Sewaktu kuliah di Prodi Editing, Fakultas Sastra, Unpad, saya sangat senang mengikuti mata kuliah komposisi yang diampu dosen saya bernama Pak Kusman K. Mahmud. Nama mata kuliah komposisi saya yakin diambil dari judul sebuah buku lawas dan sangat populer di kalangan penulis masa itu bertajuk Komposisi karangan Gorys Keraf. Buku ini telah menjadi rujukan para penulis maupun akademisi berpuluh tahun lamanya. Komposisi sendiri diambil dari padanan kata bahasa Inggris composition yang juga bermakna karangan atau karya tulis yang tertata. Makna lain termasuk dalam bidang musik yang artinya gubahan sehingga penggubah lagu atau penggubah musik kerap disebut komponis.
Saya menekuni mengarang sekaligus menulis, tetapi saya tidak hendak menyebut diri komponis. Saya hanya seorang komporis atau bahasa kerennya provokator dan boleh juga disematkan bahasa halusnya motivator. Saya hanya orang yang suka ‘mengompori’ orang lain untuk menulis buku, boleh dengan cara halus atau juga dengan cara sedikit ‘memaksa’–mengondisikan para calon penulis pada keadaan harus menulis minimal menyelesaikan matriks outline dan menulis satu bab.
Saya tertarik membeli untuk kemudian membaca buku karya Daniel Coyle bertajuk Rahasia The Talent Code Bakat. A-ha di situ ada satu bab berjudul “Pengapian”. Ternyata bakat juga harus dipanaskan alias dikompori karena beberapa orang memiliki ‘bakat dingin’ atau ‘bakat melempem’. Soal bakat ini, saya teringat dengan salah seorang peserta training menulis yang saya panggil Mas Rio. Beliau trainer di bidang public speaking. Sekitar beberapa bulan lewat, beliau menyerahkan naskah kepada saya bertajuk soal ‘bakat’. Naskah menarik ini kerap saya akan bantu  terbitkan. Bakat seolah menarik untuk dibahas kini karena televisi kita juga sedang diguyur tayangan soal bakat seperti Indonesia Got Talent.
Namun, menulis itu sendiri bukan bakat, apalagi menulis buku. Saya lebih suka menyebutnya sebagai life skill yang dapat dilatihkan kepada siapa pun. Persamaannya dengan bakat ya sama-sama harus dikompori juga untuk membangkitkan minat, hasrat, dan keyakinan dalam diri bahwa menulis adalah sebuah ‘daya’ yang dapat mengubah hidup seseorang dan orang lain. Karena itu, saya ingin menempatkan diri sebagai komporis.
Senang rasanya jika kompor saya memanas, lalu meledak menjadi karya. Seorang peserta training saya kira-kira dua tahun lalu kembali mengontak. Namanya Pak Adi Putera Widjaja. Beliau saya tahu seorang praktisi NLP yang juga menulis beberapa buku tentang parenting. Meski menyebut-nyebut saya sebagai gurunya, tidak hendak saya menyebut Pak Adi sebagai murid saya. Sekali lagi saya hanya komporis Pak Adi.
Buku yang berhasil dibuat beliau bersama koleganya Pak Stephanus adalah Meta Leadership Marketing. Saya turut membantu menjadi bidan kelahiran buku ini sebagai ghost editor. Lalu, kini di hadapan saya sudah terhampar naskah faksi tentang 9 pengusaha Indonesia yang konon jarang dapat diwawancarai. Beliau berhasil menembusnya dengan sebuah tekad pemelajaran dan penyebaran kearifan bisnis. Naskah itu kemudian saya beri judul tentatif: 9 Bukan Bisnis Biasa: Growing Your Business with Pure Mind.
Saya kembali masuk ke alam komposisi, mengerahkan segenap pughaba (meminjam bahasa Tasaro dalam Nibiru) menulis. Â Terus terang ini termasuk perkara sulit dalam sepengalaman saya menulis karena saya harus mengerjakan beberapa naskah sekaligus; ada naskah spiritual yang sudah dikejar deadline penerbit dan dua naskah dari klien yang masih setengah jalan berupa biografi dan satunya buku bisnis. Saya seperti berkeliling dari satu dunia ke dunia lain, dan tentu akhirnya saya pun memerlukan pemanas alias kompor. Pemanas itu adalah mimpi dan keluarga saya.
Dan saya pun memerlukan pemantik untuk ide-ide mengomposisikan berbagai referensi, masukan, hingga menjadi keluaran yang punya daya pikat, daya cengkram, sekaligus daya ubah bagi para pembaca. Beruntung saya memiliki tim kerja yang punya dedikasi soal kualitas dan kebermaknaan karya. Mereka menjadi pemantik saya dan tim itu adalah Dixigraf Publishing Service yang berada di Bandung. Meskipun dipisahkan jarak, internet sangat membantu saya mengomunikasikan berbagai ide dan akhirnya dapat terwujud. Sebuah draft cover buku pun dikirimkan via email pukul 9 malam tadi, lalu saya menyambutnya dan menyemplungkannya ke dalam power point untuk dikirimkan sebagai bahan presentasi. Saya harus menyajikan komposisi yang apik antara presentasi sekaligus buku.

Betul energi sangat terkuras manakala juga harus memikirkan bagaimana sebuah buku trilogi yang mengupas perjalanan grup lawak terbesar di Indonesia, Srimulat, juga bisa diluncurkan pada bulan Maret depan dengan keapikan penggarapan. Buku ini dilirik oleh XL untuk menjadi ikon XL Baca yang akan tampil kali pertama dalam device Android pad besutan Huawei. Huah… pekerjaan menantang sekaligus membuat ‘panas’ segala myelin di dalam tubuh untuk berlari, namun saya menyadari keterbatasan diri dan saya akhirnya membutuhkan tim yang kuat sekaligus solid dengan ‘kompor’ yang sama panasnya.
Belum punah kepenatan memikirkan soal buku, tiba-tiba SMS masuk ke hp saya. Seseorang bernama Yusron Ihza mengontak dan saya mengira-ngira. Akhirnya, telepon beliau masuk setelah beberapa kali tidak terangkat. Benarlah Pak Yusron adalah saudara kandung Pak Yusril Ihza dan beliau sedang mengerjakan proyek buku fiksi. Datanglah kembali kesempatan untuk berbagi sebagai editor dan ini berarti pekerjaan tambahan di antara pekerjaan-pekerjaan komposisi lain yang harus dituntaskan. Hanya ‘kompor’ yang bisa membangkitkan hasrat dan energi saya kembali, salah satunya peluang ‘silaturahim’.
Kenali hutannya, jangan pohonnya. Jargon ini saya kutip dari sebuah buku tentang editing dan kembali kata-kata itu terlontar pada saat memberi pelatihan kepada 28 widyaiswara di Pusdiklat Kehutanan, Bogor, beberapa hari lalu. Memang seperti kebetulan berada pada lembaga pemerintah terkait hutan, jargon tersebut saya ucapkan. Jargon ini juga menjadi subbab buku terbaru saya yang akan terbit tentang penulisan buku. Intinya, dunia penulisan dan kepenulisan sebenarnya sebuah hutan atau rimba dengan berbagai pohon (genre atau laras) di dalamnya. Agar tidak tersesat maka sebaiknya kenali hutannya, bukan pepohonannya. Bukan sekali dua banyak orang tersesat di rimba penulisan dan perbukuan karena hanya mengenali pohon, tidak hutannya.
Komposisi adalah istilah yang sarat makna karena mengandung kilasan ‘susunan yang tertata’. Kata-kata itu memang harus tertata, kalimat harus tertata, paragraf pun harus tertata, hingga keseluruhan wacana (karangan) itu harus tertata. Itulah mengapa menulis buku yang tertata itu tidak ‘segampang yang dikira’ karena harus menyusun beberapa unit dari komponen bahasa hingga membentuk makna dan sekali lagi mampu menghadirkan daya pikat, daya cengkram, sekaligus daya ubah buat pembaca.
Maraknya penulisan buku dan para penulis buku lewat jalur self-publishing akhir-akhir ini boleh dipandang sebagai gejala positif. Namun, soal kualitas penataan komposisi, memang masih patut dicermati karena sebagian besar sepengamatan saya agak mengkhawatirkan. Saya kira ini adalah efek ‘komporis’ yang tidak diikuti efek ‘komponis’… (hehehe hanya asumsi). Kebanyakan kompor malah meledug, tetapi masakan di atasnya gosong atau gagal saji. Ha-ha-ha saya jadi bingung mau jadi ‘komporis’ atau ‘komponis’, tetapi tipikal bangsa ini kebanyakan masih membutuhkan ‘komporis’, termasuk bagaimana menurunkan Nurdin Halid dari tampuk kekuasaan PSSI.
Saya berusaha jadi ‘komporis’, tetapi juga berusaha betul menyelami ”komposisi’ karena bidang ilmu yang saya geluti sejak 1991 memang editologi yaitu bagaimana mematut-matut tulisan menjadi patut diterbitkan, bukan sekadar terbit. Tanpa ‘kompor’, komposisi akan menjadi teori membosankan dan tampak sulit dipraktikkan. Sebaliknya, tanpa ‘komposisi’, kompor itu cuma mampu membakar sehingga ‘arang habis, besi binasa’ atau pekerjaan sia-sia.
Bambang Trim
Komporis Buku Indonesia (self-brand baru)
Penulis dan Editor 100+ Buku

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Wah… semoga tidak tergantikan oleh gas elpiji pak…:D