Pugabha Hebat itu Bernama Menulis

Setiap membaca dengan menggunakan passion dan hati selalu ada pengaruh kuat dalam diri. Itulah mengapa pada masa dua pekan ini saya suka menyelipkan kata ‘pugabha’ yang termaktub dalam novel NIBIRU karya Tasaro. Pugabha ditulis dalam bahasa Khedalu dan bermakna ‘kuwasa’ atau ‘kuasa’. Pugabha adalah kesaktian yang jumlahnya 8 dan itu seperti bakat alam anugerah Sang Maha Pencipta yang diberikan kepada rakyat Khedalu. Ada pugabha nyegay (penguasa satwa), pugabha pesam (penguasa kekebalan), pugabha sutha (penguasa kekuatan raksasa), pugabha nyinaw (penguasa ketakkasatmataan), pugabha wanyis (penguasa tirai ghaib), pugabha kiyrany (penguasa ruang dan waktu), pugabha bhelsuny (penguasa luka), dan pugabha nyamal (penguasa unsur alam). Ini memang seperti re-interpretasi dari 8 kecerdasan ala Howard Gardner (multiple intelligence). Manusia mendapat anugerah kesaktian itu (baca = kecerdasan); beberapa mampu menemukan bakatnya, beberapa lagi tidak dapat berkembang, dan beberapa lagi berambisi memompa segenap kemampuan untuk menguasai lebih dari satu kesaktian/kecerdasan.

Saya menghubungkan juga dengan kisah kejayaan umat manusia masa lalu. Dahulu banyak sekali tokoh sejarah yang dikenal sebagai polymath–yaitu orang-orang yang memiliki lebih dari satu kemampuan, sebut saja seperti Leonardo Da Vinci, Ibnu Sina, atau Ibnu Khaldun. Mereka ibaratnya mampu mengembangkan potensi dirinya menguasai lebih dari satu ‘pugabha’ dan ternyata manusia memang memiliki potensi untuk itu. Lalu, pada masa kini, ide-ide menguasai lebih dari satu ‘pugabha’ itu berkembang deras dan terkadang liar hingga muncul ide seperti ‘aktivasi otak tengah’, membangkitkan kemampuan hypnosis, atau kemampuan-kemampuan lain yang kerap disebut ‘membangunkan raksasa tidur dalam diri kita’.

Sejak 1991, saya mendalami ‘kesaktian lain’ yang oleh Gardner diposisikan sebagai ‘kecerdasan linguistik’ dengan potensi utama menggunakan ‘daya bahasa’. Kecerdasan linguistik boleh jadi merupakan ‘kesaktian’ atau pugabha luar biasa sebagai pintu masuk untuk menguasai pugabha lain, yaitu kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan gambar, bahkan kecerdasan alam dan kecerdasan matematis. Atau kecerdasan linguistik (kadang-kadang disebut juga kecerdasan literasi) adalah pasangan serasi untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan lainnya. Seorang yang cerdas matematis akan semakin digjaya ketika ia mampu menulis buku-buku tentang ilmunya dan juga presentasi yang memikat untuk menjelaskan konsepnya. Seorang yang menguasai kecerdasan musik akan lebih berkelas dan berdaya jika mampu menulis sendiri syair-syair lagu yang ‘menyihir’ dan membuat banyak histeria massa.

Ternyata, pugabha linguistik/literasi itu merupakan unsur yang terserak dan ketika saya coba mengumpulkannya; semakin lama semakin banyak yang tidak saya pahami. Ada lima langkah bukan rahasia untuk menguasainya, yaitu:

  1. Prewriting: thinking and planning
  2. Drafting: Get your ideas down on paper.
  3. Revising: Share and reflect on your first draft.
  4. Editing: Find and correct any mistakes you have made.
  5. Publishing: Share your writing.

Setiap langkah itu ternyata mengantarkan saya pada invention hal-hal baru dalam menulis. Sebut saja: hypnotic writing, metode matriks, pola outline nonfiksi, laras tulisan, mechanical editing, substantive editing, pictorial editing, proofreading, self-publishing, dan sebagainya. Karena itu, saya boleh mengatakan bahwa pada menulis pun terkandung ‘pugabha-pugabha’ lain yang dapat membentuk seorang pelakonnya menjadi polymath—seseorang yang mampu menulis bentuk apa pun dan dalam laras apa pun dengan sama kuat dan berdayanya. Bahkan, gara-gara itu seseorang menjadi mampu menguasai bidang lain karena penulisan yang dilakukannya.

 
Kekuatan Cinta, Hasrat, dan Visi

Menulis bukanlah bakat alam. Saya lebih setuju menyebutkan semacam kapasitas kecerdasan yang tersimpan sejak lahir karena ada pengaruh kedua orangtuanya yang ‘membaca dan menulis’. Kapasitas kecerdasan ini akan menemukan momentumnya ataupun berkembang potensial manakala sang anak kemudian masuk dalam pusaran ‘membaca dan menulis’ dalam hidupnya. ‘Membaca dan menulis’ adalah dua pugabha inti yang selayaknya sudah dikuasai sejak dini. Bahan bakar dari semua itu adalah cinta, hasrat, dan visi jangka panjang.

Kembali pada premis saya sebelumnya bahwa pugabha linguistik/literasi adalah kunci untuk masuk menguasai pugabha lain ala Gardner. Sejarah membuktikan bahwa para polymath yang dulu hidup adalah para ‘pembaca’ yang super dan beberapanya menjadi para ‘penulis’ yang super pula. Untuk hal ini, Anda dapat menjejakinya dalam buku Imperium Ketiga karya Eko Laksono yang diterbitkan Hikmah.

Cinta mereka pada ilmu membentuk sebuah energi luar biasa untuk membaca. Lalu, energi baca menggumpalkan hasrat untuk melakukan penemuan (invention), mencari jawaban, dan menciptakan sesuatu. Karena itu, akhirnya mereka memiliki visi masa depan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Wright bersaudara memiliki visi untuk menciptakan pesawat terbang. Henry Ford memiliki visi untuk mengganti kereta yang ditarik kuda menjadi kereta yang ditarik mesin. Guttenberg memiliki visi mengganti penulisan buku secara manual menjadi buku tercetak. Dan kini energi luar biasa itu membentuk bukan hanya kreativitas, melainkan juga inovasi-inovasi yang mencengangkan seperti hal munculnya Android dan kecanggihan-kecanggihan teknologi lainnya.

Pugabha linguistik/literasi ini memang hanya mungkin dikuasai dengan melibatkan cinta, hasrat, serta visi dalam membaca. Karena itu, seseorang yang melakukan mix atau peramuan ini akan mendapatkan ‘mata ketiga’ atau juga berupa anugerah ‘kecerdasan lain’ yang saya sebut interconnect quotient atau kecerdasan antar-koneksi sehingga seseorang secara ‘ghaib’ dapat terhubung (mengoneksi) dengan berbagai referensi yang dia butuhkan untuk menulis. Referensi adalah energi untuk menulis sehingga dapat mengatasi hambatan kemandekan. Sekarang, hal ini sangat dibantu oleh search engine—namun, meskipun menguasai penggunaan search engine semacam Google, seseorang yang tidak memiliki kemampuan pugabha interconnect, tetap akan tersesat di belantara maya. Terus terang, ilmu saya belum mampu memecahkan kenyataan ini. Artinya, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana kecerdasan ini dapat berkembang dan dilatihkan. Saya cuma berpegang pada cinta, hasrat, dan visi yang mendorong hal itu bertumbuh dan berkembang.

***

Rumit sekali tampaknya…. Sederhananya, kemampuan menulis memang bukan bakat. Menulis semacam kapasitas kecerdasan yang tersimpan dan ada pada setiap orang. Dalam Islam, terdapat perintah iqra (membaca) yang diturunkan Allah dengan perantaraan Malaikat Jibril kali pertama kepada Nabi Muhammad saw. Wallahu’alam bis shawab hal ini semacam kode dari Allah untuk membuka semua pugabha (kecerdasan) manusia lewat apa yang disebut MEMBACA. Kemampuan membacalah yang merupakan inti pugabha (kecerdasan) menulis sehingga kemampuan tersebut bukanlah bakat. Kita tidak pernah mendengar ada orang yang berbakat membaca.

Adalah pilihan akhirnya apakah orang mau membangkitkan pugabha (dalam bahasa Indonesia bermakna kuasa) menulis. Jika ya, dapat dipastikan ia pun mampu menguasai pugabha lainnya sehingga membentuk seseorang sebagai polymath. Ia bisa masuk wilayah bisnis, ia bisa masuk wilayah reliji/spiritual, ia bisa masuk wilayah anak-anak, ia bisa masuk wilayah remaja, ia bisa masuk wilayah pendidikan, ia bisa masuk wilayah hobi, ia bisa masuk wilayah sastra/hiburan, hingga sesuatu yang tidak dapat dibayangkan oleh dirinya dan orang lain.

Saya meminjam istilah Mas Hernowo, “Mengikat Makna” sehingga tidak terbayangkan akan begitu banyak makna yang terikat begitu seorang penulis menggunakan pugabha-nya setiap hari dan mengalirkan segenap energi iqra pada visual, auditory, kinaesthetic-nya (termasuk olfactory dan gustatory). Pancaindra sudah diaktifkan optimal maka akan memberi peluang munculnya indra keenam atau mata ketiga dalam ‘membaca’ dan ‘menulis’.

Saya benar-benar terkesiap menyadari kenyataan ini. Karena itu, saya bangun pagi-pagi untuk menyambar laptop dan langsung online. Dua hari kemarin saya bergumul dengan pelatihan menulis. Hari Jumat hanya diikuti lima orang peserta di Hotel Preanger Bandung. Namun, walaupun cuma lima orang, energi mereka untuk dapat menguasai menulis sungguh besar dan setiap orang menyumbang 3 energi sehingga ruangan itu seperti dipenuhi lima belas orang. Keesokan harinya di Jakarta, tepatnya di Ruang Amphitheatre, Univ Al-Azhar, 45 orang mengikuti sesi pelatihan “Taktis Menulis Buku” yang diselenggarakan komunitas Bunda Terampil Menulis (BTM) dan energi yang dikeluarkan setiap orang hampir sama dengan energi 2-3 orang sehingga ruangan itu memang menjadi agak gerah dengan energi lebih dari 90 orang!

Masalahnya, di antara para peserta itu sudah ada yang menguasai pugabha tinggi membaca dan menulis, sebut saja: Imazahra Fatimah, Dani Ardiansyah, Triani Retno, dan beberapa yang lainnya—energi mereka lebih besar lagi seperti energi 4-5 orang (orang-orang seperti mereka tidak akan pernah lepas dahaganya untuk menenggak ilmu. Keluaran energi mereka adalah untuk menyerap energi dari orang lain!). Bahkan, ada yang menyimpan pugabha itu, tetapi tidak menyadari bahwa mereka sudah menguasainya. Karena itu, mereka memerlukan ‘mata baru’ untuk menyakinkan bahwa mereka telah menguasai pugabha luar biasa itu: MENULIS!

Saya terkesiap dan saya terkesima…. Pantas menulis adalah sebuah perjuangan, bukan sebuah hal yang gampang untuk dikuasai tanpa disertai ujian-ujian dalam kehidupan. Haayyah…!

:: catatan kreativitas Bambang Trim

Praktisi Perbukuan Indonesia

1 thought on “Pugabha Hebat itu Bernama Menulis”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.