Sejak menekuni bidang editing (khusus buku) di Program Studi D3 Editing Unpad (1991-1994), hidup saya kemudian tidak pernah lepas dari kerja penyuntingan, terutama pada industri buku. Sekali sempat saya menangani dunia media massa ketika setahun lebih menjabat sebagai pemimpin redaksi Tabloid MQ. Namun, tetap fokus saya adalah bagaimana sebuah naskah yang berwujud tulisan aneka laras dapat tampil layak baca dan layak cerna.
Seorang editor sering diibaratkan sebagai koki masakan. Area kerjanya pun kerap disebut sebagai dapur editorial. Sang ‘koki editor’ ini meracik aneka bumbu berupa bahasa, gaya bahasa, penyajian, desain, dan juga makna hingga siap santap bagi pembaca. Karena itu, ia pun mesti mengerjakan dengan keahlian mumpuni, sekaligus hasrat dan intuisi untuk mengenali apa yang dibutuhkan dan diinginkan banyak orang.
Dapur editorial (penyuntingan) akan tetap berasap selama ada bahan baku utama bernama NASKAH. Naskah adalah produk kreativitas dari seseorang atau lebih yang disebut pengarang (AUTHOR) atau penulis (WRITER). Karena itu, editor berkepentingan melakukan pencarian naskah yang lebih jauh adalah pengenalan terhadap pengarang/penulis sehingga dapat diajak bekerja sama. Tanpa pengarang/penulis berarti tanpa naskah yang mengakibatkan terancamnya dapur editorial.
Di Indonesia, pengarang dan penulis terus bertumbuh dan berkembang. Pasar naskah disesaki begitu banyak judul. Namun, memang harus kita akui sulit sekali menjaring pengarang/penulis yang memiliki kemampuan menggagas dan menyajikan tulisan di atas standar. Begitu banyak naskah berkategori ‘sampah’ atau dapat kita sebut juga naskah-naskah kurang greget. Puluhan hingga ratusan naskah yang biasa diterima setiap penerbit ini memerlukan kejelian editor untuk memilahnya seperti halnya memilih bahan baku makanan yang berkualitas dan tidak cepat busuk.
Alhasil, penerbit tidak dapat memungkiri peran para editor sebagai garda terdepan dalam mengepulkan asap dapur editorial meskipun sang penerbit punya persediaan kayu bakar ataupun gas yang cukup untuk memasak selama bertahun-tahun. Tanpa bahan baku terpilih dari kejelian sang editor, penerbit takkan mampu melakukan apa pun.
Masalahnya memang tidak gampang bagi penerbit menemukan sang editor sebagai koki andal yang tahu seluk beluk naskah dan punya cita rasa terhadap bahan (naskah) yang diraciknya. Kedudukan penting sang koki ini membuat Thomas Woll, seorang praktisi dunia penerbitan, menyebutkan bahwa program editorial adalah dasar dari cash flow penerbit. Artinya, akurasi dalam proses penggodogan naskah, baik tenggat waktu maupun kualitas, menjadi critical point industri penerbitan. Program editorial yang berjalan baik membuat semua orang (di penerbit) bekerja, baik itu bagian keuangan, bagian produksi, dan terutama bagian marketing.
Berkembang Secara Autodidak
Seperti juga di belahan dunia lain, kebanyakan editor yang masuk ke penerbit buku berkembang secara autodidak pengetahuannya. Hanya Indonesia sedikit tertinggal dibandingkan negara-negara maju ataupun negara tetangga seperti Singapura maupun Malaysia. Di negara-negara itu meskipun banyak editor yang autodidak, setidaknya mereka dapat mengikuti kursus singkat editorial yang dikelola secara profesional. Ambil contoh di Inggris terdapat lembaga bernama The Publishing Training Centre yang begitu lengkap menyajikan aneka pelatihan editorial sejak pemula hingga tingkat mahir. Tidak tanggung-tanggung, lembaga ini sudah berdiri sejak 30 tahun yang lalu.
Ilmu paling populer yang dikaitkan pada editing adalah copyediting atau secara lebih teknis disebut mechanical editing. Ilmu ini memang terkait erat dengan pengetahuan dan kemahiran berbahasa, baik itu bahasa Indonesia maupun bahasa sumber (dalam penerjemahan). Kunci dari ilmu ini adalah juga keterampilan membaca dan menulis.
Banyak editor kini yang justru tidak menguasai teknik membaca cepat (speed reading), terutama yang kerap digunakan dalam baca pertama naskah adalah teknik skimming dan scanning. Dalam hal menulis pun setali tiga uang ketika banyak editor kini yang juga tidak paham jenis hingga laras tulisan. Beberapa editor diterjunkan secara coba-coba untuk menangani naskah yang mereka sama sekali tidak memahaminya, seperti editor nonfiksi yang diterjunkan ke fiksi, editor buku pelajaran yang diterjunkan ke buku anak, atau editor buku umum yang diterjunkan ke buku spiritual.
Ilmu lain yang juga tidak kalah penting dalam editing adalah substantive editing yaitu penyuntingan penyajian dan isi naskah. Ilmu ini menuntut keterampilan mengembangkan paragraf, memerkaya isi (enrichment), dan meng-update isi. Bahkan, tidak jarang sang editor juga harus mampu melakukan rewriting terhadap naskah.
Ilmu tambahan dari editing adalah pictorial editing yaitu penyuntingan bahan-bahan piktorial pada naskah, seperti perwajahan interior, penempatan gambar, peta/denah, diagram, skema, foto, dan penyajian keterangan gambar (caption) atau juga penomoran halaman. Pictorial editing menuntut editor juga harus paham soal desktop publishing dan ilmu desain komunikasi visual.
Dengan segenap ilmu dan keterampilan ini, memang tidak dapat mengharapkan editor dapat berkembang secara optimal hanya autodidak. Tentu saja diperlukan pelatihan yang lebih intensif dan terarah untuk mengasah terus keterampilan editorial lainnya.
Dalam hal ini, kita belum berlanjut pada ilmu lain yang juga digunakan di bidang editorial yaitu ilmu mengakuisisi atau mendapatkan naskah. Profesi ini dalam dapur editorial disebut acquiring editor atau acquisition editor. Ibaratnya di samping koki yang meracik masakan di dapur, mereka ini adalah garda depan koki yang membeli/mendapatkan bahan-bahan terbaik di pasar. Para editor jenis ini punya insting ataupun intuisi untuk mencari bahan ke pasar mana pun di dunia ini. Karena itu, mereka mengembangkan kemampuan ‘membaca pasar’ dan meluaskan jaringan (connecting people).
Rahasia Dapur Editorial
Mengutip sebuah ungkapan dari film Kungfu Panda: the secret recipe is no secret. Resep rahasia (dari sebuah dapur editorial) adalah tidak ada rahasia. Benarkah demikian?
Dapur editorial sebuah penerbitan yang menjadi ‘tempat rahasia’ di mana sebuah naskah diracik dan kemudian menjadi booming sebenarnya hampir sama di setiap penerbit. Lihat saja bahwa alur penerbitan itu standar dan sama. Apa yang membedakan hanya kecepatan dan keahlian menyajikan sebuah naskah. Tidak ada resep rahasia!
Rahasia sebenarnya ada di pikiran para pengarang/penulis dalam bentuk IDE. Lalu, bagaimana sinyal IDE brilian ini dapat tertangkap oleh radar editor? Tentu, sang editor adalah orang-orang yang selalu berpikiran segar dan berpikiran kreatif out of the box. Mereka tahu bagaimana sebuah naskah dapat diakuisisi, lalu dilejitkan sedemikian rupa. Jadi, memang tidak ada rahasia di dapur editorial, yang ada adalah di dapur IDE para pengarang/penulis. Justru para editor sedang memecahkan kode-kode rahasia di dalam sebuah naskah untuk kemudian naskah itu memiliki keterbacaan tinggi dan kejelasan makna.
Lalu, kehebatan meracik itu sebenarnya ada di tangan editor. Itu bukan rahasia, melainkan sebuah ilmu dan intuisi yang sudah senyawa pada dirinya. Apa sebab? Karena sang editor mempraktikkan rasa cinta dan hasrat mendalam terhadap naskah sehingga ia punya gairah mewujudkannya menjadi sebuah buku yang juga berenergi positif.
Jadi, gampang sekali untuk memadamkan asap sebuah dapur penerbitan. Bukan dengan jalan menutup dapurnya, melainkan dengan jalan ‘membajak’ para kokinya. Resep (alur) meracik buku di mana-mana sama dan dapat Anda ‘beli’ di banyak tempat. Namun, kokinya yang piawai memang tidak dapat Anda temukan di sembarang tempat. Ibaratnya sangat mudah bagi Anda mencari resep sop buntut, tetapi di tangan koki yang profesional plus piawai, sop buntut itu menjadi begitu istimewa.
***
Begitulah… bukan hendak saya melebih-lebihkan sosok seorang editor buku, melainkan demikian adanya kalau Anda percaya bahwa dapur editorial itu betul-betul bergantung pada cinta dan hasrat para editornya. Dapat saja para editor itu menghancurkan dapur editorial sebuah penerbit dengan memainkan peran antagonis kepada setiap penulis/pengarang atau dengan juga tidak punya sedikit pun citarasa untuk membuat naskah menjadi–meminjam istilah Mas Hernowo–bergizi.
Karena itu, agar tetap dapur editorial itu berasap dan menimbulkan aroma yang membangkitkan selera baca, binalah para editor menjadi orang-orang pencinta naskah (buku) sejati. Kuatkan cinta dan gairah mereka dengan pelatihan yang berkelanjutan, tidak hanya hard skill, tetapi juga soft skill. Selanjutnya, terserah Anda untuk menjaganya agar tidak lari ke lain dapur. 🙂
Don’t miss it! Double Impact Training: Writing & Editing, 8-9 Juli 2010, Hotel Vue Palace Bandung. Training ini dipandu langsung Bambang Trim dengan materi terkini dalam hal penulisan dan penyuntingan naskah (konsentrasi naskah nonfiksi dan faksi). Hubungi Irma (081320200363)

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.