Sepengamatan saya betul-betul banyak kini lahir penulis generasi baru pasca generasi 90-an. Buku-buku tentang menulis juga lahir dan kita dapat cek di rak bidang komunikasi maupun bahasa di Gramedia. Lalu, pelatihan-pelatihan menulis juga bertumbuh bak jamur pada musim penghujan….
Adakah yang salah? Tiada yang salah dalam masyarakat yang tengah berkembang dan bertumbuh dalam jagat literasi. Keadaan ini justru membahagiakan. Hanya (lha, pasti ada hanyanya…), saya melihat perbedaan signifikan antara generasi yang bertumbuh sekarang dengan budaya internetnya dan generasi terdahulu.
Bidang penulisan pun tak kurang terpengaruh betul dengan model motivasi yang berkembang di Indonesia. Pascakrisis moneter yang memukul Indonesia telah lahir begitu banyak motivator dan trainer dari yang berbasis spiritual hingga yang berbasis umum, seperti Aa Gym, Ary Ginanjar, Andrie Wongso, Tung Desem Waringin, Reza M. Syarief, Â hingga Bong Chandra. Lalu, fenomena ini berjangkit hingga muncul pula motivator-motivator dan trainer menulis di Indonesia.
Urusan menulis juga urusan motivasi. Banyak para penulis pemula gagal maning karena tidak memiliki kepercayaan diri, mudah menyerah, kurang etiket, banyak mengeluh, dan sebagainya. Karena itu, muncullah kemudian mereka-mereka yang telah memecah kebekuan penulisan karena karyanya diterbitkan, lalu bertumbuhlah mereka mengisahkan proses kreatif yang dramatis untuk dibagikan kepada para penulis pemula. Maka dibukalah kelas-kelas pelatihan dari yang Rp50 ribu sampai ratusan ribu rupiah.
Puas pada event pertama, belum tentu diikuti kepuasan jangka panjang. Apa pasal? Banyak memotivasi (para trainer) itu, malah lupa menunjukkan bagaimana cara menulis sebenarnya. Setali tiga uang hal ini pun ditemukan pada banyak buku-buku tentang penulisan. Sebagian besar judul justru sebagian besar pula bermuatan motivasi dan jargon-jargon kepenulisan.
Saya merindukan munculnya generasi penulis baru yang tangguh mengusung konsep dan juga the way jitu dari menulis itu sendiri. Dahulu, saya sangat menikmati buku motivasi sekaligus the way karya terkenal Arswendo: Mengarang itu Gampang. Saya juga betul-betul terpengaruh oleh buku karya maestro penulisan Indonesia yang mungkin kini tidak dikenal lagi, yaitu buku Menulis Secara Populer karya Ismail Marahimin dan Dunia Karang Mengarang karya The Liang Gie. Buku-buku itu jelas membuka beragam teknik kepenulisan persis dengan buku-buku penulisan populer yang kini diterbitkan di luar negeri.
Itulah benang merah yang saya lihat dari generasi penulis sebelumnya dibandingkan generasi kini. Saya sendiri sebagai penulis berupaya mengkaji formula-formula the way itu sehingga saya pun memilih formula standar yang diusung kurikulum di luar negeri, yaitu prewriting-drafting-revising-editing-publishing. Tidak mudah membedah satu per satu karena dalam satu kasus saja menulis buku, banyak teknik yang dapat dikembangkan antara menulis fiksi, faksi, dan nonfiksi.
Soal menulis buku, saya membongkar dulu pendekatan outline dalam drafting dan akhirnya saya pun membaginya menjadi empat outline: 1) butiran; 2) tahapan; 3) aliran; 4) tanya-jawab dalam penulisan nonfiksi. Lalu, outline tersebut paling mudah dipetakan dengan metode matriks. Demikianlah kemudian saya pernah meluncurkan program pelatihan H16H sebagai uji coba metode ini dan alhamdulillah berhasil dipraktikkan.
Apakah saya tidak suka motivasi?
Wow, soal yang satu ini saya juga terlibat di dalamnya hingga kemudian menghasilkan buku semacam Menginstall Nyali dan mengompori seorang Parlindungan Marpaung untuk mewujudkan buku pertamanya yang sukses Setengah Isi Setengah Kosong. Jadi, saya senang memotivasi, terutama juga soal penulisan.
Ambil contoh saya punya konsep 3B untuk stimulus gagasan menulis, yaitu 1) banyak baca; 2) banyak jalan; 3) banyak silaturahim. Gampangnya saya menyebutkan tiga formula ini jika ada yang bertanya bagaimana mendapatkan IDE penulisan yang brilian. Kalau IDE sudah diperoleh, ingat rumusan Ingat segera-Dituliskan ke dalam catatan-Endapkan selama beberapa jam/hari. Saya pun suka membuat konsep semacam jembatan keledai ini.
Namun, konsep-konsep dan jargon-jargon motivasi itu (percayalah!) tidak serta merta membuat seorang penulis pemula langsung dapat menulis dengan baik. Mereka tetap memerlukan the way bagaimana sebuah ide dapat dieksekusi menjadi tulisan yang mereka pilih. Apalagi, jika mereka berhadapan dengan laras tulisan yang begitu banyak: puisi, cerpen, novel, artikel, feature, esai, berita, makalah, drama, skenario, dan sebagainya. Belum lagi jika mereka dihadapkan pada genre-genre tulisan yang bisa bikin puyeng.
Karena puyeng, kemudian terkenallah konsep free writing–praktik prewriting dan drafting tanpa memedulikan laras (bentuk) dan juga ejaan pada tulisan. Yang mengenalkan kali pertama Peter Elbow dalam bukunya Writing Without Teachers (1975). Lalu, Julia Cameron memopulerkannya dalam buku The Artist’s Way (1992).  Namun, yang paling mengesankan apa yang dikenalkan Natalie Goldberg. Ia menggabungkan gagasan free writing dengan meditasi ala prinsip Zen Budhis menjadi teknik berlatih menulis seperti dipaparkan dalam bukunya Writing Down the Bones (1986).
Walaupun demikian, konsep free writing tidak dapat digunakan dalam praktik-praktik menulis lebih teknis semacam nonfiksi ataupun penulisan akademik. Metode free writing cocok untuk mengatasi mental block dan writer’s block disebabkan ketidakpercayaan diri ataupun ketakutan tulisan tidak layak dan mengandung kekeliruan. Jadi, memang tepat untuk sekadar mengeluarkan apa yang ada di pikiran–tidak dengan cara sistemik.
Kebanyakan Motivasi, Lupa Beraksi
Perteguh diri dengan motivasi dan selanjutnya, yang paling penting beraksi dengan mengeksekusi (ide). Karena itu, jangan melupakan teknik-teknik dan metode, bahkan bagaimana menemukan jalan pintas (short-cut) untuk menulis, jalan yang taktis.
Orang yang sudah bertengger dengan karyanya berupa tulisan di media massa ataupun berupa buku dapat saja mengatakan bahwa menulis itu sebenarnya mudah sekali. Memang mudah kalau sudah bertemu dengan jalannya (baca: takdirnya). Namun, bagaimana cara menciptakan kemudahan itu, terkadang para penulis tergagap menjelaskannya.
Akhirnya, yang dikisahkan adalah proses kreatifnya dalam baluran dramatisasi, bukan bagaimana metode dan teknik. Boleh jadi ada yang dirahasiakan, tetapi kebanyakan memang para penulis saat ini  kurang mampu membedah secara teknis maupun teoretis bagaimana sebuah ide dieksekusi secara sistemik (step-by-step).  Bagaimanapun praktik tanpa teori tampak tak bergigi, apalagi dalam dunia kecerdasan literasi. Bahkan, sastra pun dihidupkan dengan teori-teori dan metode.
Jadi, pilih yang mana? Termotivasi tanpa tahu bagaimana beraksi atau termotivasi sekaligus prigel menulis dengan teknik yang presisi? Anda pasti tahu apa yang paling dibutuhkan.
:: catatan kreativitas Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia
Penulis dan Editor Karier
Info Penting:
Yuk, kita bongkar strategi menulis dengan teknik dan metode sistemik. Kapan? Tepatnya 18 Desember 2010 diselenggarakan komunitas Bunda Terampil Menulis (BTM) ada event TAKTIS MENULIS BUKU, bersama Bambang Trim, Dani Ardiansyah, dan Triani Retno. Silakan ngelink ke http://www.facebook.com/?ref=home#!/?page=1&sk=messages&tid=10150124182040130

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
yayaya… ada saja saya menemukan buku how-to tapi malah berisi motivasi. Sebaliknya buku how-to yang dibikin terburu-buru malah menghilangkan motivasi saya untuk membacanya 🙂
[belum berani menulis buku “how-to menulis” untuk orang gede]
Setuju Mas, untuk konsep 3B-nya.
Saya juga merindukan buku-baru bagus seperti Menulis Secara Populer, karya Pak Ismail Marahimin.
Oh iya, please visit FanPage beliau di http://www.facebook.com/pages/Ismail-Marahimin-1934-2008/214760505226191
Yup… Kita memang merindukan guru-guru menulis yang mumpuni. 🙂