Ide itu Karunia; Buku itu Ikhtiar

Ide adalah sebuah penemuan, bukan pencarian. Saya menyebut kemudian ide adalah sebuah karunia yang dicurahkan Allah setiap hari. Ide adalah butiran hikmah dari apa yang kita lihat, kita dengar, kita hirup, dan kita rasakan setiap hari. Karena itu, ide sangatlah berdaya bagi orang-orang yang mengunakan akal serta pikiran sembari mempraktikkan cara berpikir yang benar. Lalu, apabila ide itu diwujudkan menjadi tulisan atau buku, itulah penyempurnaan ikhtiar yang bermakna.

Dua hal yang muncul dari sebuah ide adalah masalah. Masalah pertama adalah masalah keinginan (want) dan masalah kedua adalah masalah kebutuhan (need). Jika dijabarkan, keinginan dan kebutuhan dapat menjadi sub-submasalah dan terkotak-kotak pada bidang kehidupan. Karena itu, ide penulisan adalah solusi bagi masalah-masalah itu. Kualitas seorang penulis dapat ditakar dari cara pandang ia terhadap masalah, mengenali masalah, serta menstrukturkan masalah.

Ketika melihat adanya masalah kawin paksa, Marah Roesli pun mencipta novel Sitti Nurbaya. Ketika melihat ada masalah pertentangan adat dan agama, Buya Hamka menuliskannya dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yang kini difilmkan ulang oleh sutradara Hanny R Saputra. Diilhami oleh masalah tercerabutnya nilai-nilai Pancasila dari bangsa ini, Yudi Latif menuliskan buku bertajuk Negara Paripurna.

Penulisan adalah kerja kreatif dan dalam klasifkasi industri, industri penerbitan (bahan-bahan tulisan) disebut industri kreatif. Hal ini menjadi ciri bahwa yang dikembangkan dalam praktik penulisan adalah praktik berpikir kreatif. Seorang penulis memang tidak boleh mengabaikan apa yang direspons oleh pancaindranya guna menemukan ide.

Berikut ilustrasi orang-orang yang menemukan ide dari kejadian sehari-hari (bukan soal penulisan buku):

  1. Leo Gerstenzang mendapa ide untuk mencipta dan menjual cotton bath setelah ia melihat suatu hari istrinya membungkus ujung batang kayu tusuk gigi dengan kapas karena hendak membersihkan lubang telinga anaknya.
  2. Charles Strite mendapat idea untuk mencipta alat pembakar roti automatis ketika suatu hari ia melihat roti hangus terbakar di kantin tempat ia bekerja.
  3. Rudolph Scneider mendapat ide untuk menciptakan kartu kredit pertama di dunia yaitu Diners Club ketika suatu hari ia sedang menraktir teman-temannya makan di restoran dan tiba-tiba baru sadar bahwa dompetnya hilang

Ide penulisan sebuah buku tentu akan lebih sederhana lagi ketka kita melihat masalah keinginan dan kebutuhan yang ada pada masyarakat. Masyarakat dapat dipetakan berdasarkan usianya, minatnya, maupun pendidikannya. Untuk itu, sebuah buku dapat dijeniskan pada banyak bidang dan juga topik, seperti berikut ini:

  1. buku anak;
  2. buku remaja;
  3. buku edukasi;
  4. buku panduan (how to);
  5. buku pengembangan diri/motivasi (self improvement/self-help);
  6. buku kesehatan;
  7. buku parenting;
  8. buku teknologi/komputer;
  9. buku hobi;
  10. buku keterampilan;
  11. buku sastra;
  12. buku masakan;
  13. buku perjalanan (travelling);
  14. buku bisnis/entrepreneurship;
  15. buku hukum;
  16. buku agama;
  17. buku pelajaran;
  18. buku referensi.

Dalam dunia penulisan buku kini, ide berkelebat sangat cepat. Begitu banyak orang yang terang-terangan melakukan benchmarking (imitasi superior) dan ada pula yang terang-terangan melakukan imitasi sama persis, bahkan tidak malu untuk berbuat inferior (lebih buruk dari yang ditiru). Sebuah buku yang laris akan diikuti oleh buku-buku bertema sama lainnya, bahkan judulnya pun beda-beda tipis. Inilah yang memperlihatkan ide dalam bentuknya sebagai buku sudah menjadi komoditas menggiurkan untuk diperbanyak. Cara paling mudah memang meniru tanpa ba-bi-bu.

 

Ragam Ide Pengembangan Buku

Ide buku saya batasi pada dua pengembangan, yaitu content dan context. Dari sisi content, ide buku dapat dikembangkan pada pilihan topik dan pola outline. Saya membatasi hanya tiga, yaitu pola outline tahapan dengan standar pendahuluan-isi-penutup, pola outline butiran berupa kumpulan tulisan lepas-lepas, dan pola outline tanya-jawab berupa kumpulan teks pertanyaan berikut jawaban.

Kalau kita berpikir secara sistemik untuk menggelontorkan ide penulisan, mutlak yang dipilih adalah outline tahapan. Pola penulisannya seperti menulis tulisan akademik (skripsi atau tesis). Mula-mula ide dipetakan dari apa dulu yang akan dibahas, lalu masuk pada pembahasan tahap demi tahap. Secara praktik, pola ini lebih sulit bagi orang yang sudah terbiasa menulis tulisan pendek seperti artikel atau esai.

Kalau kita berpikir secara praktis dan ingin berpindah secara cepat dari satu topik ke topik lain, pasti yang dipilih adalah outline butiran. Banyak penulis pemula maupun penulis senior memilih pola yang lebih praktis ini untuk menggelontorkan idenya, terutama mereka yang memang kesulitan menstrukturkan ide secara bertahap. Lebih mudah menyatukan pecahan-pecahan tulisan dalam format artikel maupun esai menjadi sebuah buku.

Turunan dari pola butiran ini sekarang yang lagi tren suka membuat saya tersenyum simpul. Beberapa orang dan lembaga penerbitan kemudian berusaha menjadi Jack Canfield dan Mark Victor Hanson yang mengusung ide Chicken Soup. Kini banyak penawaran penyusunan buku butiran dengan cara menulis keroyokan atau beramai-ramai. Saya sendiri ikut terlibat dalam salah satu proyek penulisan buku keroyokan ini pada buku Chicken Soup for the Writernerpreneur Soul disebabkan dorongan para alumni training penulisan.

Ide yang dihasilkan memang sangat produktif dan menyasar ke mana-mana. Ibu-ibu yang pernah hamil dikumpulkan tulisannya tentang pengalaman mereka memiliki bayi kali pertama. Orang-orang yang mengalami patah hati dikumpulkan kisahnya, lalu dibukukan. Kaum Muslim yang mengalami kesyahduan Ramadhan dikumpulkan kisahnya, lalu dibukukan. Apa yang membuat saya suka tersenyum bahwa para kontributor buku keroyokan ini merasa sudah menulis buku, padahal mereka hanya menjadi salah satu kontributor tulisan di dalam buku berjenis bunga rampai ini.

Pada tahun 2000-an IKAPI DKI beberapa kali mengadakan sayembara penulisan buku bersama ini tentang profesi penerbitan berjudul On Being Book Publisher dan satu lagi tentang pengemasan buku. Saya mengikuti dua-duanya dan lolos dua-duanya dengan honor kala itu Rp500 ribu satu tulisan. Kumpulan tulisan itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh IKAPI DKI.

Pola outline lain adalah pola gampang-gampang susah yaitu outline tanya-jawab. Pola ini dikembangkan dengan mengumpulkan pertanyaan bidang tertentu dan dijawab sesuai dengan kebutuhan. Pola ini terinspirasi dari frequently asked question (FAQ).

Pengembangan content yang lain selain pola outline adalah pada pola penyajian . Ada yang menyajikan naskah secara konservatif atau tradisional. Ada pula yang menyajikan naskah secara kreatif dengan menyisipkan berbagai enrichment atau pengayaan serta menuliskannya dengan gaya ngepop atau menggunakan pendekatan sastra meskipun itu buku nonfiksi. Pola-pola penyajian kreatif sempat ditunjukkan oleh Penerbit Kaifa, imprint Penerbit Mizan pada awal 2000-an sehingga tampak menjadi sebuah terobosan. Lihat saja penampilan buku Quantum Learning dan Quantum Teaching karya Bobby DePorter, sangat atraktif.

Untuk soal context, ini memang ranah penerbit. Sepanjang pengalaman saya, memang sangat berpengaruh ide-ide pengemasan buku itu dari sisi spesifikasi terbitnya. Pertama, sangat berpengaruh ukuran buku apakah itu A5, B5, A4 atau berukuran square layaknya bujursangkar. Kedua, sangat berpengaruh orientasi layout buku apakah portrait atau landscape. Unsur-unsur lain yang berpengaruh juga jenis kertas dan warna isi. Selain itu, ada unsur lain yang berpengaruh dalam kemasan, yaitu font atau tipografi dan jenis ilustrasi/foto. Di sinilah para book developer harus menghimpun segenap ide pengemasan yang punya perbedaan dan unik.

 

Pilih Fiksi atau Nonfiksi

Di sini saya membuat asumsi bahwa fiksi lebih banyak didasarkan pada keinginan (want) dan tingkat kesulitannya memang paling tinggi untuk menakar keinginan calon pembaca atau kecenderungan terhadap cerita fiksi tertentu. Apakah masyarakat Indonesia sekarang lagi gandrung fiksi roman, fiksi sain, fiksi fantastis, fiksi religi, atau fiksi humor? Sulit ada yang dapat menakar. Ketika buku Pocong Juga Pocong langsung meledak di pasar buku, kita tercengang dengan ide sableng macam itu.

Memilih jadi penulis fiksi untuk menghimpun ide-ide cerita itu bagi saya nikmat, tetapi berat. Nikmat karena kalau sudah berterima pada masyarakat, apa pun yang Anda hasilkan akan diburu. Begitu yang terjadi pada para pesohor seperti Dewi Dee, Andrea Hirata, Habibburahman El-Shirazy, ataupun yang lagi memulai debut barunya, A. Fuadi. Mereka sudah berada di puncak nikmat berkarya sehingga karya apa pun yang mereka hasilkan, pasti ditunggu.

Berat karena dari ratusan atau ribuan penulis fiksi di Indonesia ini hanya satu dua yang berhasil naik di puncak kenikmatan berkarya tadi. Sisanya berada di kelas menengah, dan paling banyak di kelas bawah yang karyanya tidak pernah berbunyi kecuali di komunitasnya atau didengung-dengungkan di social media. Dalam kasus ini, ada juga penulis yang sudah sampai di puncak, tapi cuma menghasilkan satu atau dua karya dan terus berhenti. Dahulu kita ketahui bahwa novel Gone with The WInd karya Margaret Mitchell adalah karya yang pertama dan terakhir selama hidupnya.

Nonfiksi berbeda dengan fiksi menawarkan begitu banyak hamparan ide yang berasal dari prediksi kebutuhan (need). Ketika melihat ada kebutuhan soal pola asuh anak, seorang penulis pun menghimpun ide tentang parenting. Nama seperti Ayah Edi sudah menjadi trade mark buku-buku parenting. Ustadz Quraish Shihab sudah menjadi jaminan buku-buku religi Islam, terutama bertema al-Quran. Rhenald Kasali sudah menjadi jaminan buku-buku nonfiksi manajemen dan pengembangan diri berbasis riset.

 

Eksplorasi Nonfiksi

Nonfiksi dengan hamparan idenya memang ranah paling menarik. Seorang Asma Nadia yang sudah beroleh nikmat dari fiksi, dengan cerdik membelokkan stir kreativitasnya ke ranah nonfiksi. Sebagai muslimah, ia membidik topik istri yang tentu saja gagasannya seolah mewakili kaum muslimah di Indonesia ini. Hasilnya karya best seller Catatan Hati Seorang Istri.

Ada tiga model nonfiksi yang saya catat di sini dari beberapa karya buku. Pertama, karya nonfiksi berdasarkan hasil renungan murni. Kedua, karya nonfiksi campuran antara renungan dan riset sehingga memunculkan formula. Ketiga, karya nonfiksi campuran antara pengamatan/pengalaman dan riset.

Banyak penulis nonfiksi pemula terjebak pada karya nonfiksi hasil perenungan murni sehingga menghasilkan karya yang sepertinya cuma mereka yang paham. Sebagian lainnya dari hasil perenungan malah terkesan menggurui para pembacanya, padahal nama mereka belum eksis di publik. Nonfiksi hasil perenungan ini umumnya ada pada jenis buku religi dan buku motivasi/pengembangan diri. Berbeda halnya kalau yang menulis perenungan adalah public figure, keberhasilan bukunya lebih mudah diprediksi daripada mereka yang tidak dikenal sama sekali.

Nonfiksi campuran antara renungan dan riset lebih aman untuk para pemula. Riset itu akan menolong kredibilitas mereka, baik riset berdasarkan pustaka maupun berdasarkan penelitian langsung. Memang seorang penulis yang menulis buku religi tentang haji dan umroh akan diragukan kalau ia sendiri belum pernah pergi haji/umroh–berusaha melakukan kajian pustaka saja. Karena itu, pada hal-hal tertentu, penulis buku nonfiksi campuran ini memang harus mempraktikkannya dulu secara nyata atau memilih nonfiksi campuran pengamatan/pengalaman dan riset.

Nonfiksi campuran antara renungan dan riset banyak ditunjukkan mereka yang sudah menjadi public figure. Aa Gym pada masa jayanya hampir setiap bulan mengeluarkan jargon atau formula yang dapat dijadikan ide buku. Formula 5S dapat dijadikan buku, begitupun jargonnya “Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya” juga sudah berbuah menjadi buku. Ada juga Ary Ginanjar yang meluncurkan formula ESQ dan langsung menjadi buku yang meledak diikuti dengan aktivitas trainingnya. Ustadz Yusuf Mansur meluncurkan formula Keajaiban Sedekah yang juga meledak di pasaran. Erbe Sentanu menghasilkan formula Quantum Ikhlas. Di ranah ini memang kemudian banyak epigon juga yang ikut-ikutan meluncurkan berbagai formula. Namun, tetaplah usaha itu harus dihargai ketika sudah menjadi karya.

Nah, yang terakhir adalah nonfiksi campuran antara pengamatan/pengalaman dan riset yang kerap ditunjukkan penulis-penulis dari Barat, seperti Stephen R. Covey dengan 7 Habits-nya ataupun Malcolm Gladwell dengan Blink dan Tipping Point-nya. Di Indonesia, tokoh yang jago menciptakan nonfiksi seperti ini adalah Rhenald Kasali dengan karyanya Change, Change Your DNA, Myelin, dan Cracking Zone. Ada juga Hermawan Kartajaya dengan berbagai karya bidang marketingnya yang didukung riset tim MarkPlus.

Kesimpulannya dalam soal nonfiksi, kelemahan para penulis kita adalah pada riset yang jarang dilakukan. Kebanyakan upaya instan yang dilakukan adalah dengan meng-copy paste tulisan orang lain dari buku ataupun media internet. Karena itu, kebanyakan buku nonfiksi memang kehilangan ruhnya apabila sang penulis memang bukan ahli di bidangnya, tidak memiliki minat kecuali kejar setoran, ataupun karena tidak punya pengalaman sama sekali tentang apa yang ditulisnya.

 

Gairah Perajin Buku

Karena ini soal ide dan percepatan, berkembanglah juga di Indonesia para perajin buku (book packager). Mereka memanfaatkan kemampuan stimulus ide dan hamparannya untuk ditawarkan kepada penerbit yang sedang bingung mengejar target penerbitan sekaligus penjualan buku-buku. Saya sempat mencermati sebuah lembaga perajin buku-buku teknologi komputer Jubilee Enterprise yang menyebut dirinya A Creative Media Content Provider. Mereka memilih fokus pada eksplorasi tema-tema teknologi informasi melalui pengamatan dan eksperimen. Mereka menjadi pemasok naskah paling produktif untuk Penerbit Elexmedia Komputindo dengan 330 naskah sejak 2006-2010.

Di bidang buku anak ada Line Production yang dimotori oleh Ali Muakhir yang memasok naskah buku-buku anak, termasuk dengan kemasan layout dan covernya ke berbagai penerbit. Selain itu, saya sendiri memotori Dixigraf Publishing Service yang sudah mengerjakan lebih dari 300 naskah berbagai bidang sejak 2007 untuk berbagai penerbit di Indonesia.

Kunci bisnis perajin buku bukan pada buku itu sendiri sebagai komoditas, melainkan bisnis content yang harus dijaga. Dua bulan lalu, Dixigraf mengerjakan lebih dari 40 judul buku dalam rentang tiga bulan untuk proyek pemerintah dan pasar regular. Di tengah persaingan ratusan penerbit dan 5.000 judul naskah lebih, Dixigraf berhasil meloloskan 4 naskah. Proses pemetaan 40 judul buku lebih itu memerlukan stimulus ide dan kami mengambil fokus pada ide kekayaan lokal (local content) Indonesia. Hasilnya adalah buku-buku tentang keunikan kota, 101 fakta keunikan provinsi, dan kearifan lokal tiap daerah. Selain itu, ada juga buku pengembangan karakter untuk remaja yang kami rancang.

Dengan menjalankan bisnis ini, saya betul-betul merasakan ide sebagai karunia. Meskipun saya mengatakan menulis itu bukan bakat, tetapi proses stimulus ide itu seperti pemberian karunia dari Allah layaknya bakat. Saya tidak mampu menurunkan cara menemukan ide-idenya kecuali bercerita soal proses kreatif dan memberi model penggarapan berupa metode matriks–meski saya sudah berpengalaman memberikan training menulis sejak tahun 2000. Pada hari ini saya baru menyiapkan paket penggarapan buku beserta idenya sebanyak 3 seri di bidang buku anak Islam: 1) Seri Allah Mahahebat; 2) Seri 101 yang Unik dan Hebat dari Islam; 3) Seri Yang Pertama Mengguncang Sejarah. Total buku ada 12 judul. Saya masih menyimpan beberapa seri lagi untuk buku edukasi anak-remaja, buku Islam, dan buku populer dewasa sebagai lumbung ide.

Dixigraf masih punya PR menyelesaikan buku-buku dari Penerbit PPM di bidang bisnis dan entrepreneurship. Saya menggelontorkan ide Rupiah Meriah dari Bisnis … tahun lalu dan menjadi buku rujukan entrepreneurship yang praktis sekaligus komprehensif dari Penerbit PPM. Tidak hanya tema/judul content yang saya kembangkan, tetapi juga pola penyajiannya dalam outline. Pekerjaan ini sungguh menarik dan menantang karena membuat saya terus berpikir….

 

Kekhawatiran Melanjutkan Bisnis Buku (Cetak)

Masalah bisnis buku itu yang terjadi kemudian memang masalah ide. Ide yang mandek sehingga terjadi kemonotonan dalam penggarapan buku. Ide yang saling menganibal karena banyak buku satu topik terbit belasan judul. Ide yang tidak tertampung karena banyaknya produksi buku yang terbit serta terbatasnya display toko buku. Badai retur dan badai buku obral menjadi ancaman serius bagi para penerbit. Lalu, masihkah ada gairah menerbitkan buku dengan kondisi mengkhawatirkan ini?

Ibarat pepatah mati satu tumbuh seribu, begitu juga dunia penerbitan. Jika ada satu dua penerbit yang mundur, yang baru bermunculan lagi karena memang yang digunakan satu pikiran: orang masih butuh membaca buku dan masih ada peluang mencuri perhatian calon pembaca lewat buku-buku yang inspritatif. Persoalannya kembali pada ide dan ide di dunia buku meluas bukan hanya pada ide content dan context, melainkan juga ide menjualnya. Karena itu, saya menyebutkan setelah itu ada faktor creativity dan community yang berpengaruh pada eksistensi sebuah penerbit buku.

Penerbit yang berjaya adalah penerbit yang kreatif dalam soal kreativitas pengemasan buku dan kreativitas menjualnya. Dampak teknologi informasi sudah begitu terasa, termasuk social media dan bagi penerbit hal ini adalah bagaimana cara memanfaatkannya untuk membantu meningkatkan penjualan–tidak dapat lagi menggunakan cara-cara konvesional.

Bisnis ke depan bagi pekerja kreatif penulisan seperti saya memang bisnis content, bukan bisnis buku. Dengan kemampuan menemukan ide-ide baru maka kita dapat berkiprah dalam bisnis embandded content yaitu menanam content-content untuk berbagai device, seperti hp maupun pad dan menjualnya lewat Nokia Ovi Store, Apple Store, ataupun Android Market. Apa yang juga tak kalah menarik adalah enhanced book yaitu pengembangan buku dengan menambahkan content audio dan video pada buku. Pengembang content seperti ini contohnya perusahaan al-Qolam yang menerbitkan buku dengan pena audio serta sekarang mengeluarkan pad al-Qolam yang berisi content-content Islami. Saya sempat bertemu dengan pemiliknya Pak Subioto dan berbicara soal pengembangan content Islami untuk anak. Sayang saya belum dapat memenuhi kerja sama dengan beliau karena begitu banyaknya garapan yang harus diselesaikan. Tentu pengembangan enhanced book seperti ini memerlukan energi lebih dibandingkan pengembangan buku biasa. Paling tidak, buku audio harus memunculkan content bilingual atau trilingual.

 

Generator Ide

Akhirnya sesadar-sadarnya saya katakan bahwa generator ide itu adalah kehidupan berikut masalahnya yang kita hadapi sehari-hari. Bergantung pada kita apakah hendak mengotak-ngotakkannya pada bidang tertentu atau bidang masing-masing. Fokus dan spesialisasi memang penting untuk meningkatkan kualitas ide, tetapi generalisasi ide juga dimungkinkan apabila kita sudah menguasai skill menulis dengan baik. Silaturahim itu rezeki dan setiap bertemu orang, saya selalu berusaha mengalibrasi untuk memunculkan ide-ide tertentu. Saat bertemu seorang Harry Van Yogya yang menjadi penarik becak wisata di Jogja, saya mendorongnya menuliskan buku dengan tajuk The Becak Way. Saya bertemu dengan Gunawan Ardiyanto dan melihat kiprahnya dalam training dan penulisan buku bisnis, saya memintanya menulis buku Biang Bangkrut UKM dan Biang Untung UKM. Saya mendorong teman dan mantan staf saya yang juga penulis, Salman Iskandar, untuk menulis buku Muslim Ajaib dari Kota-kota Ajaib dan Peristiwa Ajaib di Tempat-tempat Ajaib yang kini sedang diselesaikannya. Jadi, saya juga ‘bersedekah’ ide-ide dan meminta orang lain untuk menuliskannya sebagai bagian dari menghimpun rezeki hikmah.

Kalau dipertemukan dengan para ustadz ataupun trainer/motivator dan dapat melihat sepintas materi dakwah mereka, saya ‘suka gatal’ untuk mengalibrasi dan menggelontorkan ide-ide dari dakwah mereka. Pengalaman ini saya dapatkan sejak bergabung di MQ bersama Aa Gym, kemudian juga sempat membantu Ustadz Yusuf Mansur mengeluarkan buku-buku fast book dan juga Ustadz Cinta (Restu Sugiharto). Hanya Uje dan Ustadz Ahmad Al Habsy yang meskipun sempat berkomunikasi, tetapi belum berlanjut menjadi kerja penulisan buku.

Generator ide saya adalah rasa cinta terhadap dunia penulisan-penerbitan, passion yang selalu menggebu ketika membicangkan buku, dan skill yang memang dilatihkan sejak 1991 sebagai mahasiswa Editing. Love, passion, and skill membawa kita pada suatu kemampuan interconnecting (mengoneksi pikiran pada banyak hal/masalah) sehingga mewujud sebagai peta pikiran. Misalnya, ketika melihat seorang anak di sekolah diasuh oleh baby sitter-nya maka kita dapat mengoneksi ide dari pikiran: 1) Bahaya menitipkan pengasuhan anak sepenuhnya pada baby sitter; 2) Bagaimana menjadi baby sitter yang profesional; 3) Bijak memilih dan mempekerjakan baby sitter; 4) Anakmu Bukan Milikmu: Balada “Anak” Baby Sitter. Pendeknya, banyak ide yang mengoneksi pikiran-pikiran kita ketika melihat sesuatu.

***

Tulisan tentang ide ini sudah kepanjangan meskipun saya belum kehabisan ide untuk menuliskannya. Namun, ada baiknya saya cukupkan sampai di sini karena jika terlalu banyak, tak elok untuk membacanya lebih jauh dan lebih jauh lagi karena nanti Anda semua menjadi tahu rahasia penggelontoran ide-ide saya yang agak ajaib bin aneh ini. 🙂 Maka ide itu karunia dan buku itu ikhtiar. Orang yang punya ide, tetapi belum menuliskannya menjadi buku boleh jadi belum menyempurnakan ikhtiar meski sudah dapat rezeki. Terima kasih.

:: Bambang Trim

#komporis-buku-indonesia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.