
Sungguh kesempatan berharga bagi saya dapat berbagi kepada civitas academica Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Seni Rupa. Bukan sekadar kebetulan ketika saya memberi training menulis buku akademik beberapa hari setelah kepulangan dari Frankfurt Book Fair 2010. Alhasil, terasa ada koneksi antara harapan membawa karya-karya penulis Indonesia pada FBF 2011 serta kesempatan mendorong para penulis potensial untuk berkarya.
Selama dua hari, 20-21 Oktober 2010, di Wisma Argamulya, Puncak, sebanyak 27 dosen mengikuti training menulis buku akademik. Di antara mereka juga ikut Bu Citra, Dekan FSR IKJ. Tujuan utama adalah mendorong secara nyata para dosen menulis buku ajar dan buku teks (ilmiah-populer). Pelatihan yang berlangsung hangat tersebut di tengah udara Puncak yang dingin menghasilkan 27 matriks outline berikut contoh bab untuk dapat diwujudkan pada Desember 2010 dan beberapanya pada awal 2011.
Pengalaman saya pada FBF 2010 memang tetap menyisakan ‘geregetan’ melihat booth Indonesia. Booth yang disokong oleh Dirjen Dikti tersebut dan dibantu juga oleh Politeknik Negeri Media Kreatif masih minim dimanfaatkan oleh para penerbit. Dalam wawancara via telepon untuk Media Indonesia, saya menyatakan ada faktor kekurangsiapan para penerbit dan juga kekurangan orientasi untuk dapat menjual lisensi buku ke penerbit luar negeri. Penjualan lisensi atau subsidiary right memang masih sesuatu yang tidak popular di Indonesia, padahal di samping mengadakan booth di FBF adalah penting juga untuk menampilkan karya-karya bermutu hasil proses kreatif anak bangsa.

Di booth Indonesia hanya terdapat deretan buku-buku berkonten budaya, masakan, dan beberapa fiksi termasuk buku anak, ataupun buku umum tentang sosio-politik. Penampilan buku-buku tersebut pun sangat sederhana (untuk melihat niat ditawarkan agar dibeli lisensi penerjemahannya), bahkan terkesan seadanya dengan hanya ada selembar keterangan dalam bahasa Inggris (berupa sinopsis atau ringkasan buku). Jadi, minim sekali yang benar-benar siap dengan buku edisi bahasa Inggris dan katalog lisensi berbahasa Inggris. Mungkin kita memang belum menganggap FBF sebagai ajang meningkatkan prestise bangsa juga di mata internasional, seperti layaknya event olahraga atau pameran seni lainnya.
“Membaca itu untuk meluaskan kefasihan, tetapi menulis untuk meninggikan derajat kefasihan.” Kalimat itulah yang pada awal training saya ucapkan kepada para dosen FSR IKJ. Saya takjub bahwa para dosen itu semuanya pakar di bidangnya. Ada salah seorang pematung terbaik di Indonesia, ada pakar interior design, ada pakar fotografi, ada pakar langka di bidang make-up artis, pakar design grafis, dan juga pakar serta praktisi seni murni. Takjub juga ternyata ilmu-ilmu luar biasa itu belum terdokumentasi di dalam buku. Selama ini, dosen-dosen itu mengajar secara lepas dengan presentasi power point ataupun coretan-coretan di kertas.

Bahkan, stimulus juga berkembang ke mana-mana. Saat ini saya sedang menggagas buku tentang becak serta wisata becak bersama Mas Harry Van Yogya. Saya sudah terbayang bahwa desain layout dan ilustrasi buku ini dapat dikerjasamakan dengan tim dari IKJ. Begitu pun buku tentang anak, misalnya legenda putri batik yang sudah dipersiapkan Tasaro (penulis novel Muhammad), bakalan lebih hebat ketika desain, riset batik, serta penyajiannya melibatkan pakar batik serta pakar ilustrasi dari IKJ. Maka buku cerita anak bergambar ini pun patut dipamerkan pada Frankfurt Book Fair maupun Bologna Book Fair (pameran buku anak yang terbesar di dunia). Kita memang memerlukan kolaborasi dan keberanian untuk itu.
Saya kira ini program yang dapat direncanakan oleh Direktorat Perguruan Tingi (DIKTI) Depdiknas yaitu menyelenggarakan training academic book writing secara terpola, lalu dilanjutkan dengan program bantuan penerbitan buku dengan target utama dipamerkan pada Frankfurt Book Fair atau Bologna Book Fair (untuk buku anak). Politeknik Negeri Media Kreatif dengan segala kelengkapan fasilitas di bidang industri kreatif penerbitan-percetakan dapat memfasilitasi hal ini.
Seorang dosen senior tiba-tiba berdiri dan membuat pernyataan kepada saya bahwa kita (para dosen IKJ) mampu membuat buku untuk Frankfurt Book Fair—tidak kalah dengan buku karya penulis serta seniman Serbia yang sempat saya tampilkan format pdf-nya. Semangat inilah yang perlu ditangkap dan ditindaklanjuti segera dengan aksi nyata. Sang dosen tadi malah meyakinkan bahwa beliau serius untuk hal ini.
Dalam dua hari dengan metode pemetaan secara matriks serta membuat brief for publishing, para dosen itu ternyata mampu menghasilkan draft karya-karya untuk naskah buku yang luar biasa. Lalu, dimulailah koneksi tersebut bahwa karya-karya inilah yang patut ditampilkan di Frankfurt Book Fair 2011 kelak. Saya sudah bermimpi untuk itu.

Foto di atas adalah foto sebuah booth penerbit khusus menampilkan autobiografi dan biografi para pemusik dunia. Selain itu, juga ditampilkan beberapa buku tentang musik. Boothnya dibuat sederhana dengan ukuran tidak terlalu besar, tetapi sangat impresif dan kreatif. Sebuah institusi semacam IKJ ke depan juga dapat menyewa booth seperti ini dan menampilkan sesuatu yang khas dari Indonesia. Maka poster itu pun akan berisi para penggiat seni ataupun para maestro seni di Indonesia. Lalu, di belakangnya terdapat deretan buku-buku seni dan industri kreatif di Indonesia yang pasti memiliki daya tarik tersendiri untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Namun, bukan hanya booth yang mampu berbicara, melainkan adanya tim literary agent khusus juga mampu membuat buku-buku Indonesia diterjemahkan ke luar negeri. Sebuah biro literary agent bernama Maxima yang dikelola Pak Santo bisa diajak bekerja sama untuk penjualan lisensi buku-buku karya penulis Indonesia ini mengingat network beliau yang luas dengan para literary ageent seluruh dunia. Atau sangat bisa kita menghimpun kekuatan dan mendirikan literary agent sendiri untuk diutus ke FBF dan ‘menjual’ lisensi buku-buku Indonesia ke berbagai penerbit di negara lain. Adalah suatu kebanggaan jika sebuah buku dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di berbagai negara serta mendapatkan apresiasi.
So, ini bukanlah sekadar mimpi yang tak dapat diwujudkan. Booth yang dibuat negeri jiran semacam Malaysia, Singapore, maupun Thailand tampak lebih besar, bergengsi, dan lebih semarak. Padahal, negara itu boleh dibilang tidak memiliki ‘modal’ sumberdaya penulisan dan ide penulisan sebesar Indoensia. Dari satu fakultas saja di IKJ, sudah diperoleh begitu banyak naskah potensial. Bayangkan jika itu terjadi di sebagian civitas academica berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Maka akan terjadi ledakan intelektual dalam penulisan buku dan barulah terbuka bahwa Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata dalam dunia penerbitan serta penerbitan dunia.
Semoga. Ayo wujudkan.
:: catatan kreativitas Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.