Sore jumat 9 Juli 2010, selepas dari gedung Diknas, saya dan kru Dixigraf singgah sejenak di arena Pesta Buku Jakarta, Istora Senayan. Suasana masih mendung selepas hujan. Di areal parkir penuh mobil berjejer. Meskipun demikian, suasana pameran tetap agak lengang. Curiganya mobil-mobil itu milik para pengunjung yang menonton sirkus di seberang arena pameran buku.
Masuk ke dalam gedung utama, langkah saya terhenti di stand no 182 bertuliskan Papataka.com. Saya ditawari brosur penjualan e-book reader yang salah satunya bermerk Booken dan satunya lagi buatan Korea yang sepintas tampilannya mirip Kindle keluaran Amazon.com lengkap dengan QWERTY keyboardnya. E-book reader yang dibandrol dengan harga di atas Rp2 jutaan itu memang mengundang penasaran untuk mengungkap lebih jauh respons pasar pembaca Indonesia.
Hmm… Papataka.com menjadi menarik. Mereka hendak masuk wilayah electronic publishing (e-pub) yang tentu di Indonesia masih asing. Papataka.com menyiapkan 1.000-2.000 judul e-book siap unduh. Namun, tiada content e-book lokal karena memang penerbit Indonesia belumlah secara serius menyiapkan e-book. Semua masih berkonsentrasi pada penjualan p-book (paper book).
Saya sempatkan mengobrol sebentar dengan petugas stand Papataka.com dan menelisik lebih jauh pengembangan bisnis e-book ini sekaligus menjual e-book reader-nya. Sayang, e-book yang dijual masih dalam format BW atau hitam-putih dan belum bisa lebih jauh menampilkan halaman berwarna atau video, hanya sebatas audio. Kapasitas memory e-book reader pun masih terbatas 2 GB meskipun dapat ditambahkan dengan SD card tambahan hingga 32 GB. Umur baterainya disebutkan mampu membaca halaman hingga 9.000 halaman nonstop tanpa perlu recharge.
E-book yang dapat dibaca dalam format e-pub, pdf, dan txt. Dengan kapasitas 2 GB maka dapat ditampung sekitar 300 judul e-book. Kalau Anda buka web papataka.com, Anda akan lihat langsung list judul-judul e-book yang dipasarkan mulai harga ribuan hingga ke ratusan ribu untuk sekali unduh dan dapat dicopy 6 kali. Sekali lagi, kita tidak akan menemukan content e-book lokal meskipun Anda dapat menemukan buku-buku best seller internasional pilihan New York Times.
Akankah segera kita juga memasuki era electronic publishing yang tampaknya juga akan memberikan implikasi cukup signifikan pada gaya hidup masyarakat kita? Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan agak usang sekitar 10 tahun yang lalu atau bahkan lebih dari sepuluh tahun lalu (e-book mulai jadi perbincangan pada pertengahan 90-an). Namun, saya kembali mengusungnya karena ada dorongan kemunculan iPad serta pad-pad lainnya yang di dalamnya terdapat fasilitas e-book reader.
Di dalam iPad keluaran Apple bahkan konon sudah ‘ditanamkan’ 30.000 judul buku public domain yang dihasilkan dari Project Guttenberg. Bahkan, Amazon.com sendiri mengikat kerja sama untuk menghasilkan e-book yang juga dapat dibaca oleh pengguna iPad. Inilah bisnis masa depan yang makin menantang sekaligus mengundang tanda tanya: Akankah perilaku masyarakat pembaca Indonesia juga berubah dalam memandang kehadiran e-book reader dan e-book sendiri?
Petugas stand di Papataka.com menyebutkan respons pembaca e-book cukup bagus menyambut e-book reader keluaran mereka, apalagi dengan layanan komunitas dan update koleksi e-book. Saya menduga pasar utama akan menyentuh kalangan akademisi, para penulis, para pebisnis (eksekutif), dan juga para trainer/da’i/motivator untuk kasus Indonesia. E-book utama digunakan sebagai bahan referensi dalam format digital untuk aktivitas (karena mudah dibawa dalam jumlah besar), belum akan digunakan sebagai hiburan senggang dengan membaca karena masih kalah nikmat dan praktis dengan paper book.
Berdasarkan penelitian seperti yang dilansir detik.com juga kecepatan membaca e-book rata-rata lebih rendah 6-10% daripada membaca p-book. Jadi, lebih efektif digunakan memang untuk mencari referensi (rujukan) ataupun data dan fakta yang digunakan. Karena itu, para akademisi, penulis, ataupun pebisnis sangat praktis hanya membawa satu iPad atau e-book reader yang dapat menyimpan koleksi buku satu perpustakaan.
E-publishing Lahan Garapan Baru
E-publishing dapat menjadi lahan garapan baru para penerbit Indonesia, terutama menyediakan content-content yang sifatnya referensial. Jika saat ini dalam peta pasar buku umum yang menjadi primadona adalah buku-buku Islam, bukan tidak mungkin pasar e-book Islami juga sangat menjanjikan.
Ada ide dan gejala yang saya tengarai kelak juga ‘mengislamkan’ iPad. Akan muncul iPad atau pad-pad lain dengan nuansa Islami dan menawarkan content Islami dari berbagai vendor ataupun penyedia content, semisal e-book Quran dan tafsir, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, fiqih sehari-hari, ataupun ensiklopedia dan kamus Islami.
Siapa yang diperlukan? Tentu pemilik ide (author) dan pengembang ide (development editor), sekaligus mengembangkan fasilitas-fasilitas berbasis teknologi dekstop publishing, baik audio maupun video. Namun, ada pertanyaan yang juga mengganjal: soal pasar. Apakah e-book dapat menggantikan omzet p-book? Tampaknya belum akan kejadian karena pada faktanya di luar negeri: orang tidak ingin membeli e-book dalam jumlah besar dan juga tidak mau membeli e-book reader yang terlampau mahal. Seperti halnya Papataka.com, tantangan utamanya menurut saya adalah harga e-book reader yang masih relatif mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia: di atas Rp2 juta.
Jadi, dalam konteks Indonesia, bisnis e-book atau e-publishing dapat sekadar dibuat menjadi lini tambahan sebagai derivatif produk. Dalam bukunya Publishing for Profit, Thomas Woll menyebutkan bahwa bisnis e-book dipilih penerbit karena ada empat benefit: 1) produk baru, pasar baru, dan penjualan baru; 2) praktis dibawa ke mana pun (portability); 3) biaya yang minim (untuk pengembangan); 4) tidak ada retur.
E-Book versus Print-on-Demand (POD)
Selain e-pub yang memang belum populer di Indonesia, POD pun termasuk yang belum populer. Sekali lagi saya mengutip Thomas Woll dengan ulasannya berikut:Â “Sementara e-book masih berusaha eksis di pasar, salah satu segi lain dari perkembangan electronic publishing yaitu POD (pencetakan manasuka) siap bertumbuh. POD memberikan alternatif pemasaran yang baik untuk para penerbit disebabkan: 1) mampu menciptakan cetak coba secara terbatas; 2) menjaga buku-buku yang sudah habis dapat tercetak; 3) memelihara buku-buku lama (back list); 4) membantu produksi buku-buku akademis ataupun materi-materi kursus (modul) yang dijual dengan jumlah terbatas.”
Ada e-book sebagai produk bisnis baru yang juga terkait dengan bisnis content dan context, ada pula POD yang menawarkan solusi atas biaya cetak dan keamanan stok. Bayangkan dengan adanya digitalisasi penerbitan, sebuah buku dapat diformat menjadi softcopy sebagai e-book sehingga dapat dikeluarkan sesuai dengan permintaan, tanpa kertas dan tinta, dan tanpa gudang penyimpanan. E-book serasa di atas angin.
Namun, tiba-tiba teknologi digital penerbitan juga memunculkan mesin cetak baru yang efisien berjuluk POD. Penerbit bisa mencetak satu eksemplar buku, 10 eksemplar, atau berapa pun hingga 500 eksemplar dengan harga yang sama dan kualitas sebaik mesin cetak offset. Alhasil, penerbit pun tidak khawatir dengan minimum oplag (berdasarkan skala ekonomis) di 2.000 atau 3.000 eksemplar. Pencetakan buku dapat dilakukan sesuai dengan permintaan pasar dan hanya dibutuhkan space gudang yang relatif kecil.
Alih-alih masuk dalam bisnis e-book yang masih meraba-raba pasar, penerbit lebih  berpikiran masuk dalam konsentrasi penjualan buku-buku dengan POD yang ternyata peluangnya lumayan menjanjikan.  POD memungkinkan buku-buku dicetak dalam oplag kecil (di bawah 500 eksemplar) dengan investasi mesin POD kini kurang dari Rp1 M. Alhasil, penerbit dapat masuk ke pasar-pasar buku ‘long tail’–ada peminatnya, tetapi oplag kecil. Jadi, yang diperbanyak adalah portofolio judul aneka bidang dan tinggal mencetak sesuai dengan permintaan pasar.

Di Indonesia, beberapa penerbit memang sudah memiliki fasilitas POD ini atau lebih tepat lini percetakan mereka, seperti Gramedia Printing dan Kanisius. Percetakan ini membuka layanan POD untuk para penerbit yang menghasilkan buku-buku oplag kecil. Bahkan, hal ini akan menjadi alternatif paling baik untuk para self-publisher di Indonesia yang masih ragu-ragu memasarkan bukunya, kecuali secara terbatas dalam komunitas.
***
Mari bermain-main dengan masa depan…, terutama di bidang penerbitan. Untuk konteks Indonesia, p-book masihlah akan berjaya hingga 10 tahun ke depan bahkan lebih. Kehadiran iPad atau pad-pad lain hanya sebagai tren gaya hidup dan kemudahan untuk mengumpulkan sekian referensi dalam satu perangkat. E-book ada pasarnya, tapi tidaklah sebanding dengan apa yang diterima dari p-book.
Malah yang harus segera diadaptasi oleh penerbit Indonesia adalah solusi dari POD. Buku-buku lama dapat dihidupkan kembali dengan rasa baru. Persiapkan dummy-dummy dalam format file DTP terbaru semisal In-Design CS 4 atau CS 5 dan juga di-pdf-kan. Jadikan server Anda sebagai mini market ataupun supermarket judul-judul buku siap cetak dengan POD atau dapat juga Anda jadikan sebuah butik yang memajang karya-karya buku berkelas dan bercita rasa tinggi.
Tetaplah bergairah menyambut perubahan zaman, namun kita tetap konsisten berproses kreatif dalam industri kreatif penerbitan buku. Sekarang harus digagas kembali wacana-wacana baru pengembangan naskah buku dan hal-hal yang berbasis pada keinginan serta kebutuhan pembaca Indonesia. Semangat!
:catatan perbukuan
Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia; CEO Dixigraf Publishing Service

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
barang baru neeh, boleh juga di amati dan dipelajari.pa lagi untuk membuat buku bisa. met pagi .salam sehat
Met pagi kembali, silakan untuk dicermati, semoga berjumpa di hati. 🙂
Catatan menarik, Pak. Pada saat yang sama di Istora kemarin, saya sempat mengusulkan kepada petugas di stand Papataka, agar melakukan apa yang pernah dilakukan Gillete. Gillete membagikan alat cukur secara gratis. Lalu, Gillete mendapatkan pemasukan dari penjualan pisau cukurnya. Dalam e-book, Pepataka baiknya menyediakan e-book reader dengan harga miring dan menggenjot penjualan e-booknya. Ini akan sangat membantu mempopulerkan e-book reader.