Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam Munas FLP #2 2009, di Solo. Saya tampilkan kembali sebagai catatan penting literasi bangsa.
Pengantar untuk Negeri yang Luka
“Sastra adalah jalan kebenaran keempat!”—setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Terus terang saya begitu tertarik dengan penelitian David McClelland yang mengungkap pengaruh dongeng sebelum tidur (sastra anak) terhadap masa depan bangsa tersebut (terutama berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi), termasuk produk literasi berupa drama, puisi, pidato penguburan, dan epos. Karya literasi itu secara sadar atau tidak, dapat disisipi virus n-Ach yang punya potensi menciptakan generasi penuh semangat, penuh optimisme, dan antusias pada rentang 25 tahun ke depan.
Lalu, apa yang terjadi dengan “dongeng sebelum tidur” pada bangsa ini? Kita ragu-ragu menoleh ke belakang. Karena apa? Sekarang kita berdiri pada masa kini dan kita adalah produk masa lalu—yang entah sadar atau tidak dibesarkan oleh dongeng seperti apa.
Sebagian dari kita yang kini menjadi orang tua muda maupun menengah adalah generasi X yaitu generasi yang lahir pada rentang 1964-1980. Generasi X dideskripsikan sebagai generasi yang tumbuh bersama video games dan MTV. Remajanya kala itu berciri kurang optimis, sinis, skeptis, dan tidak lagi menjunjung nilai-nilai. Umumnya lebih baik dalam tingkat pendidikan.
Lalu, sebagian kecil dari kita berasal dari generasi Y yaitu generasi yang lahir dalam rentang 1981-1995. Generasi Y dideskripsikan sebagai generasi yang tumbuh bersama komputer dan internet. Hidup pada masa mahalnya biaya pendidikan. Tipikal cenderung menuntut, tidak sabar, serta buruk dalam berkomunikasi dengan sesama. Mereka terkenal dengan sikap cuek dan anti-peraturan. Namun, memiliki energi dan semangat luar biasa dalam bekerja.
Mari kita stop dulu dari Gen-X hingga Gen-Y. Kita semua yang kebanyakan ada di ruangan ini, yang bergiat dalam FLP. Produk sastra apa yang membesarkan kita? Bawang Putih Bawang Merah, Timun Mas, Dongeng si Kancil, Malin Kundang, Pak Belalang, Batu Menangis, Maha Bharata? Atau produk-produk buku Inpres tahun 70-an yang menghabiskan dana miliaran rupiah?
Seperti opini yang tersurat dalam Munas FLP, negeri Indonesia ini kini penuh luka-luka dan karut-marut. Jika kita hidup pada 2009, berarti sesuai dengan teori McClelland, generasi malang itu adalah mereka yang lahir tahun 80-an (1984), lalu biang keroknya adalah generasi yang lahir tahun akhir 50-an (1959). Virus besar yang saya duga berdasarkan teori McClelland sangat berpengaruh adalah program pengadaan buku-buku Inpres tahun 1970-an—ada beberapa penelitian tentang buruknya kualitas buku-buku Inpres ini, termasuk yang saya lakukan sendiri pada 1999 yang berbuah buku Fenomena Intrinsik Cerita Anak Indonesia Kontemporer: Dunia Sastra yang Terpinggirkan.
Pemberontakan besar terjadi pada 80-an ketika anak-anak Indonesia menolak cerita-cerita berbau didaktik begitu kental (menggurui). Tema-tema yang menonjol kala itu adalah tema tentang perang kemerdekaan, biografi pahlawan, kemandirian, lingkungan hidup, serta keterampilan dan iptek. Sangat khas sastra anak pada masa itu berbau kental pesan pembangunan ala ORBA. Dengan karakter generasi Y maka mereka pun lebih akrab dengan Voltus V, Sailor Moon, dan produk-produk sastra anak asing lainnya. Akibatnya, generasi muda bangsa ini mengalami kebingungan dalam proses identifikasi diri.
FLP pun berdiri dan berkembang …. Para penulisnya adalah Gen-X dan Gen-Y yang notabene generasi malang dengan segudang tanggungan persoalan karut marut bangsa ini. Apa yang harus dilakukan?
Sastra Indonesia: (Yang) Mencari Posisi
Saya memunculkan sebuah teori untuk menarik benang merah antara fiksi dan nonfiksi. FLP saya anggap sebuah organisasi literasi yang benar-benar lahir dari rahim sastrawi. Sebagian besar para penulis yang dihasilkannya adalah penulis fiksi dengan basis genre sastra pada puisi, novel, dan cerpen—mungkin sebagian kecil menulis drama atau dalam bentuk naskah skenario. Saya menarik perbedaan mendasar bahwa fiksi selalu didasarkan pada keingingan (want) dan nonfiksi selalu didasarkan pada kebutuhan (need). Alhasil, memang lebih sukar menakar sebuah fiksi.
Dalam konteks industri perbukuan, karya sastra pernah mendapat perlakuan dipinggirkan pada era 80-an karena menerbitkan buku sastra sama dengan bunuh diri dalam bisnis penerbitan. Sastra yang berkembang justru yang populer disebut sastra picisan dengan tema sentral percintaan dunia remaja dan juga mistik ala Abdullah Harahap. Berkembang juga secara hebat di bawah meja, sastra seks (stensilan) dari yang sangat vulgar hingga semivulgar semacam Nick Carter.
Bagaimana kita melihat bahwa industri buku sebagai karib dunia sastra tidak memihak sastra itu sendiri. Namun, keadaan sulit ini memunculkan nama-nama besar dan disegani dalam jagat sastra kita, seperti YB Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Titis Basino, Arswendo Atmowiloto, NH dini, Ramadhan KH, Ras Siregar, Ismail Marahimin, Korrie Layun Rampan, Sori Siregar, Motinggo Busye, Emha Ainun Nadjib, dan banyak lagi. Karya mereka benar-benar sangat sastrawi dan berkualitas. Mereka umumnya dibesarkan oleh industri buku yang berkomitmen memihak sastra, seperti Balai Pustaka, Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Dian Rakyat, dan Pustaka Jaya.
Keadaan lalu berbalik pada 1990-an. Perkembangan penerbit baru menjadi penerbit yang diperhitungkan di jagat industri buku Indonesia mengubah segalanya yang pada tahun 70-an hingga 80-an didominasi oleh penerbit-penerbit buku pelajaran. Mizan muncul sebagai pelopor kesan intelektual muda, lalu Gema Insani muncul sebagai pelopor spiritualitas dengan penyatuan tradisional serta moderat.
Pascakrisis ibarat bola salju, muncul gelombang penerbit-penerbit indie di Jogja dan Jakarta. Muncul pula nama-nama penerbit pengusung sastra Islam, seperti Syamiil, Mizan (tentunya), Era Intermedia, Zikrul Hakim, Senayan Abadi, dan sebagainya. Semuanya terjadi karena memang ada pabrikasi penulis besar-besaran yang kita ketahui bersama dipelopori oleh FLP.
Kini industri buku yang sedang berbulan madu dengan pabrikasi sastra ini sedang mencari bentuk—menakar-nakar keinginan generasi baru yang sudah lahir di Indonesia yaitu generasi platinum. Apa lagi setelah Ayat-Ayat Cinta? Apa lagi setelah Laskar Pelangi? Wow, Kambing Jantan dan Babi Ngesot! Ingat, sebelumnya jagat sastra Indonesia juga digetarkan oleh novel Saman dan Supernova dengan basis keinginan yang benar-benar sulit dipahami (dari sisi pembacanya).
Maka sastra Indonesia sekarang sedang mencari posisi. Untuk menambal luka-luka maka ia harus berkonsentrasi pada sastra anak dan sastra remaja. Formula baru harus segera diciptakan.
Sastra Indonesia: Menyusupkan Motivasi?
Gelagat motivasi menjadi daya tarik, bahkan daya jual cukup tinggi di Indonesia sudah terlihat ketika bisnis MLM berkembang subur di Indonesia. Bisnis ini melahirkan para leader yang mau tidak mau harus terus memompa motivasi para downline-nya. Lalu, kita pun mafhum akhirnya negeri ini melahirkan begitu banyak tokoh motivator yang seakan memang menunjukkan sebagian besar masyarakat bangsa ini tengah dirundung pesimistis dan kesedihan.
Boleh kita tersenyum ketika tahu bahwa buku motivasi berwarna sastra karya Dr. Aidh Al-Qorni bertajuk La-Tahzan menjadi buku terjemahan Timur Tengah terlaris pada awal 2000-an. Buku yang bermakna Jangan Bersedih ini seolah-olah mejadi pelipur lara, bahkan secara simbolik dihadirkan pada film Naga Bonar Jadi Dua yang penuh dengan humor-humor satir tentang bangsa ini—menyedihkan! So, jangan bersedih!
Karena itu, sastra yang menyusupkan motivasi sebagai misi dari FLP dalam gerak langkahnya ke depan adalah sebuah keniscayaan yang harus dibangun pada rentang puluhan tahun ke depan. Untuk itu, FLP harus mampu melahirkan penulis-penulis motivator dengan tidak lagi berasyik masyuk pada kisah cinta mengharu biru seperti yang terjadi pada sebagian besar syair lagu band-band remaja di Indonesia kini. Jika kita teliti, sedikit sekali syair lagu yang memotiviasi! Semuanya bercerita tentang kehilangan, kesendirian, kegagalan, dan kemalangan! Tentunya FLP jangan sampai menjadi pabrik penulis pemroduksi air mata—dalam arti harfiah penuh tangisan tanpa harapan.
Lalu, kembali saya garis bawahi bahwa kemungkinan paling efektif untuk menyusupkan motivasi adalah pada anak (batita-balita-usia SD) dan juga remaja. Karena itu, fokuslah untuk membesarkan sastra anak dan sastra remaja atau buatlah semacam pembagian tugas, coaching penulis-penulis buku anak dan remaja, serta asah profesionalitas pengurus.
Sebagai pabrikasi, FLP harus pula menyusupkan juga motivasi entrepreneurship sehingga pengurus FLP dalam impian saya sebagai penggiat perbukuan adalah mereka yang punya komitmen, profesional, dan fleksibel dengan dunia industri (bisnis) atau bahkan memiliki bargaining position dengan industri itu sendiri. FLP dapat membangun sentra bisnis berbasis penulisan sebagai kantong dana untuk menguatkan posisi tawar ketika jagat industri buku memalingkan wajah dari sastra. Boleh jadi malah FLP adalah pabrik untuk para chief editor, bahkan direktur penerbit masa depan di Indonesia.
Semoga berguna! Terima kasih.
*Bambang Trim adalah nama pena dari Bambang Trimansyah; bersyukur terjerembab ke dunia sastra setelah sebelumnya gagal masuk ITB. Telah mendalami editologi dan publishing science sejak 1991 dan fokus dalam pengamatan serta pengkajian sastra anak sejak 1997. Kini menjabat sebagai GM for General Book PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, CEO Dixigraf Publishing Service, dan juga Ketua Forum Editor Indonesia)
e-mail: bambangtrim@yahoo.com
www.dixigraf.com

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.