#3 The Way of Writing: Imitasi Setelah itu Berinovasi

Seperti dalam dunia bisnis kini, kebanyakan kita menjadi peniru (imitator). Kenyataan, memang tidak semua orang dapat menjadi penemu (inventor). Berbagai inovasi dimulai dari sebuah peniruan (imitasi). Saya kutip sebuah paparan dari Prof Sidik, seorang dosen di Prasetiya Mulya. Beliau membentangkan spektrum INVENSI-INOVASI-IMITASI. Imitasi adalah meniru dengan membuat sesuatu seperti yang sudah ada. Maksudnya ikut memanfaatkan keberhasilan dari produk yang ditiru. Dalam dunia buku baru-baru ini, kita dapat melihat fenomena buku-buku otak tengah. Sebuah buku sukses maka akan diikuti buku-buku lain yang ‘mendompleng’ kesuksesan supaya terbagi walaupun akhirnya satu sama lain saling menganibal.

Prof Sidik membagi imitasi ke dalam tiga bagian, yaitu 1) imitasi inferior yaitu produk yang dihasilkan jauh mutunya dibandingkan produk yang ditiru; 2) imitasi mirip yaitu produk yang dihasilkan sama mutunya atau minimal mendekati mutu produk yang ditiru; 3) imitasi superior yaitu pada tingkatan ini imitator membuat produk lebih bagus daripada produk yang ditiru.

Bagaimana dengan inovasi? Orang sering menyebutnya dengan pembaruan ataupun penemuan dari sekumpulan hal yang sudah ada, tetapi memiliki nilai tambah (added value). Ambil contoh produk iPad, muncul sebagai inovasi atas penemuan lainnya, seperti touchscreen, bluetooth dan WIFI, flash memory, audiochips, dsb. Prof Sidik juga membagi inovasi atas dua bagian, yaitu 1) inovasi inkremental merupakan inovasi yang dilakukan untuk menambah nilai sebuah produk, tetapi tidak jauh berbeda dengan ide produk sebelumnya; 2) inovasi radikal merupakan inovasi dengan lonjakan signifikan dalam benefit yang ditawarkan. Contoh paling populer adalah iPad dan Kindle dari Amazon yang secara luas mengubah gaya hidup orang.

Lalu, invensi adalah penemuan yang benar-benar baru dan biasanya pada satu bidang saja yang belum tentu dapat dikomersialkan. Dalam hal ini masih perlu ada pengkajian dan penelitian yang harus didanai dan kemudian dapat menghasilkan paten.

Apa hubungannya dengan buku? Soal imitasi dan inovasi juga terjadi dalam dunia penulisan atau pengembangan buku. Hal sangat heroik pada dekade ini di Indonesia terjadi pada al-Quran–bagaimana kemudian beberapa penerbit berinovasi membuat Quran tajwid dan Quran tematik. Pada 2009, di Salamadani, saya dan rekan-rekan di sana pernah menggagas inovasi Quran dalam bentuk berupa square, desain menggunakan ornamen batik, dan juga highlight content ayat-ayat keluarga. Ini inovasi inkremental dan hasilnya sukses di pasaran. Ada lagi inovasi yang lebih jauh dilakukan penerbit semacam Sygma yang membuat Quran menjadi sangat berbau ensiklopedis dengan berbagai added value yang disertakan seperti Quran Miracle.

Ada ungkapan dari Mas Indra, bos penerbit Media Pressindo, yang menurut saya menarik. Di Indonesia kini ‘kaya judul, tetapi miskin ide’. Pernyataan ini saya anggap sebagai indikator banyaknya buku imitator di Indonesia karena penulis-penulisnya tidak mampu menghasilkan inovasi produk tulisan yang melonjakkan benefit. Imitator paling tampak terjadi pada buku-buku spiritual dan buku-buku motivasi. Yang terakhir banyak sekali tiba-tiba di Indonesia bermunculan para motivator baru, lalu saya kira terlalu ‘tergesa-gesa’ ingin menghasilkan buku. Hasilnya, isi bukunya adalah sejumlah kutipan dari buku-buku motivasi lain, terutama terbitan luar negeri. Dan sang penulis hanya menambahkan opininya menyetujui atau sekadar memberi ‘kompor-kompor’ baru. Anda perhatikan sebagai pembaca, berapa banyak buku motivasi yang memuat kisah sukses atau mengambil contoh Thomas Alva Edison–hm… buanyak sekali.

Sepengalaman di penerbitan, saya memang sering menolak buku-buku motivasi. Mengapa? Buku-buku motivasi dalam pasar mementingkan who’s who atau dalam bahasa Betawi-nya: Siapa elo? Soalnya para motivator akan bergulat dengan pertanyaan batin: “Saya ini memotivasi orang dengan berbagai kata-kata movitasi, apakah saya sudah melaksanakannya?” Kenyataannya memang mudah untuk berkata-kata (termasuk menulis), tetapi tidak gampang untuk mengimplementasikan. Contoh paling gamblang buku motivasi tentang bagaimana menjadi orang kaya. Kalau penulisnya belum kaya, pasti akan ada pertanyaan para pembaca. Di sinilah saya mafhum dengan bahasan Hermawan Kartadjaya soal Marketing Your Self bahwa seseorang harus men-develop dahulu segitiga PDB yaitu positioning-differentiation-brand. Harus ada haluan ia sebagai motivator, harus ada perbedaan yang unik, dan harus ada brand. Maka kita akan melihatnya pada diri Andrie Wongso, Tung Desem, Mario Teguh, Ary Ginanjar, hingga Bong Chandra (motivator termuda di Asia). Mereka semua sudah menciptakan brand dan mereka semua sudah membangun aset paling berharga jauh-jauh hari yaitu social networking.

Karena itu, wilayah motivasi atau buku motivasi sudah begitu sesak dimasuki oleh para penulis yang juga motivator. Harus ada inovasi-inovasi yang dihasilkan dalam menulis. Jangan inovasi seperti manis di lidah dan pahit dalam implementasi karena keengganan kita salah satunya meriset. Inovasi radikal dapat menjadi pembunuh para giant. Lalu, tidak dinafikan juga kedekatan para motivator dengan konstituennya dan kerajinan ia mempromosikan bukunya. Cara ini sangat efektif seperti yang dilakukan Parlindungan Marpaung dengan buku Setengah Isi Setengah Kosong yang mencetak hits hingga lebih dari 70.000 eksemplar, termasuk di Malaysia.

Kembali soal iPad, sangat fenomenal dalam peniruannya. Hanya dalam tempo 2 bulan setelah peluncuran, inovasi iPad pun ditiru. Samsung mengeluarkan Galaxy Tab dengan kelebihan dapat menelepon dan memiliki kamera, hanya ‘kekurangan’ dari sisi ukuran layar yang lebih kecil dibandingkan iPad. Saya juga di sebuah toko komputer di Cibubur Junction kemarin melihat demonstrasi tablet bernama Archos 9 buatan Cina dengan embel-embel teknologi Prancis. Hehehe bicara soal Cina, awalnya kita melihat mereka sebagai imitator inferior, tetapi kemudian mereka terkenal menjadi imitator superior yang menjadi model bernama Shanzai–bukti utama adalah inovasi luar biasa di bidang handphone.

Paling tidak dalam menulis buku pun, jadilah seorang imitator superior. Karena itu, di sebuah penerbit ada yang disebut development editor. Tugasnya tidak dapat dibilang ringan karena ia harus memiliki mata ketiga dan pikiran yang lincah untuk berinovasi. Seorang penulis yang memberikan bahan dasar berupa naskah, akan ditelisik oleh editor akuisisi idenya. Jika ide dan naskah diterima, tugas selanjutnya adalah development editor yang menciptakan nilai tambah. Karena itu, pada penerbit-penerbit andal yang mementingkan inovasi, Anda akan melihat bagaimana buku Anda berubah menjadi lebih berdaya. Saya kira ini juga menjadi tantangan para perajin buku (book packager) dan jasa penerbitan buku ke depan, seperti halnya yang dilakukan Mas Dani Ardiansyah (dream executor) sebagai orang yang membantu para penulis mewujudkan mimpinya menerbitkan buku. Mereka harus bermain juga di wilayah inovasi dengan menjadi konsultan untuk pengembangan naskah, tidak lagi sekadar membantu naskah terbit dengan cara di-layout dan dibuatkan desain covernya, lalu disunting secara mekanik dan terbitlah. Harus ada inovasi.

***

Saya pernah mengatakan sulit menyebut ada ide yang orisinal saat ini, utamanya dalam bidang menulis. Ide kita selalu dipengaruhi ide orang lain yang sudah ada. Hanya dengan melihat katalog-katalog buku lokal maupun internasional, ide kita bisa terstimulus untuk membuat karya yang sama dengan beberapa perbedaan pada added value atau benefit untuk pembaca. Jadi, saya lebih senang menyebutnya ide yang segar (fresh idea). Dan ide segar ini diperoleh dari para penulis yang mau untuk banyak membaca, banyak berjalan (travelling), dan banyak bersilaturahim.

Ada kemudian seorang penulis yang tumbuh menjadi writer sejati (profesional) dengan writing skill di atas rata-rata. Penulis seperti ini kalau akhlaknya bagus akan banyak justru membantu para penulis pemula yang masih berkutat dengan ide-ide di kepala. Namun, kalau akhlaknya buruk, ia bisa menjadi the killer idea dalam artian negatif. Ia akan dengan cepat melihat ide bagus dari seseorang yang belum dieksekusi ataupun dieksekusi dengan minimalis. Maka dalam tempo tidak terlalu lama, jadilah sebuah naskah yang sebenarnya imitasi, tetapi sudah dipoles sedemikian rupa menjadi sebuah naskah inovatif.

Kita berharap menjadi manusia seperti Sergey Mikhailovich Brin dan Lawrence Edward Page, duo penggagas Google. Dua orang yang tetap rendah hati meski kemudian melakukan loncatan inovasi dengan Android lewat Android Inc. Android disebut-sebut sebagai blackberry killer karena dibuat open source dan kini pergerakannya berlangsung cepat dicangkokkan ke banyak handphone, laptop, dan komputer tablet. Android adalah hasil peniruan inovasi yang dilakukan Microsoft pada sistem operasi (Microsoft dulu meniru Apple) dan juga peniruan apa yang sudah dilakukan blackberry. Namun, Android digratiskan dengan visi mulia membuat kehidupan manusia lebih mudah dengan teknologi informasi. Alih-alih digratiskan, Android justru mendatangkan benefit dan profit signifikan ke depan bagi Google.

Hmm… maka ditunggu lahirnya penulis dengan mental imitasi superior maupun inovasi yang dapat menjadi “pembunuh” para penulis-penulis papan atas lainnya karena muncul dengan sebuah keunikan dan perbedaan signifikan. Jangan mau jadi penulis biasa dengan karya biasa-biasa saja karena Anda sedang menarik orang untuk membaca dan menumbuhkan reading society sebagai pekerjaan mulia. Jangan puas dengan naskah dan buku yang asal terbit, tanpa pembeda dari buku-buku lain yang sudah ada. Jangan terlena karena buku Anda sudah nampang di Gramedia ataupun toko retail lainnya, tetapi tidak disentuh sedikit pun oleh calon pembaca atau malah dicibiri.

Karena itu, tidak selamanya pertemuan penulis dan penerbit adalah pertemuan bermental bisnis dan bernada kecurigaan. Penerbit yang baik adalah suporter yang baik bagi penulis-penulisnya. Saya dapat tantangan baru bulan ini. Seorang dokter muda sedang menulis buku kumpulan beragam penyakit. Entah mengapa saya sebulan lalu membeli sebuah buku terjemahan bertopik serupa di lapak Yusuf Agency dan tampak seperti buku tidak berdaya. Namun, saya merasakan buku tersebut luar biasa. Jodoh mempertemukan saya dengan naskah sang dokter muda tadi dan dimulailah kerja melakukan benchmarking, kemudian membuat inovasi-inovasi untuk buku bertopik penyakit yang sebenarnya juga sudah ada. Apa yang utama saya lihat? Adalah mental sang penulisnya, prospeknya menjadi dokter hebat, serta kemauannya dan kerendahhatiannya sebagai penulis pemula.

Semoga berguna, ya….

 

:: catatan kreativitas Bambang Trim

Praktisi Perbukuan Indonesia Penulis 100+ Buku dan Editor Karier

Info Penting:

Yuk, kita bongkar berinovasi dalam bidang penulisan buku. Kapan? Tepatnya 18 Desember 2010 diselenggarakan komunitas Bunda Terampil Menulis (BTM) ada event TAKTIS MENULIS BUKU, bersama Bambang Trim, Dani Ardiansyah, dan Triani Retno. Silakan ngelink ke http://www.facebook.com/?ref=home#!/?page=1&sk=messages&tid=10150124182040130

2 thoughts on “#3 The Way of Writing: Imitasi Setelah itu Berinovasi”

  1. sangat menarik. saya pernah membaca dua buku karangan anda, Magnet Muhammad saw dan Business Wisdom of Muhammad saw. apa yang anda tulis di atas selaras dengan isi kedua buku tersebut yang menurut saya menampilkan bahan lama dengan sudut pandang yang baru (inovasi)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.