Ingat pepatah Minang “Alam takambang jadi guru” saya memodifikasi tulisan ini dengan judul “Buku Terkembang Jadi Guru”. Sungguh faktor kali (meminjam istilah Pak Tung dalam Financial Revolution) adalah bagaimana seseorang memanfaatkan dunia buku sebagai stepping stone untuk menjejaki berbagai peluang silaturahim. Di situlah faktor kali bekerja menjadi magnet bagi kita untuk kembali mendapatkan ilmu, terutama bahan baku menulis ataupun berkolaborasi dengan banyak pihak menciptakan peluang-peluang baru rezeki.
Itulah yang baru saya sadari pada 1997 ketika menerjuni dunia buku. Dalam sesi wawancara calon editor, saya sering menguji soal komitmen menceburi diri dalam dunia literasi atau penerbitan ini apakah dari hati terdalam, panggilan jiwa, dan juga disertai visi yang jelas. Hampir sebagian besar editor menjawab melantur, pun begitu dengan beberapa penulis muda. Terbanyak mungkin karena alasan pendek tidak ada pekerjaan lain, dunia penerbitan menawarkan kesempatan popoularitas, dan tentunya juga penghasilan yang lumayan.
Saya memulai perjalanan hari kemarin (Kamis/3 Maret 2011) sebagai sebuah perjalanan yang mengembang menjadi guru. Lima pertemuan sekaligus membuat saya sadar betapa kecilnya kita dalam lingkup dunia luas ini dan orang-orang yang bergegas dengan sebuah komitmen serta visi.
Saya bertiga awalnya bersama Mas Sony Set dan Mas Koko Srimulat memang sudah terjadwal bertemu tim XL untuk penandatangan MOU Srimulat. Bergerak dari Cikini, kami sampai menjelang tengah hari. Di sana kami disambut Mbak Ira, petinggi XL di bidang corporate communication. Dengan program CSR-nya XL mendukung penerbitan buku “Srimulat: Aneh yang Lucu” plus program bisnis meluncurkan buku tersebut dalam format e-book yang menandai Tiga Serangkai memasuki masa electronic publishing.
Ini guru pertama soal kekuatan provider telekomunikasi yang semakin eksis dan digjaya karena tumbuhnya masyarakat digital di Indonesia. Media massa cetak telah mengibarkan bendera putih akibat penetrasi digital. Media buku masih punya posisi tawar karena tabiat membaca buku kertas belum dapat tergantikan dengan device seperti e-book reader. Namun, ancaman justru datang dari pad-pad yang punya kemampuan komunikasi dan akses informasi sehingga komputer tablet tersebut pun akan jadi primadona para pembaca/penggemar buku untuk mengumpulkan buku di satu perangkat dalam jumlah ribuan dan berharga murah pula.
Siangnya, saya dan dua orang rekan dari Solo tadi menuju guru kedua, yaitu markas Huawei di Jakarta. Di sana kami disambut Mbak Meliyani (Ass Operational Manager) untuk menandatangani MOU sebagai content provider. Huawei telah meluncurkan pad seharga Rp2,99 juta yang dibundling dengan XL. Pad berformat sistem android 3G ini memiliki kamera depan dan belakang dengan ukuran lebih kecil sedikit dari galaxy tab besutan Samsung.
Saya sempat membuka layanan XL baca dan mencoba e-book reader. E-book ini memang belum dapat di-support dengan gambar misalnya untuk buku-buku anak picture book, tetapi tidak lama lagi pasti dapat dibuat. Wah, dunia benar-benar dalam genggaman. Karena itu, terpikirlah eksistensi penulis itu semakin kuat dalam era digital terlepas apa pun penampung tulisannya itu. Apa yang diperlukan adalah gagasan untuk content yang brilian.
Guru ketiga adalah kunjungan kembali saya ke Binus Business School untuk membantu mewujudkan buku tentang CEO dan kiprah bisnis mereka dalam topik people-innovation-excellence. Jujur saya ini awam soal bidang bisnis, apalagi dalam konteks akademik. Saya hanya sarjana Sastra Indonesia yang memang tertarik soal bisnis, manajemen, dan ke-SDM-an. Namun, takdir membawa saya membantu beberapa pelaku bisnis untuk menuliskan pikiran mereka. Sebelumnya saya sempat membantu sebuah perusahaan asuransi syariah ternama untuk mewujudkan buku tertopik asuransi syariah.
Saya menikmati diskusi penulisan bisnis ini yang membawa saya mengenal ilmu-ilmu baru dalam lingkup manajemen bisnis dan mendorong saya harus update perkembangan ekonomi dan bisnis. Saya akhirnya harus membaca beberapa buku bisnis dan berusaha masuk ke alam pikiran para pebisnis.
Guru keempat adalah sebuah janji bertemu Pak Yusron Ihza Mahendra di Senayan City dalam jarak sepeminuman teh dari Binus Business School. Saya gembira dapat memanjang silaturahim dengan Pak Yusron yang juga mantan anggota DPR dari Komisi I periode lalu ini. Ini akan menjadi kuliah gratis saya dari seorang tokoh yang sarat ilmu dan pengalaman internasional. Beliau menyambut saya dengan hangat.
Kami memulai obrolan ringan, lalu masuk soal buku. Beliau meminta saya memandunya menulis novel dan bagi saya ini adalah kehormatan luar biasa mengingat beliau juga bukan orang awam dalam dunia penulisan. Kiprahnya di biro Kompas Tokyo tidak dapat diabaikan plus juga karya tulis ilmiahnya. Saya mendapat hadiah satu buku karyanya terbitan Mizan tentang kondisi sistem pertahanan negeri ini.
Lebih kurang satu jam saya menemui guru keempat ini dan menikmati obrolan-obrolan tentang dunia kepenulisan, dosen yang tidak menulis, serta hal-hal visioner soal Indonesia. Inilah faktor kali yang sangat bernilai karena kita menulis maka kita terakses dengan banyak tokoh. Beliau mengatakan mendapat info saya dari internet yang diberitahukan istrinya setelah sekian lama mencari sparring partner untuk menulis.
Sayang, saya harus bersegera menemui guru kelima dan berpamitan dengan Pak Yusron untuk segera janji bertemu kembali. Guru kelima itu adalah sebuah komunitas blogger/pengguna twitter lesehan bernama Obrolan Langsat (#obsat) yang memang berlokasi di Jl. Langsat I, Jakarta. Kemacetan Jakarta membuat saya agak terlambat sampai di sana dan acara pun sudah dimulai.
Dua sosok tampak sedang menjadi pembicara yaitu Mas Sony Set dan Mas Koko Srimulat dengan moderator sang Ndorokakung. Sayang Mas Gogon dari Srimulat batal hadir karena lagi sibuk syutting. Ini kali pertama kunjungan saya dalam diskusi blogger. Meski saya juga seorang blogger, saya memang tidak aktif untuk bertemu sesama blogger, kecuali tentunya para penulis buku.
Ini dunia lain dan fenomena lain yang membawa saya pada pemahaman betapa hebatnya dunia digital mempengaruhi opini massa. Puluhan tweet mengalir sepanjang diskusi dan tweet-tweet itu diluncurkan oleh orang-orang yang memiliki ribuan, bahkan puluhan ribu follower di jagat twitter. Bayangkan sebuah buku mendapatkan promo ‘mulut digital’ sebegitu banyak maka yang dapat terjadi adalah pembelian besar-besaran. Sebaliknya, apalagi muncul ‘mulut digital’ berupa caci maki maka akan datanglah gelombang tsunami mematikan itu.
Menilik ke belakang, aksi koin untuk Prita kali pertama lahir dari @obsat yang segera membentuk gelombang opini dan tindakan massal bangsa ini. Pelajarannya adalah bagaimana penerbit dan penulis sudah harus menyambungkan silaturahim dengan dunia digital bukan sekadar menyemplungi diri pada electronic publishing,melainkan juga harus menjadi penggiat social media via digital. Maka mitra strategis itu adalah provider telekomunikasi.
Saya menutup pemelajaran hari itu dengan obrolan berempat di F1 Cikin bersama Mas Sony, Mas Koko, dan Mas Bambang dari tabloid Sinyal dan Infokomputer. Kami berdiskusi soal efek digital, dunia buku ke depan, dan model bisnis yang masih dicari dari migrasi cetak ke digital. Obrolan masa depan ini memang tidak dapat saya lanjutkan karena lelah dan kantuk. Esok hari masih ada dua agenda dituntaskan sebelum kembali ke Solo.
Buku Terkembang Jadi Guru maka buku yang ‘tidak berbunyi’ akan menghasilkan senyap dari gempita informasi. Penulis harus mengeksiskan diri saat ini di social media dan merambah dunia digital dengan frekuensi tinggi. Sekarang massa yang masif itu mulai menyemut di sana dengan kecepatan sekedipan mata. Saya benar-benar terkesima, tetapi melihat peluang luar biasa (bagi penulis dan editor tentunya). []
Bambang Trim
komporis-buku-indonesia

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.