Adaptasi Prinsip Telur Ceplok dalam Menulis

Training Menulis Ikhtisar Laporan di BPK-RI

Dalam suatu penelitian yang dilakukan sebuah universitas kepada sejumlah CEO di Amerika, 98% dari mereka menyatakan bahwa keterampilan menulis yang efektif akan mendorong karier seseorang. Pada kenyataannya memang demikian karena ‘menulis’ menjadi wahana transfer komunikasi maupun informasi yang paling sering dilakukan orang saat ini–apalagi dengan teknologi informasi, seperti berkembangnya situs jejaring sosial ataupun komunikasi mudah via blackberry yang mendorong peningkatan aktivitas menulis.

Beberapa orang merasa tidak sengaja dirinya mampu lancar menulis dan apik menggunakan bahasa maupun gaya bahasa. Namun, sebenarnya mereka pasti memiliki pengalaman masa kecil yang baik dalam mengekspresikan imajinasi maupun pendapatnya di dalam tulisan. Hal penting lain yang membuat mereka lancar menulis adalah begitu besarnya minat mereka dahulu pada bacaan dan kegiatan membaca.

Sebagian besar orang lagi justru kesulitan untuk mengekspresikan pikirannya ke dalam tulisan. Menurut mereka tidak semudah mengatakannya. Memang mereka seperti buntu menggunakan kata-kata dan menata kalimat. Ujung-ujungnya mereka bilang bahwa mereka tidak menguasai EYD dan bahasa Indonesia dengan baik. Alhasil, konteks kegagalan pemelajaran bahasa Indonesia dahulu yang di dalamnya terdapat pelajaran ‘mengarang’ atau ‘menulis’ dianggap sebagai biang kerok. Padahal, sebenarnya bukan itu….

Minat dan kebiasaanlah yang membawa kita pada kemampuan menulis yang baik. Jika tidak ada minat terhadap tulisan dan tiada kebiasaan membaca, tulis-menulis pun menjadi sesuatu yang asing, bahkan lebih berbahaya dianggap sebagai sesuatu yang sepele. Jika kita mengalihkan minat dari kurang suka menjadi suka, lalu menguatkan diri untuk selalu membaca, lama-lama akhirnya menulis pun dapat dikuasai dengan baik. Di sinilah tidak ada bakat yang berbicara untuk terampil menulis, tetapi lebih pada kemauan untuk menguasainya guna tujuan tertentu. Dan bahan bakunya adalah pengalaman hidup yang disebabkan membaca secara menyeluruh menggunakan pancaindra (bukan sekadar membaca buku atau koran).

***

Maka pecahkanlah telur gagasan itu ….

Ibarat menyajikan telur ceplok, dibutuhkan penggorengan (wajan), kompor, dan minyak goreng atau mentega. Mulai dengan proses standar: 1) penggorengan diletakkan di atas kompor; 2) minyak goreng dituangkan ke atas penggorengan; 3) kompor dinyalakan dengan api sedang. Dan yang paling penting telur mentah sudah tersedia lebih dulu.

Setelah minyak panas, telur pun dipecahkan dengan penuh kehati-hatian (bagi yang sudah ahli, tentu ini hal gampang). Ya, supaya kuning telur tidak pecah dan tetap utuh. Lalu, muncul selera apakah kuning telurnya mau dibuat setengah matang atau matang. Lalu, ada pula selera tambahan, dibalik atau tidak. Dan semuanya butuh keterampilan untuk membaliknya tanpa memecahkan kuning telur. Satu lagi yang tidak boleh terlupa, menaburi garam dan merica secukupnya di atas permukaan telur sebagai perasa.

Nah, begitu juga dengan menulis. Hal ini bukan soal bakat, melainkan soal minat, hasrat, dan keterampilan. Tentu bahan utama ide kita ibaratkan sebutir telur. Ide harus dipecahkan menjadi ‘hidangan tulisan’. Kita butuh mesin tik atau komputer untuk ‘menggorengnya’. Kita butuh referensi yang diibaratkan sebagai garam atau merica untuk mengayakan rasa tulisan. Lalu, kita perlu melakukan editing dengan menetapkan kuning telur setengah matang atau matang dan berhati-hati dalam membaliknya.

Inilah yang saya sebut prinsip telur ceplok dalam menulis. Terlihat sederhana karena memang hidangan telur ceplok itu memang sederhana, bahkan dapat dilakukan orang yang tidak pintar memasak sekalipun. Namun, tetap butuh keterampilan memecahkan telur (baca: ide) dan menggorengnya di dalam minyak yang panas (hasrat ataupun tugas penulisan yang dikejar deadline). Telat sedikit mengangkat, alamat telur akan gosong dan tidak dapat dinikmati.

Jadi, belajar menulis itu pun sederhana. Hanya perlu minat dan penetapan tujuan untuk apa mampu menulis. Lalu, saya akan ungkapkan proses standarnya, yaitu prewriting, drafting, revising, editing, dan publishing. Dari sinilah mengapa Anda perlu dikawal untuk berlatih menulis ataupun memerlukan mentor. Tidak serta merta menulis dapat dipelajari dari buku-buku yang dikembangkan secara autodidak. Mengapa? Karena ada jalan taktis untuk menguasainya dan Anda harus (sekali lagi) menetapkan tujuan: mau mampu menulis fiksi saja, nonfiksi saja, atau faksi saja; boleh juga mampu menjadi seorang generalis yang menguasai berbagai jenis tulisan.

Praktis dan taktis dilakukan sesederhana menyiapkan telur ceplok. Namun, butuh keterampilan yang dapat dilatihkan hanya dalam hitungan jam atau hari. Berani mencoba?

Don’t miss it!

Double Impact Training: Writing & Editing

bersama Bambang Trim

8-9 Juli 2010, Hotel Vue Palace, Bandung

Pukul 8.30-16.30 (Full day training)

Info: Irma (081320200363)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.