Penerbitan buku adalah sebuah proses atau alur. Lazimnya sebuah proses selalu diikuti input dan adanya output. Output yang baik selalu dirancang dari strategi yang jelas serta dilaksanakan penuh komitmen dan konsisten oleh pelaku-pelaku bisnis penerbitan buku itu sendiri. Dalam mata rantai penerbitan buku, selain persoalan pengadaan naskah yang bahan baku utamanya diperoleh dari penulis atau pengarang, juga terdapat mata rantai utama yang disebut bagian editorial. Dari bagian inilah sebenarnya strategi penerbitan bermula dan diupayakan dengan segala kreativitas dengant tidak melupakan keinginan atau kebutuhan pasar (baca: pembaca) secara keseluruhan.
Pada 31 Mei 2011 kemarin, saya diundang untuk membentangkan kertas kerja tentang profesionalitas editor di Indonesia dalam kaitan berdirinya Persatuan Editor Malaysia. Seminar dengan tajuk “Meningkatkan Kerjaya Editor” ini membedah segala segi persoalan profesi editor, termasuk persoalan klasik soal eksistensinya yang tidak sekuat eksistensi profesi lain semacam wartawan. Hal ini mungkin khusus dalam kasus di negara Asia saja.
Namun, betullah bahwa profesi editor tidaklah populer di mata awam karena memang tidak ada yang mencita-citakan jadi editor sejak kecil atau bahkan sejak lulus SMA. Editing atau editor adalah dunia yang samar, termasuk mempertimbangkan masa depan kariernya bagi awam. Padahal, tidaklah demikian jika kita melihat bahwa sentral strategi dalam sebuah usaha penerbitan selalu dikaitkan dengan bagian editorial yang mengolah dari mulai naskah mentah hingga naskah siap cetak (dummy).
Saya ingin membincangkan editorial atau kerja editor sebagai sebuah strategi. Dalam sebuah penelitian, strategi itu tidak mutlak ditentukan oleh kepemimpinan (leadership) yang kuat, tetapi lebih disebabkan bekerjanya semua elemen tim dengan baik dan sesuai dengan arahan. Kontrol pekerjaan ini memang memerlukan sistem pemantauan ataupun evaluasi seperti balanced scorecard. Kerja editorial sangat dapat diukur dengan berbagai indikator, dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Apa yang harus dipahami memang bahwa industri penerbitan buku termasuk ke dalam industri kreatif. Artinya, orang-orang yang bekerja di dalamnya haruslah orang-orang kreatif atau didorong untuk mampu mengeluarkan kreativitasnya secara maksimal. Dengan demikian, strategi editorial sebuah penerbitan buku akan ditingkahi dengan pemikiran-pemikiran kreatif.
Para editor menghadapi dua elemen sekaligus, yaitu naskah dan penulis/pengarang. Naskah meskipun benda mati, tetapi memiliki kemampuan berdialog dengan kata-kata yang terdapat di dalamnya. Di sisi lain, ada penulis/pengarang yang perlu dilayani seorang editor dengan segala pemikiran dan segala kehendaknya. Hal inilah menjadikan kerja editorial itu sebuah seni, sekaligus memerlukan strategi untuk mengelolanya dengan baik serta memenangi persaingan dengan institusi penerbit lain.
Sesama penerbit boleh saling memuji dan berbangga dengan hasil karyanya sendiri. Sesama editor boleh saling menghargai dan mengagumi karya rekan-rekannya yang melejit di pasaran. Di balik itu, tentu strategi sangat berperan mulai strategi hulu hingga strategi hilir. Karena itu, kadang menerbitkan satu buku saja sudah sangat melelahkan dan memakan energi, apalagi terdapat tuntutan untuk menerbitkan puluhan judul buku dalam satu bulan–clear strategy sangat dibutuhkan.
Di sini posisi para editor buku yang andal menjadi sangat signifikan karena tidak mudah bagi kita mendapatkan editor dengan multikemampuan, terutama kemampuan dasar membaca dan menulis. Karena itu, tidak ada jalan lain selain membina profesi editor yang sebagian besar autodidak untuk kemudian berhimpun dalam sebuah asosiasi profesi. Asosiasi profesi memainkan peranan penting untuk 1) menyusun standar kompetensi; 2) mengeluarkan sertifikasi; 3) advokasi; 4) pendidikan serta pelatihan bersinambungan.
Encik Khaled Mazlan sebagai Timbalan Presiden Persatuan Editor Malaysia sempat mengusulkan di dalam seminar bahwa para editor yang sudah berkompeten atau mendapatkan sertifikasi berhak mencantumkan label atau gelar Ed. di belakang namanya seperti halnya para akuntan yang berhak mencantumkan Ak. Bukankah para pelatih hipnosis juga memiliki gelar panjang di belakang namanya meskipun hanya mengikuti training beberapa sessi? Usul ini menarik untuk mengangkat marwah editor di mana pun ia berada sehingga ada rasa bangga terhadap profesinya. Paling tidak portofolio karya dan jam terbang dapat dijadikan pertimbangan untuk seseorang berhak menyandang gelar Ed. di belakang namanya.
Strategi editorial menyasar pada dua gugus pekerjaan penting yaitu Akusisi (acquisition) dan Pengembangan (development). Karena itu, sekurang-kurangnya editor dibagi dalam dua gugus tugas pemerolehan naskah dan gugus tugas pengembangan naskah. Dua bagian ini harus membangun komunikasi yang baik secara internal dan komunikasi yang baik juga secara eksternal. Bahayanya jika strategi awal dalam pemerolehan naskah sudah keliru maka sulit bagi bagian pengembangan naskah untuk dapat menghasilkan buku yang baik dan tentu akan berdampak pula pada pemasaran maupun pada komunikasi marketingnya.
Kadang-kadang masalah memang muncul di tengah jalan, seperti tidak adanya komitmen penulis menyelesaikan atau melengkapi naskah. Hal ini membuat perencanaan penerbitan menjadi terganggu, apalagi jika ternyata naskah yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan pada awalnya. Karena itu, setiap strategi memerlukan plan B atau contingency plan dari setiap perencanaan yang akan dijalankan.
***
Semoga berwujudnya asosiasi profesi editor di Malaysia maupun di Indonesia nanti benar-benar dapat mengeksiskan profesi editor agar lebih menjelaskan bagaimana sebuah strategi editorial disusun dan dijalankan. Saat ini kita masih banyak meraba-raba untuk membuat perencanaan editorial yang baik dan matang. Jadi, jelas bahwa editor bukan semata persoalan membetulkan kata atau titik-koma, melainkan lebih dari itu menyangkut berbagai aspek, seperti keuangan, produksi, dan pemasaran, termasuk human resources.
Editing is believing!
Bambang Trim
#komporis-buku-indonesia

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Dunia editorial kita memang masih jauh dari tertib. Barangkali, pembenahan adalah hal pertama yang harus kita lakukan.
Wow, ternyata keren ya profesi editor itu tapi sayang tidak ada jalan pintas menuju ke sana….
maaf pak Bambang
anak saya berminat masuk jurusan editing Unpad tapi ingin mengetahui beberapa hal
1. apakah lulusan jurusan editing bisa berkarya di bidang jurnalistik baik media cetak atau online sebagai redaktur
2. Kalau ingin melanjutkan ke jenjang S1 jurusan apakah yang mungkin relevan?
barangkali bapak bisa membantu
Terima kasih sebelumnya
ahmad syaukani
bogor
Terima kasih Pak, berikut jawaban saya:
1. Umumnya dengan mata kuliah yang ada, jurusan editing dapat diarahkan bekerja di media, tidak hanya penerbitan buku. Banyak lulusan editing Unpad menjadi redaktur di beberapa media, bahkan memiliki media itu sendiri.
2. S1 bisa diambil yang paling relevan adalah komunikasi ataupun sastra Indonesia. Terima kasih.