Writing is Not a Job; It’s a Business!

Memang stereotip pemikiran bahwa penulis bukanlah sebuah profesi yang layak sebagai gantungan hidup masih menjangkiti pikiran mayoritas masyarakat Indonesia. Pikiran itu saya kira berkembang bersamaan dengan pernyataan bahwa sastrawan juga bukan profesi yang mapan dan cenderung mengambang. Para calon mertua akan menyeleksi betul para calon menantunya dari kaum lelaki. Lalu, apabila tersebut profesi penulis atau sastrawan, mereka pun dengan serta merta menunjukkan kecemasannya.

Karena itu, jurusan sastra di beberapa universitas pun beberapa puluh tahun lalu dianggap jurusan terbuang dengan madesu (alias masa depan suram). Mau jadi apa kelak sebagai sastrawan?

“Apakah kamu kelak bisa hidup dengan puisi dan cerpen?” begitulah pandangan stereotip itu berkembang. Bayaran untuk satu puisi dan cerpen kala itu memang luar biasa kecil. Itu pun kalau dimuat di media massa. Kalau ditolak, ya penghasilan memang tak menentu bagi seorang penulis atau sastrawan.

Zaman kini telah berubah. Meskipun demikian, pandangan cemas tadi masih saja menghinggapi para orangtua. Setali tiga uang ketika saya memilih program studi Editing di Fakultas D3 Sastra Unpad. Orang bingung dengan profesi editor ini alias si penyunting naskah (baca: tulisan). Penulis saja sudah tidak jelas pengakuannya, apalagi orang yang kerjanya memeriksa dan memperbaiki tulisan. Untunglah ada lembaga bernama penerbit yang menjadi gantungan kerja para editor untuk menjadi karyawan penerbitan. Profesi ini setidaknya tertolong oleh status ‘dapat bekerja di perusahaan penerbitan’. Meskipun sebagian besar orang yang saya beritahu tentang editor, masih saja tidak mengerti ada pekerjaan semacam itu.

Jawaban tentang hal ini baru saya temukan benar selang beberapa tahun kemudian setelah lulus dari D3 Editing Unpad, 1994. Saya selalu melawan pemikiran kolot soal madesu tadi, tetapi saya pada awalnya tidak tahu betul bagaimana membuktikannya. Saya menganggur selama 1 tahun mencari pembuktian dan selama itu saya menulis naskah pesanan buku pelajaran untuk beberapa penerbit. Baru kemudian saya mendapatkan status sebagai karyawan penerbitan dan bekerja dengan bangga menjadi editor.

Apakah saya bisa kaya? Ini pertanyaan mengganggu selanjutnya. Waktu itu motor saja belum punya. Namun, dari hasil menulis naskah Β pesanan, sebagai lajang pada periode 1995-1996, saya dapat mengantongi honor antara Rp3 juta sampai Rp6 juta setelah satu atau dua bulan menyelesaikan proyek pesanan. Puncaknya saya memberanikan diri menikah memang dari honor buku pelajaran yang kebetulan lolos proyek Bank Dunia–saya dapat puluhan juta dari sini meskipun penerbit memperoleh miliaran dari naskah yang lolos tersebut.

Kini jawaban itu muncul soal writerpreneurship. Saya menemukan buku Dan Poynter pada 2000-an soal self-publishing. Lalu, saya juga membaca karya inspiratif Herman Holtz berjudul How to Start and Run a Writing and Editing Business yang diterjemahkan oleh penerbit Grasindo. Dari sini saya tahu bagaimana penulis itu merupakan profesi luar biasa dihormati di Amerika dan Eropa serta punya kekuatan sendiri untuk menghasilkan uang.

Saya telah memulai langkah yang tampaknya benar, yaitu menulis. Tidak terbayang jika saya menggantungkan diri sepenuhnya menjadi editor tanpa karya tulis. Hal pertama, saya akan dipandang sebelah mata oleh para penulis, apalagi yang senior kalau saya tidak menulis. Hal kedua, tertutup other income buat saya dan hanya mengandalkan gaji sebagai editor, bukan honor profesional yang dibayar per kata. Hal ketiga, imajinasi dan kreativitas tulis-menulis saya bisa lumpuh kalau terlalu banyak membaca karya orang lain, tetapi tidak mampu menghasilkan karya sendiri. Di sini saya sadari bahwa kemampuan serta kemauan membaca dan menulis adalah karib yang kedua-duanya harus diaktivasi (lagi senang dengan istilah aktivasi, hehehe).

Lalu, stereotip pemikiran tadi kini memang dapat dibantah karena ‘menulis itu bukan pekerjaan; menulis adalah bisnis’. Mereka yang kaya dari menulis adalah mereka yang dapat berpikir secara bisnis sebagai writerpreneur.

Pertanyaan itu sempat saya dengungkan: “Di dunia ini bidang apa sih yang bisa lepas dari tulis-menulis?” Karena itu, semua orang butuh seseorang yang dapat menulis, apakah itu surat, proposal, SMS ucapan selamat, laporan, makalah, cerita anak, petunjuk penggunaan, iklan, dan sebagainya. Jadi, jangan pernah menyempitkan kegiatan menulis hanya pada puisi, cerpen, apalagi novel. Seorang sastrawan yang jago menata dan mengulik kata dapat menggunakan kemampuannya untuk menulis naskah iklan, menciptakan tag line atau motto perusahaan, menulis syair lagu, ataupun membuatkan kisah nyata seorang bos perusahaan yang berhasil dengan penuh makna.

Herman Holtz yang sempat saya singgung sebelumnya memang hidup dari tulis-menulis. Kliennya adalah perusahaan besar dan ia fokus pada penulisan bidang teknik. Namun, Herman kadang-kadang menerima pekerjaan sepele seperti membuatkan surat pribadi. Segala ruang bidang dan kebutuhan manusia memang dapat dimasuki tulisan.

Ada faktor kali yang luar biasa–meminjam istilah Pak Tung Desem–dari kemampuan menulis kita pun dapat menjadi pengisi acara seminar menulis ataupun menjadi trainer penulisan. Pada sebuah kontrak training di lembaga pemerintah selama tiga hari, saya dapat mengantongi honor Rp20 jutaan. Kadang ada juga yang ringan, memberi materi hanya 3 jam mengantongi honor Rp3 juta lebih. That’s a business.

Kini saya tetap melakoni profesi sebagai profesional di sebuah perusahaan penerbitan. Saya menjadi karyawan di posisi top management, tetapi saya dapat melepaskan kreativitas dengan tetap menulis dan mengajar. Kadang-kadang saya masih melakoni diri menjadi editor untuk buku-buku tertentu, kadang-kadang menjadi ghost writer, dan kadang-kadang pula menjadi konsultan untuk sebuah proyek penulisan. Sungguh mata air rezeki dari penulisan ini tidak pernah kering bagi sesiapa yang mampu menemukan jurus writerpreneurship di dalamnya.

Sebuah Proses

Jangan melupakan sebuah proses untuk menumbuhkan writerpreneurship. Semua tidak terjadi secara ujug-ujug (tiba-tiba) begitu saja. Bahwa menulis secara profesional adalah sebuah proses, tidak dapat dilakukan hanya dengan semata-mata peniruan atau copy paste sukses seorang penulis. Menulis harus menjadi sebuah pergulatan dan spiritnya adalah memberikan pencerahan kepada pembaca sasaran. Menulis adalah menggunakan nalar, lalu gagasan masuk ke kepala, diproses otak, kemudian dialirkan seperti aliran darah untuk menggerakkan myelin di otot-otot sehingga kemudian kita menemukan menulis seperti ‘mengalirkan’ air dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.

Saya mementingkan proses karena banyak pula penulis yang abai terhadap proses. Mereka begitu kecewa baru satu kali menghadapi penolakan. Mereka begitu bernafsu untuk menerbitkan buku, padahal menulis artikel atau feature saja belum pernah. Mereka begitu terlena dengan puisi, padahal belum ada orang yang menyatakan dapat menikmati dan memahami puisinya. Mereka begitu yakin dengan cerpen atau novelnya meskipun selama ini tak pernah terlihat mampu merangkai cerita dengan perwatakan tokoh, alur, serta setting yang mantap.

Penolakan dan kritik adalah sebuah proses. Penulis terkenal sekalipun terkadang juga harus menghadapi penolakan meski dia sudah ada di puncak nama tenar jagat penulisan. Karena itu, jangan mengabaikan proses, tetapi patut kita menemukan jalan pintas (short cut) untuk dapat menulis cergas.

Segera Bervisi Pro

Menulis juga memerlukan visi dan visi utama adalah profesional–dengan catatan kita memang siap menjadikan menulis sebagai jalan hidup. Profesional artinya memahami betul profesinya dan bertindak sesuai dengan kode etik yang berlaku, sekaligus akhirnya mampu menentukan tarif atau harga terhadap karya sendiri. Ketika kita masih ragu apakah kita patut dibayar dalam nominal tertentu, bagi saya keraguan itu belum dapat dikatakan profesional.

Kemampuan profesional ini juga harus diikuti kemampuan public speaking yang baik, terutama dalam presentasi, negosiasi, maupun saat membedah karya kita. Selain itu, kita tahu bagaimana meyakinkan orang lain untuk memakai jasa penulisan kita maupun menerima karya kita.

Terkadang karena alasan kurang waktu ataupun kurang mampu berpresentasi, kita menggunakan seorang agen penulisan (literary agent). Namun, di Indonesia yang dapat disebut literary agent murni itu tampaknya masih dapat dihitung dengan jari. Kebanyakan dari mereka yang mengaku literary agent bukan yang sebenarnya, tetapi adalah calo naskah.

***

Writing is not a job; it’s a business. Banyak orang yang memang akhirnya tergiur setelah saya mendengungkan konsep bisnis penulisan untuk terjun membisniskan tulisan. Sejak 1995 saya sudah mendirikan lembaga jasa penerbitan (publishing service) bermodalkan satu unit Mac dan satu unit PC dengan satu unit printer laser HP. Perusahaan berupa CV itu bernama Inti Media Persada. Saya menerima pesanan naskah dari berbagai penerbit, termasuk desain layoutnya. Lalu, hingga kini saya masih mengibarkan bendera Dixigraf Publishing Service dengan puluhan klien penerbit dan perseorangan.

Saya merasa bisnis content tulisan ini memang tidak akan mati selama kita mampu mengembangkan diri dan mengikuti tren kehidupan masyarakat. Kunci dari keberhasilan seorang penulis adalah kemauan belajar dan terus belajar mengasah kemampuan karena menulis termasuk juga seni, yang makin diasah akan makin terlihat keindahannya. Janganlah apriori terhadap kaidah bahasa serta harus mengais-ngais berbagai model pilihan kata–karena bahasa dan kata-kata memang senjata seorang penulis.

Sekali lagi, menulis bukan pekerjaan (kalau Anda memang menginginkannya), melainkan adalah sebuah bisnis (kalau Anda memang dapat merancangnya).

::catatan kreativitas Bambang Trim

Praktisi Perbukuan Indonesia

9 thoughts on “Writing is Not a Job; It’s a Business!”

  1. Mas Bambang Trim, terima kasih atas pencerahan-pencerahan yang tak pernah jemu sampeyan lontarkan. Setiap kata saya cerap penuh suka cita. Itu pula yang mengantarkan saya “kembali” ke jalur penulis, setelah sekian lama nyemplung sebagai penyunting saja. Proses menuju sukses sedang saya lakoni. Ya menulis, ya masih sempat menyunting hehehe. Thx Mas.

  2. Terima kasih atas tulisan panjang namun padat ini.
    Saya berharap, saatnya akan tiba bagi saya untuk bisa berada pada titik pencapaian Pak Bambang ini.. πŸ™‚
    Salam dan tetap semangat!

  3. saya tidak sengaja mampir di blog ini. niatnya cuma mampir sebentar, tapi kok betah sampai larut malam. alhamdulillah saya banyak belajar di sini. tulisannya bagus dan mencerahkan.

    btw. sy paling suka tulisan ini πŸ™‚

    Para calon mertua akan menyeleksi betul para calon menantunya dari kaum lelaki. Lalu, apabila tersebut profesi penulis atau sastrawan, mereka pun dengan serta merta menunjukkan kecemasannya.

    Writing is Not a Job; It’s a Business!

    jd ingat “your job is not your carreer” πŸ™‚

    salam kenal pak Bambang…

    1. Terima kasih Mas Eko sudah mampir di sini. Btw terima kasih infonya soal web dixi. Saya malah baru tahu karena sudah beberapa lama tidak mengecek. Biar nanti ditangani tim, biasa para hacker iseng. πŸ™‚

      Selamat menikmati sajian di sini, banyak tulisan ngalor ngidul soal dunia penerbitan. Salam kenal kembali.

      BT

  4. Kunci dari keberhasilan seorang penulis adalah kemauan belajar dan terus belajar mengasah kemampuan

    setuju. menulis adalah soal kemauan dan kemampuan untuk berbagi ilmu lewat tulisan.

  5. Pingback: Buku-Buku Esensial Untuk Mulai Menulis – Aisyah's Planet

  6. Pingback: Buku-Buku Esensial Untuk Mulai Menulis | Manistebu.Com

Leave a Reply to Buku-Buku Esensial Untuk Mulai Menulis – Aisyah's Planet Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.