Satu Milad, Satu Buku Meluncur

Tiada terasa 29 Juni akan kembali menghampiri hidup saya. Tiada yang istimewa pada 29 Juni kecuali renungan atas buah cinta ayah-bunda pada 38 tahun lalu bernama Bambang Trimansyah yang kemudian melabelkan namanya menjadi Bambang Trim.

Tepat menjelang 38 tahun usia saya ini takdir Allah membawa saya ke Aceh untuk memberi training pada mahasiswa/dosen IAIN Ar-Raniry, lalu ke Medan, dan pada 21 Juni 2010 saya berkesempatan mengunjungi kota kelahiran saya, Tebingtinggi Deli. Di Aceh, sahabat baik yang sudah saya anggap saudara, Pak Rafar (pemilik toko buku Alif), mengantar saya ke sana ke mari. Di Medan saya meminta restu dan doa orangtua atas rencana besar yang saya ambil menjelang usia 38 tahun ini. Lalu, di Tebingtinggi, orang pertama yang saya kunjungi adalah Pak Sugeng Wijaya (Tiang Eng), seorang guru matematika SD supergalak yang selalu membekas dalam ingatan.

Saya mengunjungi beliau di sekolah F. Tandean, tempat saya menimba ilmu pendidikan dasar dan menyalur hobi ekstrem pada masa itu: breakdance serta BMX. Beliau menyambut saya dengan hangat. Saya sempatkan berkeliling kelas yang sebagian telah berubah dan sebagian lagi tetap seperti apa adanya. Pak Tiang Eng, begitu kami akrab menyebutnya, seorang warga keturunan Tionghoa yang sangat mencintai Indonesia, benar-benar memberi makna bagi saya arti seorang guru yang patut digugu dan ditiru: kebersahajaan, ingatan yang kuat terhadap mantan murid-muridnya, serta kebanggaan yang tebersit pada kilatan matanya.

Simpang empat di sebuah sudut kota Tebingtinggi Deli (Sumber: harianmandiri.wordpress.com)

Kesempatan lain saya gunakan untuk mengunjungi bekas rumah di kompleks pabrik es Sari Petojo di kawasan jalan MH Thamrin Tebingtinggi. Bekas rumah bangunan Belanda itu sudah tidak ada. Tergantikan oleh bangunan supermarket bernama IRIAN. Saya dan dua orang kakak saya duduk di sebuah sudut supermarket sambil merenungi tempat di mana dulu kami dibesarkan dan tinggal. Ruang di mana tempat kami dulu berkumpul bersama keluarga telah menjadi arena permainan anak-anak modern. Jejak-jejak masa lalu masih tertinggal. Bangunan pabrik rokok kretek di depan rumah kami dulu bernama PT Permona, masih teguh berdiri meski sudah menjadi sangat kuno. Di sampingnya masih ada jalan kecil seukuran satu mobil yang akrab kami sebut Kampung Tempel.

Lalu, kawan-kawan dekat pada 26 Juni 2010 lalu berkumpul di suatu tempat tak jauh dari rumah tinggal saya kini di sisi kota Cimahi. Saya memaklumkan berdirinya CV Trim Komunikata yang bergerak dalam bidang training penulisan-penerbitan. Acara dibuka dengan segenap kata dari istri tercinta, Irma Susilowati. Lalu, satu per satu kawan-kawan dekat memberi kesan dan cerita. Ada Jafar Irham (kawan SMA di SMA 5 Medan yang baru akrab kurang dari setahun ini), Kusye Kustira (kawan sekaligus murid sejati saya di dunia penerbitan), Yopie Hendra (orang yang berjasa besar menghubungkan saya dengan Aa Gym hingga terlibat dalam proyek akhirat di MQ), dan seorang Tasaro (kawan sepenulisan dan seperdebatan yang juga menjadi ‘anak didik’ saya di Salamadani). Kawan lain yang langsung menjadi sahabat datang memberi ucapan selamat adalah Mas Basri Adhie (owner MisterBlek Coffee dan OASIS Bookmart) serta Pak Andreas, mantan marketing Solo Murni yang kini jadi pengusaha percetakan sekaligus penerbitan. Ada juga Mas Amir (owner OASIS Bookmart) yang berhalangan hadir dan menyampaikan salam di facebook). Rombongan besar datang dari Salamadani serta Dixigraf.

***
Saya membanting ingatan pada satu tahun lalu. Kawan dekat lain yang sekarang menjadi boss penerbitan mentereng sekaligus kakak kelas yang saya kagumi sesama almamater Fakultas Sastra Unpad yaitu Hikmat Kurnia, bersedia mendampingi saya meluncurkan buku bertajuk “Taktis Menyunting Buku” di arena Pameran Buku Jakarta. Saya ‘dikerjai’ anak-anak Salamadani untuk dipancing berdebat soal profesi editor. Seorang peserta mengajukan pertanyaan yang menghunjam. Sebagai orang Medan yang kadang memegang prinsip “biar kalah asal menang” lalu muncul keinginan negatif selalu ingin menang dalam berdebat. Hehehe ini sebagai introspeksi diri. Kawan dekat, Mas Hikmat begitu bersemangat juga memberi paparan dan kritiknya. Beliau mengiringi milad saya yang ke-37 dengan peluncuran buku.

Acara milad itu ditutup dengan makan bersama kru Salamadani serta Dixigraf di resto seafood di sudut arena pameran. Seorang yang saya kagumi sebagai pemimpin, kawan baik, dan juga perempuan yang teguh memegang prinsip adalah Ibu Mira Safira. Beliau menjadi ‘penyandang dana’ acara syukuran makan-makan itu di resto. Dan betapa setahun lalu saya belajar banyak dari beliau serta melihat semangat untuk melambungkan penerbitan buku Islam; menyokong segala ide dan gagasan hingga Salamadani bisa melejitkan diri di antara penerbit Islam yang patut dicermati.

Kini, setahun berlalu serasa membekas karena takdir hidup saya membawa pada sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya. Saya mulai terlibat dengan kegiatan baru dan juga kawan-kawan baru. Saya terlibat setengah tahun ini membantu Politeknik Negeri Media Kreatif untuk merancang kuliah paling pas bagi mahasiswa-mahasiswa di Jurusan Penerbitan. Untuk itu, saya bertemu dengan Pak Zalzulifa dan Pak Darji yang dulu terkenal sebagai penggiat Pusat Grafika Indonesia. Dengan Pak Zul, saya pun membantu untuk menyusun standar kompetensi di industri kreatif penerbitan buku. Hasilnya, jadilah sebuah buku berjudul “Menggagas Penerbit Kreatif-Profesional: Studi Kompetensi di Sektor Industri Penerbitan”. Kami berdua punya mimpi menyelenggarakan pendidikan tinggi dan kursus singkat penerbitan berstandar internasional. Jiwa belajar serta mengajar memang ibarat magnet yang menarik saya ke PoliMedia.

Dalam setahun itu, saya berkenalan dengan berbagai pribadi-pribadi unik yang sedikit banyak mempengaruhi mind set (tata minda) saya soal hidup dan kehidupan. Orang papan atas yang saya kagumi dan ikuti sekaligus pelajari jalan pikirannya adalah Bang Semch (Syamsuddin Haesy), pemimpin umum HU Jurnal Nasional. Saya selalu menunggu teleponnya malam hari dan saya tahu saat itu ia sedang berkendara menuju pulang atau suatu tempat. Kami biasa ngobrol hingga 30 menit sampai satu jam. Kalau kebetulan bertemu langsung, obrolan bisa sampai 2 jam lebih. Beliau ‘menginstall’ saya dengan kesadaran terhadap focal concern dan driving force sehingga memantapkan saya mengambil keputusan penting dalam hidup ini.

Pribadi unik kedua yang saya kenal dan langsung akrab kurang dari setengah tahun ini adalah Ibu Dewi Utama Fayzah. Seorang intelektual perempuan, pendidik, sekaligus seorang ibu yang sangat bersemangat berdiskusi soal pendidikan usia dini. Saya menemukan orang yang klop bicara soal parenting dan masa depan generasi muda. Pertemuan pertama kami berhimpun menjadi pertemuan satu visi dan misi sehingga beliau melibatkan saya dalam pendirian Yayasan Jembatan Pekerti, bekerja sama dengan orang-orang idealis lainnya di bidang pendidikan. Kami menghimpun daya pikir dan daya energi untuk mempersiapkan pendidikan dan pelatihan bagi guru-guru PAUD/TK serta SD dalam berbagai bidang kreativitas. Saya belajar dari Ibu Dewi ini soal spirit of learning.

Beberapa pribadi lain ditakdirkan Allah bertemu saya pada menjelang usia 38 tahun. Entah apa rencana Allah buat saya dan saya mencoba menjalaninya dengan insting dan intuisi NYALI (Niat-Yakin sepenuhnya pada Allah-Arah hidup dengan visi dan miis-Libatkan diri dengan sukses orang lain-Ingat mati). Beberapa orang kawan menyebut saya orang yang berjiwa merdeka; idenya seperti air yang mencari tempat lebih rendah dan lubang-lubang penyaluran, nyaris tak bisa dibendung. Istri saya menyebut saya orang yang terobsesi dengan mimpi-mimpi melambung dan kadang berisiko tinggi. Seorang Tasaro menyebut saya pribadi ajaib yang tak sadar ilmunya selalu dikuntit dan diserap orang lain. Sungguh, saya sendiri tengah mencari dan menuju puncak kesadaran bahwa saya ingin menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain–karena itu, tak berhenti saya menulis buku tentang pribadi mulia Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah meski baru sebatas sekelumit sisi hidup beliau.

***
Satu mliad (ulang tahun), satu buku meluncur. Saya baru tersadar…. Tahun lalu meluncurlah buku “Taktis Menyunting Buku” yang merupakan sebuah buku ditulis dengan penuh cinta, hasrat, serta keinginan berbagi. Lalu, pada tahun ini, tepat lusa 29 Juni, saya pun bersama kawan Bapak Zalzulifa meluncurkan buku “Menggagas Penerbit Kreatif-Profesional” dalam rangka launching Academic Book Fair serta Seminar Standar Kompetensi Industri Kreatif Penerbitan.

Saya bersyukur atas takdir Allah yang selalu mendekatkan jalan saya pada jalan buku untuk menemukan jalan-Nya yang sebenar-benarnya. Saya disadarkan dengan masa lalu dan dibangunkan dengan impian masa depan. Sukses terus berlanjut… dan takdir terus berjalan seiring pilihan hidup yang dihadapkan kepada kita. Dua orang guru penerbitan yang patut saya sebutkan di sini adalah Bapak Dadi Pakar dan Ibu Sofia Mansoor. Pak Dadi selalu mengiringi langkah saya hingga kini, memompa terus kesadaran saya tentang buku. Ibu Sofia adalah benchmark saya soal komitmen menjadi editor profesional dan trainer yang menginspirasi. Lalu, ada juga guru-guru yang tidak bersua secara langsung seperti Pak Frans M. Parera dan Pak Pamusuk Eneste. Dan guru menulis paling menginspirasi sekaligus kolega saya dalam beberapa training penulisan, Mas Hernowo Hasim. Dari buku-buku Mas Hernowo saya mencerap banyak ilmu dan informasi yang tak sempat saya baca.

Apa yang saya coba pahami, tidak semata-mata Allah mempertemukan kita dengan orang-orang, kawan-kawan, sahabat-sahabat, saudara-saudara, guru-guru, ustadz-ustadz; dan seyakin-yakinnya saya mereka adalah orang-orang baik berenergi positif yang dikirimkan Allah untuk saya kenali. Allah Swt. punya rencana besar untuk saya dan untuk kita semua: husnudzan yang melingkupi. Dan seberapa besar pun usaha kita untuk menolaknya, ketetapan Allah Swt. adalah pasti karena ada doa-doa yang secara sadar atau tidak sadar kita lakoni.

Satu milad, satu buku meluncur… akan saya amini sebagai tradisi. Satu milad, satu buku meluncur… akan saya jalani sebagai takdir saya di jalan buku; jalan pena; jalan yang hampir sama ditempuh para syuhada. Satu milad, satu doa meluncur terhadap kawan-kawan, guru-guru, sahabat-sahabat, dan saudara-saudara yang saya sebutkan namanya di note ini ataupun yang terlupa disebutkan agar mendapat keberkahan dalam hidupnya dan gulungan amal yang tiada putus dikerjakan, termasuk kawan-kawan yang membaca note ini. Semoga Allah mencatat pertemuan kita adalah pertemuan penuh makna dan manfaat yang dilingkupi kasih sayang-Nya. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Satu milad, satu buku meluncur… juga doa tiada berhingga akan kasih sayang Allah Swt. kepada kedua orang tua saya: H. Syaiful Azwar dan Ibunda Liza Mahlizar. Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan sisa usia yang berkah kepada keduanya serta kebahagiaan hakiki. Kelimpahan rezeki, kesehatan, dan kebahagiaan untuk saudara-saudara saya beserta keluarganya: Kak Rita, Bang Rudy, Kak Riny, Bang Wawan, dan Adinda Rizky Winara.

Terima kasih tiada berhingga kepada semua saudara, kawan, sahabat, dan guru-guru saya. Sukses terus berlanjut….

1 thought on “Satu Milad, Satu Buku Meluncur”

  1. andry ardiansyah

    Salam kenal, membaca tulisan ini saya juga menjadi teringat akan alumni saya di smp-sma f.tandean (1985-1989).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.