Pak Beye memang tidak pernah kering dari berita–jelas saja karena beliau presiden. Baru saja persoalan “keluhan” gaji belum naik yang dilantunkannya, nama Pak Beye sudah meroket lagi sebagai berita karena bukunya. Ini bukan soal buku terbaru karya Wisnu Nugroho yang kesohor itu. Namun, ini soal buku Pak Beye yang lolos penilaian Pusat Perbukuan (Pusbuk) dan masuk dalam proyek pengadaan DAK 2010 ke sekolah-sekolah.
Ada sepuluh serial buku bertajuk Lebih Dekat dengan SBY yang mendadak populer itu:
1. Lebih Dekat dengan SBY: Jalan Panjang Menuju Istana;
2. Lebih Dekat dengan SBY: Merangkai Kata Menguntai Nada;
3. Lebih Dekat dengan SBY: Memberdayakan Ekonomi Rakyat Kecil;
4. Lebih Dekat dengan SBY: Jendela Hati;
5. Lebih Dekat dengan SBY: Adil Tanpa Pandang Bulu;
6. Lebih Dekat dengan SBY: Peduli Kemiskinan;
7. Lebih Dekat dengan SBY: Diplomasi Damai;
8. Lebih Dekat dengan SBY: Menata Kembali Kehidupan Bangsa;
9. Lebih Dekat dengan SBY: Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan;
10. Lebih Dekat dengan SBY: Berbakti untuk Bumi.

Saya pun tertarik menyimak talk show di Metro TV malam tadi, 27 Januari 2011. Apa yang salah dengan buku ini? Buku yang mungkin tak bersalah hanya mungkin wrong time in the wrong place. Dan Dewan Sekolah di Kabupaten Tegal langsung mempermasalahkannya. Lalu, muncul tuntutan penarikan buku karena didanai oleh DAK alias pemerintah. Boleh jadi buku ini dianggap bagian dari proyek pencitraan meskipun Pak Beye tidak tahu-menahu siapa yang menulis dan menerbitkan buku ini. Sebagai tokoh masyarakat dan negara, sosok Pak Beye sudah seperti public domain atau milik publik yang sah-sah saja diangkat siapa pun ke dalam tulisan.
Lalu, apa pula DAK itu? DAK adalah singkatan dari dana alokasi khusus yang dimiliki Kemendiknas untuk digunakan pada tiga hal, yaitu pembangunan fisik (bisa bangunan), pengadaan buku, dan terakhir pengadaan alat peraga. Dana ini disalurkan ke daerah-daerah dan dibagi per sekolah. Sasaran dari DAK 2010 adalah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Dalam hal pengadaan buku, ada persyaratan bahwa buku yang dapat diterima dalam proyek DAK adalah buku-buku yang lolos seleksi. Penyeleksian dilakukan lembaga pemerintah di bawah Kemendiknas yang populer dengan sebutan Pusbuk atau Pusat Perbukuan. Belakangan lembaga ini dilebur menjadi satu dengan Pusat Kurikulum dan berubah nama pula menjadi Puskurbuk (entah mengapa kurikulum disatukan dengan buku, apa tidak akan terjadi nanti imej sebenarnya: ‘ganti kurikulum, ganti buku’).
Mari kita lihat poin yang dipermasalahkan itu. Pertama, pada kategori apa buku Pak Beye tadi ditempatkan? Kriteria buku DAK adalah buku bacaan (fiksi, nonfiksi, dan faksi) bukan buku pelajaran. Buku bacaan itu dapat terdiri atas tiga bagian: 1) buku pengayaan yang mendukung mata pelajaran di sekolah, pengayaan muatan lokal (mulok), dan buku pengayaan pengembangan diri; 2) buku referensi (peta, atlas, kamus, tesaurus, ensiklopedia); 3) buku panduan pendidik (untuk guru). Nah, buku Pak Beye ternyata masuk kategori buku pengayaan untuk siswa SMP pendukung mata pelajaran PPKn. Inilah subtema dari pengayaan PPKn versi Pusbuk:
II | PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN | ||
1 | Persatuan dan kesatuan bangsa | ||
2 | Norma, Hukum, dan peraturan | ||
3 | Hak asasi manusia | ||
4 | Kebutuhan Warganegara | ||
5 | Konstitusi Negara Pancasila | ||
6 | Kekuasaan dan politik | ||
7 | Globalisasi |
Secara ilmu penerbitan, buku Pak Beye sebenarnya agak rancu apakah digolongkan sebagai faksi atau nonfiksi. Faksi adalah jenis buku yang menampilkan fakta, tetapi dibuat secara berkisah dan dalam golongan ini adalah buku biografi, autobiografi, serta kisah nyata (true story). Dilihat dari judul, tampilan cover, serta pengantar dan prakatanya, seolah ini memang buku faksi dari sosok Pak Beye. Namun, ketika menilik content, buku ini adalah himpunan liputan media massa tentang kiprah Pak Beye yang tampaknya bercampur antara berita, feature, ataupun artikel-artikel. Buku ini jelas seperti republishing article. Jadi, secara content dapat digolongkan nonfiksi saja berupa kumpulan informasi terkait seorang tokoh, bukan biografi, autobiografi, atau kisah nyata yang ditulis dengan pendekatan sastra. Kalaupun itu faksi, memang tidak tepat ditempatkan dalam mata pelajaran PPKn, lebih tepat pada sejarah. Dan subtema sejarah hanya terdapat pada mata pelajaran agama. Adapun mata pelajaran sejarah tidak termasuk yang digolongkan buku pengayaan DAK. Inilah mungkin permasalahan yang ditelisik-telisik entah karena jengah dengan Pak Beye atau karena memang ingin meluruskan yang bengkok.
Lalu, kalau pendidikan PPKn, buku ini tepatnya di subtema apa? Membaca judul-judul buku tersebut, memang dapat dikait-kaitkan ke subtema Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Hak Asasi Manusia, Kebutuhan Warganegara, Konstitusi Negara Pancasila, Kekuasaan dan Politik, hingga Globalisasi. Di sini penulis mungkin sudah mempersiapkan sasaran bukunya, hanya seperti diulas oleh Bang Miing, anggota DPR RI dari Komisi X bahwa isi buku ini sangat naïf diperkenalkan untuk pembaca sasaran anak SMP.
Bagaimana buku ini bisa lolos? Seorang staf khusus Mendiknas Bidang Komunikasi-Media menjawab sambil melirik kertas di atas meja bahwa yang dinilai dari proses seleksi Pusbuk: 1) materi; 2) penyajian; 3) bahasa; 4) grafika. Dalam dua hal, materi serta penyajian maka kita pun akan bicara soal ketepatan isi untuk pembaca sasaran yang dalam dunia perbukuan sering disuratkan dengan usia pembaca. Jadi, pandangan Bang Miing memang debatable kalau ternyata tim penilai Pusbuk mengatakan bahwa content buku tersebut sudah pantas untuk pembaca sasaran anak SMP, apalagi dengan dalih anak-anak zaman sekarang lebih cerdas dari anak-anak zaman dulu—seperti perumpamaan yang disampaikan Gede Pasek, anggota DPR RI Komisi X dari Fraksi Demokrat: anak SMP sekarang sudah canggih menggunakan laptop.
Tidak ada yang salah dengan content buku Pak Beye yang tiap buku ditulis oleh penulis berbeda ini. Isinya pastilah menyiratkan berbagai sisi positif, terutama terkait pribadi Pak Beye. Tidak pula salah sosok Pak Beye yang diangkat dan ternyata diluluskan oleh Pusbuk karena Pak Beye adalah Presiden RI dan tokoh bangsa ini. Jadi, buku ini memang tidak perlu ditarik—disamakan dengan buku-buku terlarang yang diberangus sendiri kadang oleh pemerintah. Soal tudingan buku ini bermuatan politik, sudah jelas-jelas pengayaan PPKn subtema Kekuasaan dan Politik, pastilah isinya bermuatan politik. Beda maksud kalau isinya disebut bermuatan politis, hal ini masih harus dikaji lebih dalam lagi atau sekalian dibawa ke Mahkamah Konstitusi (benar apa enggak, ya?).
Dalam beberapa berita, malah reaksi terkadang terlalu jauh bahwa buku ini dianggap menjadi semacam bentuk eksploitasi anak dengan politik pencitraan. Dulu, buku Pak Harto berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang terbit 1989 juga masuk pengadaan proyek Inpres. Tentu masa itu tidak ada yang berani meributkannya, padahal jelas-jelas judulnya menunjukkan sebuah pengaruh.
Apa yang patut ditelusuri sebenarnya adalah mekanisme seleksi buku tersebut dan mungkin masih banyak buku-buku yang berkategori lolos penilaian (ada 857 judul menurut Kemendiknas) ternyata tidak tepat pembaca sasaran/jenjang, tidak tepat jenis/kategori, serta tidak tepat pula momentumnya (sudah out of date). Buku itu memang seperti pisau bermata dua: kalau berkualitas, buku dapat mencerdaskan bangsa; kalau tidak berkualitas, buku dapat menjebloskan bangsa ke jurang kehancuran. Dan itu hanya berlaku untuk buku yang dibaca. Kalau ada buku terbit, tidak ada yang mau membacanya, buku itu tidak punya daya apa-apa meski berkualitas sekalipun. Buku-buku yang lahir dari rahim DAK dan dibidani oleh Pusbuk ini semoga harapannya buku berkualitas yang punya daya membangkitkan minat membaca.
***
Sebenarnya buku, kadang terlalu diremehkan di negeri ini. Padahal, SBY-JK salah satu pamornya naik karena menyuarakan program buku untuk rakyat dengan menggratiskan buku pelajaran dan membuat buku murah. Harga buku pelajaran pun sempat dipatok pada angka tertentu dengan hanya mempertimbangkan fisiknya, sedangkan isinya dipukul rata sama harganya. Itulah mengapa program buku sekolah elektronik (BSE) menuai sukses luar biasa mematikan sebagian besar penerbit buku pelajaran yang malang melintang selama puluhan tahun melakukan penjualan langsung di sekolah ataupun lewat jalur distribusi yang benar.
Imbasnya bahkan juga terkena pada penulis buku pelajaran yang karyanya dibeli putus (outright) dengan imbalan maksimal Rp100 juta untuk masa eksploitasi selama lima belas tahun (Pengumuman Nomor 1183/A8.3/LL/2007). Pada praktiknya saat awal para penulis hanya dibayar Rp45-Rp75 juta. Angka yang terlampau kecil untuk program bernama pencerdasan bangsa selama lima belas tahun!
Buku-buku pelajaran yang dinilai lalu di-elektronik-kan itu bebas diunduh siapa pun dan bebas pula dicetak oleh siapa pun meski ia bukan penerbit atau percetakan (sebuah keanehan dalam jagat industri buku di dunia). Lucunya lagi, tiba-tiba ada istilah buku BSE versi cetak yang juga kembali dibeli pemerintah lewat proyek dan dibagikan gratis ke sekolah-sekolah. Sudah dielektronikkan dengan maksud paperless dan biaya lebih murah, malah kemudian dicetak lagi dengan kontrol kualitas yang bisa jadi seadanya.
Tanggal 25 Januari 2011 kemarin, Komisi X DPR RI mengadakan raker mengenai perbukuan seperti dilansir Liputan6.com. Angelina Sondakh, seorang anggota komisi meneriakkan usul penurunan pajak buku impor. Jadi, tanda tanya: mengapa tidak dihapuskan saja? Berapa sih pendapatan pajak dari impor buku dibandingkan dengan pendapatan Gayus Tambunan? Lalu, secara terpisah anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ferdiansyah mengatakan, pemerintah wajib memberikan kebijakan subsidi kertas untuk menggairahkan penerbitan buku di Indonesia. “Intinya, pemerintah harus bisa mendorong untuk terciptanya buku murah, guna mempercepat laju peningkatan kecerdasan bangsa sesuai amanat konstitusi,” ujarnya. Usulan ini semua memang lagu lama yang tidak pernah ditanggapi pemerintah.
Kalau diuraikan, seperti ini:
1. Penghapusan pajak (PPN) semua jenis buku karena masih ada buku yang terkena pajak, di antaranya novel dan komik;
2. Penghapusan pajak penghasilan untuk penulis/pengarang yang sudah mengerahkan daya ciptanya untuk sebuah buku sebagai sarana pencerdasan bangsa;
3. Produksi kertas khusus buku agar tidak ada lagi suara sumbang ‘buku itu mahal’ karena bangsa ini masih menilai buku dari segi fisiknya, bukan isinya (kalau ada buku tipis, tetapi mahal, alamat jadi masalah);
4. Penghargaan terhadap profesi industri buku yang kurang memadai: editor, layouter, desainer, proofreader, dan termasuk penulis/pengarang;
5. Tata niaga buku, terutama buku pelajaran yang beberapa waktu seperti lingkaran setan sehingga membuat citra penerbit buku pelajaran agak kurang baik: ganti tahun ajaran baru, ganti buku; ganti kurikulum, ganti buku.
Semua selalu mendengung-dengungkan minat baca bangsa Indonesia rendah. Semua selalu terkesima dengan kisah kebangkitan Jepang disebabkan buku. Semua tampaknya sudah mafhum bahwa Eropa mendapat pencerahan (Renaisance) karena terpengaruh buku-buku dari kaum Muslim. Semua mencak-mencak kalau tahu betapa banyak buku hasil karya penulis Indonesia dibajak di Malaysia. Semua merasa yakin bahwa buku dapat mencerdaskan (kehidupan) bangsa. Namun, semua sepi dari perbuatan yang membuat industri penerbitan buku itu berkembang pesat. Bahkan, tanpa kita sadari, Indonesia tidak memiliki House Style Book (buku gaya selingkung) yang disahkan negara untuk digunakan sebagai petunjuk dan pedoman membuat buku yang baik dan benar. Juknis yang dikeluarkan Pusbuk saja tidak cukup untuk memandu membuat buku yang baik dan benar bagi para penerbit ataupun penulis.
Kita seharusnya malu dengan Malaysia yang memiliki buku Gaya Dewan (house style book) dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (lembaga ini hampir sama dengan Pusbuk dan Pusat Bahasa yang disatukan). Buku Gaya Dewan ini digunakan seluruh lembaga pemerintahan Malaysia dan sebagian besar penerbit di negara itu. Alhasil, terdapat konsistensi penerbitan yang menunjukkan profesionalitas.
Dalam beberapa kali sesi pelatihan penulisan dan penerbitan di beberapa lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan, saya menemukan fakta hampir semua peserta tidak mengenal apa yang disebut tanda-tanda koreksi (correction mark)—padahal sebagian besar tanda-tanda itu berlaku secara internasional dan di beberapa negara diajarkan penggunaannya sejak SD pada mata pelajaran mengarang/menulis. Apa yang paling menyedihkan, banyak di antara kita yang tidak dapat membedakan antara kata pengantar (foreword) dan prakata (preface). Sibuk kita mempersoalkan buku Pak Beye, tetapi sebenarnya dalam hal-hal fundamental penerbitan buku, kita sama sekali tidak hirau.
Kalau tidak salah pernah dalam juknis yang dikeluarkan Pusbuk ada persyaratan anatomi buku fiksi harus menyertakan daftar pustaka. Sangatlah naïf sekali lagi bahwa karya fiksi yang paling banyak didasarkan pada imajinasi harus disertai daftar pustaka (hampir pasti saya tidak pernah melihatnya, kecuali catatan kaki pada novel). Selain itu, yang masih tetap ada bahwa buku pengayaan, tidak peduli itu fiksi atau nonfiksi harus disertai kata pengantar dan prakata. Padahal, dalam karya fiksi seperti novel, kumpulan puisi, maupun drama, kata pengantar dan prakata hampir pasti jarang dicantumkan untuk tidak menyebut opsional (boleh ada boleh tidak). Alhasil, seperti kasus daftar pustaka terjadilah daftar pustaka abal-abal yang dicantumkan untuk sekadar memenuhi persyaratan juknis penilaian buku. Begitu pula dengan kata pengantar dan prakata yang diada-adakan (umumnya selalu dimulai dengan kalimat Dengan mengucap puji dan syukur ….).
Pak Beye dan Bukunya seperti membuka sedikit tabir industri perbukuan kita…. Hampir banyak di antara kita yang tidak menyadari kekuatan sebuah buku. Almarhum Mochtar Lubis pernah menyebut buku adalah senjata berdaya debat hebat dan seniman Jeihan pernah lantang mengatakan: buku adalah kubu. Orang ‘meremehkan’ buku, tetapi terkadang dapat tersengat karena buku.
Selamat berkubu-kubu karena buku!
Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia dan penulis 100+ buku. Pernah mengajar editologi dan publishing science di Prodi D3 Editing, Unpad; Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan; Politeknik Negeri Media Kreatif Prodi Penerbitan.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Harga naskah Rp100 jt bkn utk 10 thn, tapi untuk 15 thn pak.
Anda benar, 15 tahun! Saya langsung cek iklan tahun 2007. 🙂 Terima kasih, diedit.
dan yg lebih menyedihkan ni mas, buku-buku berstatus lolos perbaikan yg sudah berubah status menjadi lolos hanya dibeli dengan penawaran tertinggi 50 jt saja, dengan potong pajak, tebaklah yg masuk ke rek penulis.. kadang yg begini ini membuat “kapok” menulis…