Pada awalnya ia tertatih-tatih mengeja kata untuk membaca. Namun, ia memang ingin sekali mampu membaca dan menikmati apa sebenarnya cerita di balik gambar-gambar yang indah. Pada mulanya ia berkisah dengan bahasa visual gambar-gambar; ada pemandangan, orang-orang, rumah, gunung, laut, dan sebagainya. Namun, ia memang ingin sekali mampu menuliskan apa-apa yang tergambar di benaknya. Maka ia pun belajar mengeja huruf, kata, lalu menuliskan kalimat.
Itulah gambaran anak-anak yang hidup dan dibesarkan dengan kecerdasan literasi, utamanya membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Literasi itulah sumber penyerapan karakter bagi mereka karena mereka memulai dari ‘membaca’ kehidupan, lalu mengembangkan imajinasi mereka lewat gambar serta kata-kata. Dari sini mengapa sebuah karya literasi bermutu akan sangat memengaruhi pola pikir mereka kelak.
Apa yang dapat saya serap dari karya literasi bermutu semacam Lima Sekawan karya Enyd Blyton? Saya menemukan makna kekompakan, keberanian, dan kecerdikan hingga makna budaya karena betapa dulu saya ingin mencicipi sarapan sandwich dengan irisan ikan sarden sambil menikmati perjalanan di danau berudara dingin. Itulah mengapa sebuah karya literasi akhirnya membentuk pribadi kita saat ini.
Isu karakter bangsa tidak dapat mengesampingkan isu karya literasi yang juga dibuat oleh bangsa ini, terutama generasi dewasa saat ini. Apa yang dibaca anak-anak kita kini atau apa yang kita sodori sebagai bahan bacaan mereka sangat mungkin memengaruhi karakter mereka kelak, termasuk apa yang didengarkan, ditulis, dan apa yang dibicarakan mereka.
Karya literasi itu tak melulu kita sempitkan pada karya sastra semata, melainkan juga karya-karya hasil budaya pop masa kini, seperti tulisan di T-Shirt, syair lagu, tagline iklan, motto, dan banyak lagi yang semestinya memang dibuat dan ditulis oleh orang-orang yang memahami literasi. Bahkan, tulisan dalam bentuk update status anak-anak maupun remaja kita dapat memperlihatkan apakah mereka memiliki kecerdasan literasi atau tidak….
Kalau anak-anak itu terbiasa membaca karya literasi bermutu, terbiasa mendengarkan, dan terbiasa membicarakannya (apresiasi); pastilah mereka juga kelak terbiasa menulliskannya dengan baik. Lalu, kita pun bertanya ukuran bermutu itu seperti apa? Bagi saya ukuran bermutu itu sederhana saja yaitu karya itu harus dapat dinikmati dan disenangi anak, karya itu mudah dipahami anak, dan karya itu mengandung amanat positif untuk mengembangkan pola pikir anak minus unsur menggurui yang kental.
Saya beranggapan isu utama bagi bangsa ini dengan segala karut-marut dan keterpurukan yang ada adalah isu literasi di samping isu karkater. Mengapa? Karena bangsa ini pun kekurangan literasi bermutu untuk anak yang betul-betul memberi pengaruh secara karakter dan budaya. Bukan disebabkan kita kekurangan penulis atau penerbit untuk melakukan gerakan atau gebrakan literasi ini, melainkan memang kurangnya dukungan pemerintah untuk menjadikan hal ini sebagai isu utama–seperti kasus terbengkalainya ‘harta karun sastra’ PDS HB Jassin.
Saya ingin menyemai bibit literasi ini dimulai dari anak saya sendiri, baru kemudian anak-anak lain melalui berbagai upaya membawa mereka masuk ke dalam alam literasi. Kita harus sadar bahwa alam Indonesia adalah alam yang sangat literasi–ada laut, gunung, perbukitan, sungai, danau, hutan, desa/kampung, pasar tradisional, makanan tradisional, mainan tradional, suku bangsa, bahasa daerah, gedung-gedung heritage, perkotaan, … sangat-sangat literasi. Artinya, semestinya memberi rangsang terhadap pancaindra dan literasi utama: membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Namun, kita sering malah memberi anak alam literasi terbatas dan imitasi lewat penjelajahan di mal-mal, video game, serta mainan-mainan yang membunuh kreativitas.
Kecerdasan literasi adalah kreativitas itu sendiri dan ini harus menjadi isu utama bangsa ini. Para koruptor itu saya jamin tidak pernah membaca dan menulis literasi–tak memiliki kecerdasan serta kepekaan literasi. Mereka lebih senang menyimpan “terasi”. Para politikus brengsek yang senang berkelit lidah itu mungkin tak membaca dan menulis literasi karena mereka lebih suka bicara ala preman. Alhasil, sebagian besar masalah bangsa ini memang disebabkan orang-orang yang miskin perhatian terhadap literasi, dan mereka menciptakan amanat literasi baru yaitu kemunafikan.
Semoga kita dapat menyelamatkan anak-anak kita kelak dengan karya literasi bermutu yang membuat mereka sadar bahwa alam literasi bernama Indonesia ini memang patut mereka jaga dan mereka bela.
:Catatan pagi Bambang Trim
#komporis-buku-Indonesia

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.