Menulis bukan bakat, menulis adalah keterampilan hidup yang dapat dilatihkan sejak dini atau bahkan, ketika seseorang sudah memasuki usia paruh baya sekalipun.

Anak pribadi yang unik dan penuh dengan kebebasan berimajinasi luar biasa yang patut dipahami dan dihormati orang dewasa. Anak-anak itu bertumbuh dengan ekspresi kreativitas jika memang lingkungan dan pendidikan mendukung ke arah pengembangan kreativitas tersebut. Ekspresi kreativitas anak yang patut kita dukung, misalnya menggambar, bernyanyi, bermain, menari, dan tentunya juga menulis.
Suatu pertanyaan pun terlontar: Dapatkah anak dilatih menulis sejak dini? Tentu saja mengingat ada beberapa anak yang dikaruniai apa yang disebut kecerdasan linguistik (berbahasa) sehingga ketika usia mereka masih batita pun sudah menunjukkan tanda-tanda ke arah sana. Lalu, anak yang tidak memiliki kecerdasan tersebut pun sebenarnya dapat distimulus dan dilatih sehingga akhirnya memiliki kecerdasan tersebut berupa keterampilan yang matang untuk mengekspresikan idenya ke dalam bentuk tulisan.
Langkah-langkah awal tentunya mendekatkan anak dengan bahan bacaan, apakah itu buku atau media massa cetak yang sesuai dengan usia mereka. Membaca menjadi jalan pembuka menuju kemampuan menulis yang sebenarnya. Dari membaca, mereka memahami logika, misalnya logika jalan cerita. Dari membaca, mereka memahami bahasa, misalnya beberapa pilihan kata tertentu. Dan dari membaca, mereka meluaskan pandangan serta wawasan yang akan mendorong melangitnya imajinasi mereka.
Ada pola standar pengajaran menulis yang terdapat pada kurikulum di luar negeri. Pola ini dapat diterapkan pada karya fiksi, nonfiksi, maupun faksi. Pola standar itu adalah 1) prewriting; 2) drafting; 3) revising; 4) editing; 5) publishing. Dalam pengamatan saya, pengajaran menulis/mengarang di sekolah-sekolah dasar (umumnya) hanya mengajarkan secara kental drafting yaitu menyusun kerangka/ragangan, lalu mulai menulis. Adapun empat poin pola lain kerap tidak diajarkan, terutama soal revising, editing, dan publishing. Padahal, kelima pola itu saling terintegrasi dan merupakan satu alur pengetahuan yang dapat ditanamkan kepada anak sejak dini.
Tahapan pertama yang dapat diajarkan kepada anak dari menulis/mengarang adalah dalam ranah fiksi ataupun faksi, baru kemudian menanjak ke ranah nonfiksi. Saya biasa memulai dengan menyusun kisah dengan memanfaatkan stimulus pancaindra mereka, apakah itu pelihatan, pendengaran, penciuman, perasa, ataupun pergerakan. Lalu, kita mengenalkan unsur-unsur cerita, seperti tokoh, tempat/latar, dan alur/jalan cerita.
Tahapan kedua mulai masuk ke teknik memetakan kisah menjadi buku dan paling awal adalah mengenalkan buku bergambar (picture book) atau buku bergambar minim kata-kata (wordless picture book). Anak-anak dilatih dulu membuat story board. Langkah maju dari sini baru saya menuntun anak-anak membuat chapter book.
Memang tools penting dari mengajarkan menulis/mengarang ini adalah bahasa. Mulailah dengan mengenalkan kata dan pilihan kata, lalu beranjak pada kalimat, dan terus ke paragraf hingga wacana utuh. Biarkan anak menulis sesuai dengan imajinasinya dan tidak perlu didikte. Kita sebagai orang dewasa hanya berusaha memantau struktur berpikir mereka, apakah runtut atau meloncat-loncat. Hal tersulit ketika anak berkisah adalah membangun alur, baru kemudian hal lain adalah menguatkan perwatakan tokoh dan mendeskripsikan tempat/peristiwa.
Nah, di sini diperlukan kreativitas. Jangan terpaku pada pikiran dan angan-angan. Anak-anak dapat dibantu dengan alat peraga ataupun hasil kreativitas lainnya, seperit gambar (mereka disuruh menggambar, lalu bercerita), origami (mereka bercerita tentang berbagai bentuk origami), foto-foto keluarga, botol minuman, kaleng bekas, kardus bekas, tanaman, atau yang paling menghebohkan adalah mengajak anak-anak langsung mendekat ke alam dan mengisahkannya.
Ilustrasinya bisa seperti ini: Berbaringlah bersama anak-anak di atas rerumputan. Dan pandanglah awan dan matahari di langit. Biarkan anak berimajinasi dengan benda-benda angkasa itu. Lalu, bangkit dan duduk berjongkok, lihatlah rerumputan dan sibaklah. Apa yang anak-anak lihat di balik rerumputan, mungkin ada semut atau serangga lainnya, mungkin tetes embun, dan mungkin akar-akar rumput. Biarkan mereka berimajinasi dengan kehidupan di bawah rumput.
Jadi, memang sulit mengajarkan menulis/mengarang tanpa kreativitas atau mematikan keadaan hanya di dalam kelas dan terkungkung oleh teori-teori kebahasaan serta teori-teori menulis. Bebaskan pikiran dan hati kita untuk menulis, baru kita mampu membebaskan anak-anak juga dari kebencian terhadap menulis/mengarang (yang mungkin mereka rasakan saat ini).
Tunggu event bernas bersama TrimKom, program khusus pelatihan menulis untuk guru dan program khusus pelatihan menulis untuk anak-anak SD.
Start Your Idea |
|||
Adventure Stories |
Amazing Stories |
About Things I Do |
About People and Places |
·Pulau Bajak Laut
·Peri Nakal
·Mesin Ajaib
·….
|
·Sup Batu
·Enam Orang Buta dan Gajah
·Kancil dan Buaya
·Panci Ajaib
·….
|
·Kudapat Hewan Peliharaan
·Pengalaman di Kota
·Makanan Bergizi
·Aturan Sekolah
·….
|
·Orang-orang Baduy
·Sehari Bersama Pemadam Kebakaran
·Pindah Rumah
·Siapakah Aku?
·….
|

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.