke muka. Memang ujungnya kita terjangkiti jemu kalau malas mencari dan berpayah-payah dengan sesuatu yang tersembunyi.
Pada kenyataannya memang banyak ‘mutiara’ tersembunyi, bahkan terbenam oleh lumpur, termasuk dalam dunia buku. Banyak penulis yang berbakat dan punya karya luar biasa, tenggelam bersama mimpinya hanya karena tidak menemukan jalur yang benar. Banyak penerbit yang punya komitmen, akhirnya turut terbenam karena tidak punya cukup modal ataupun tidak punya strategi jitu bermain di pasar buku.
Apa yang muncul ke permukaan adalah buih-buih yang makin banyak saja di lautan buku. Penulis instan yang lahir dari manapun dengan semangat menulis buku yang tak terbantahkan. Penerbit-penerbit pencari peluang, tapi miskin komitmen terhadap kualitas dan penghargaan kepada penulis. Pengambil kebijakan di pemerintahan yang sama sekali tidak mengerti dunia buku dan masih berharap ada benefit berupa rupiah mengalir dari buku–bukan benefit berupa generasi yang tumbuh bersama buku. Karena itu, dalam buih-buih lautan dan dalam lumpur yang menghitam harus terjadi anomali pada dunia buku dan harus pula kadang terjadi malpraktik dari standar perbukuan semestinya.
Alangkah lucunya negeriku dengan buku dan merasa bangga dapat menetapkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional, tetapi (mungkin) sebagian besar rakyatnya sudah jemu dengan buku-buku dan sebagian kecil lagi jemu jelak secara semu–merasa sudah kenyang dengan buku, padahal sebenarnya kekurangan gizi pengetahuan. Atau malah bukan jemu, melainkan memang tidak pernah tertarik dengan buku sejak dulu sehingga tidak pernah merasakan nikmat dan benefit hidup dengan buku-buku.
Hehehe… mari kita buka situs IKAPI Pusat yang konon hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Buku Nasional. Bukalah jendela “Tentang IKAPI” maka tidak akan Anda temukan sebarang catatan di sana: http://www.ikapi.org/news/. There are no items to display. Apakah IKAPI sudah jemu untuk menuliskan riwayatnya sendiri atau memang tidak ada yang mau atau mampu mengisi content dalam situs resmi ini. Bahkan, dalam jendela home terbaca tulisan yang masih kurang menggigit dan error dari sisi tata bahasa yang semestinya bukan kelas IKAPI. Apakah kita kemudian harus menjadi jemu dengan IKAPI sebagai satu-satunya organisasi profesi penerbitan buku yang diakui di Indonesia?
Tulisan ini bukan hendak menjemu-jemukan buku, melainkan bongkah harapan munculnya masa berkebalikan bahwa akan tumbuh generasi yang mesra dan intim dengan buku. Ada satu keunikan buku bahwa ketika buku dibaca lebih dari satu kali, setiap kali itu pula pembacanya yang mesra dan intim tadi akan menemukan ‘mata baru’. Karena itu, “jemu buku” adalah keadaan sangat memprihatinkan bagi suatu bangsa untuk tidak mengatakan berbahaya–berbeda dengan kebanyakan dari kita yang jemu (muak) dengan korupsi. Namun, buku jelas bukan korupsi atau koruptor yang harus dimuaki.
Nah, Hari Buku Nasional tahun ini seperti ditanggapi dengan jemu–tampaknya tidak ada hiruk pikuk menyambutnya, tidak ada award untuk para penerbit/penulis/penggiat buku, tidak ada lagi ‘jalan santai’, tidak ada spanduk-spanduk, tidak ada gebyar-gebyar–menyiratkan seolah-olah kita sudah jemu buku. Padahal para news maker 2009 maupun 2010 ini ramai-ramai menguatkan eksistensinya dengan buku. Lagi-lagi mereka percaya bahwa rakyat belum jemu buku dan tahu bahwa buku dapat mengangkat citra mereka, mengungkap yang sebenarnya, ataupun sebagai ‘alat bermuatan kecerdasan’ yang dapat menjadi ‘kubu untuk bertahan’ atau ‘senjata berdaya debat hebat’ (meminjam istilah Mochtar Lubis). Entah Presiden kita yang gagah dan Wakil Presiden kita yang cerdas juga jemu dengan buku-buku atau enggan peduli berpikir soal buku, entah juga mereka sedang memikirkan bagaimana memajukan dunia buku.
***
Saya sebenarnya jemu menulis soal perbukuan nasional yang selalu dipenuhi dengan keluhan seperti lingkaran setan–bahkan kemudian menjurus menjadi seperti mencari ketiak ular. Hampir tidak ada ‘improvement’ yang berarti dalam kebijakan perbukuan nasional selama satu atau dua dekade ini. Apa yang muncul justru kebijakan yang memukul atau terus kontraproduktif dengan keinginan orang untuk membaca dan akhirnya menulis buku.
PPN buku masih seperti pasal karet tentang ketentuan buku yang kena pajak dan tidak kena pajak. Padahal, semua buku layak untuk dibebaskan dari pajak. Para penulis buku pun, baik royalti maupun flat fee tetap dibebani dengan PPh, padahal penghargaan untuk mereka masih minim dan mereka berjuang menulis sesuatu untuk bangsa ini.
Jadi, diperlukan orang-orang dablek untuk bertahan di dunia buku Indonesia–bertahan membaca, bertahan menulis, dan bertahan menerbitkan dengan tidak mengambil pusing. Orang-orang dablek ini pasti tidak pernah jemu dengan buku karena semuanya berkepala granit, lebih keras dari batu.
:catatan perbukuan
Bambang Trim
Praktisi Penulisan dan Penerbitan Indonesia
http://manistebu.wordpress.com

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.