Suasana Frankfurt Book Fair 2010 mulai membaik pascakrisis 2008 dan 2009. Para penerbit tampak bergairah mengusung produk-produk unggulan 2011. Sesuatu yang lazim di arena FBF adalah penawaran lisensi (subsidary right) meski buku yang ditawarkan baru berwujud dummy atau bahkan baru berupa manuskrip (naskah mentah). Namun, secara prospek, para penjaja lisensi ini sudah begitu yakin bukunya memiliki keunggulan serta diferensiasi dibandingkan produk lainnya.
Dalam pengalaman menerima penawaran lisensi di FBF, waktu yang tersedia memang cukup sempit untuk menanyakan banyak hal. Rata-rata para peminat lisensi hanya punya waktu 20 menit setelah akhirnya ada peminat lain yang mengantre. Padahal, buku yang ditawarkan kadang berjumlah puluhan, belum lagi buku-buku berjenis serial.
Sebuah buku itu seperti berjodoh bagi sebuah penerbit dalam satu negara. Sebagai contoh kasus, saya jauh-jauh hari sudah membuat appointment pertemuan tawar-menawar lisensi. Namun, ketika bertemu, saya harus kecele karena beberapa buku yang diincar justru sudah diambil oleh penerbit Indonesia lainnya yang datang secara ‘go show’ alias tanpa janji lebih dulu. Alhasil, kita harus siap kecewa.
Saya merasakan sendiri bahwa tema atau topik yang ditampilkan oleh banyak penerbit kadang saling beririsan satu sama lain. Ada juga tema dan topik yang monoton dari tahun ke tahun. Karena itu, diperlukan kejelian dan luasnya wawasan bagi seorang editor yang ditugaskan ke FBF untuk dapat menggali sebanyak mungkin informasi, terutama terkait tren dan kecenderungan. Namun, di luar itu ada keterampilan yang juga sangat penting yaitu keterampilan menangkap ide-ide brilian. Banyak buku dengan topik biasa justru tampil dengan ide penggarapan yang luar biasa, terutama sering terdapat pada buku-buku anak. Kadang-kadang memang tepercik ‘pikiran nakal’ ketika buku yang diincar lepas dari tangkapan atau tidak berjodoh. Ya, saya sebut nakal untuk orang-orang bertipikal writer plus author seperti saya. Pikiran itu daripada kembali dengan tangan kosong tanpa lisensi mending idenya diadaptasi ke dalam buku dalam format budaya ataupun karakteristik masyarakat Indonesia.
Kadang-kadang malah kita dapat menggabungkan sekian ide pengembangan menjadi satu ide pengembangan yang powerful. Dan luar biasanya, kita bisa melakukan adaptasi hanya lewat perantaraan katalog. Memang akan lebih mudah jika kita langsung mengadaptasi begitu melihat naskah utuh dalam format pdf ataupun buku aslinya. Namun, pertimbangan adaptasi atau eksekusi ide baru ini memerlukan keahlian tersendiri dari para penulis sehingga tidak terkesan menjadi jiplakan. Jadi, sekadar terinspirasi dari buku asing, lalu membuatnya dengan ‘rasa’ Indonesia yang kental meskipun beberapa tema/topik bersifat umum (general). Alhasil, diperlukan juga sentuhan koki editor untuk membuat hidangan adaptasi ide tadi menjadi berbeda dengan buku aslinya.
::catatan FBF 2010
oleh Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
oleh-oleh yang menarik.. saya cicipi pak… untuk kemudian dipraktekkan..