Dunia buku memang masih menjadi misteri bagi kebanyakan orang di Indonesia. Apalagi, kalau disebutkan profesi seperti literary agent maupun acquisition editor. Benarkah ada para ‘peramal’ dan ‘penjaring bakat’ di dunia perbukuan ini?
Hari kedua, Right Fair di arena Indonesia Book Fair, 2011, saya sempat berjumpa dengan kawan lama, Pak Santo dari Maxima Creative Agency. Siapa Pak Santo? Bagi penerbit buku di Indonesia yang banyak berkecimpung dalam dunia penerjemahan, sosok Pak Santo tidak asing lagi sebagai literary agent. Dalam buku lawas tentang penerbitan buku karya Hassan Pambudi, Dasar-Dasar Penerbitan Buku, literary agent diterjemahkan sebagai agen sastra. Namun, pengertian sebenarnya adalah agen dalam transaksi copyright untuk alihbahasa dari bahasa sumber ke bahasa tujuan. Setiap transaksi untuk menghasilkan imbalan dalam bentuk dolar dan sang agen akan mendapatkan persentase dari transaksi antar-penerbit dunia tersebut.
Pak Santo dengan profesinya sebagai literary agent adalah figur langka dalam konteks dunia penerbitan karena begitu minimnya orang yang masuk ke dalam bidang ini. Pak Santo juga tidak sengaja masuk dalam bidang ini hingga kemudian dipercaya oleh banyak penerbit besar dari Eropa maupun Amerika. Dua tahun sekali kini ia rutin mengunjungi Frankfurt Book Fair dan bertemu para rekanannya, penerbit-penerbit luar negeri.
Dalam right fair seperti ini atau kemudian IKAPI juga membuka event Bursa Naskah di Indonesia Book Fair 2011 yang berperan adalah literary agent dan editor akuisisi. Dua profesi ini adalah profesi yang tidak sepenuhnya dipahami oleh kaum awam di Indonesia, bahkan oleh kalangan penerbit sendiri. Kadang ada satu lagi posisi yang disebut right editor yaitu editor pengurus kontrak terjemahan copyright (dalam bahasa Malaysia diterjemahkan menjadi editor kanan).
Rekan saya dari sebuah penerbit besar di Malaysia, Peer Mohammad, rutin mengunjungi pameran bersama seorang stafnya. Mereka akan tampak berdua menelusuri booth beberapa penerbit besar. Saling berkomunikasi dengan bahasa Inggris, lalu mulai dengan intuisinya memilih judul-judul yang akan diakuisisi untuk diterbitkan di Malaysia. Perjumpaan saya dengan beliau selalu dilakukan di sela-sela hiruk pikuk pameran dan beliau meminta sebarang saran tentang content buku-buku yang mereka pilih. Intuisi dan wawasan perbukuan serta pasar berperan besar untuk melakukan kerja seperti ini. (Anda berada di lautan buku!)
Soal transaksi copyright ini saya juga belajar banyak dari mentor saya, Erwin Michels, di Tiga Serangkai. Pada Frankfurt Book Fair 2010, kami menghabiskan waktu sehari penuh untuk membuat janji dan bernegosiasi. Judul, katalog, dan dummy buku menjadi alat pertama untuk ‘mencium’ sebuah buku memiliki daya atau tidak. Segala buku, memerlukan ekstra energi untuk mempelajarinya karena salah-salah dapat jeblok di pasar Indonesia.
Nah, saya mau cerita juga soal sosok editor akuisisi (acquisition editor) yang juga belum banyak dipahami di Indonesia. Editor yang tugasnya mencari prospek penulis dan naskah sehingga ia harus mengembara ke mana pun dan juga berteman baik dengan sumber-sumber informasi maupun naskah, terutama penulis. Editor seperti ini memang tidak ada hubungannya soal memperbaiki bahasa. Mereka adalah para ‘penjaring bakat’ dan ‘peramal naskah’. Lebih banyak mengaktifkan lima panca-indra dan akrab dengan soal kalibrasi penulis.
Saya mau cerita sesuatu….
Barry Cunningham, Editor Akuisisi Sejati
Siapa Barry Cunningham? Barry Cunningham adalah penggiat buku yang merintis karier awal sebagai seorang marketer, kemudian menjabat sebagai managing director di Chicken House Publishing (penerbit asal novel Tunnels yang sempat diterbitkan Mizan), imprint dari penerbit besar Scholastic (penerbit Harry Potter). Spesialisasinya adalah mencari bakat baru di bidang buku anak, seperti JK Rowling dan Cornelia Funke (Inkheart, Dragonrider).
Barry sebelumnya sempat menemani Road Dahl berkeliling Inggris untuk mencari tahu buku apa yang paling diinginkan anak-anak di sana. Dari sinilah ia mendapat input banyak tentang dunia penulisan dan penerbitan buku anak. Ia mengasah kemampuannya di bidang promosi, tetapi ia justru memperoleh banyak pengetahuan tentang apa yang paling diinginkan anak-anak dari sebuah buku.
Penerbit Bloomsbury pernah memintanya membuat semacam riset dan laporan tentang judul-judul buku anak, lalu ia pun berpikir, “I can do this. I’m not a proper editor, but I know a lot about children’s books.” So I tried for it. I think it was a good decision!
Pengalaman mengamati dunia anak-anak, berinteraksi dengan anak, serta meriset kebutuhan bacaan anak, mengantarkan Barry Cunningham ke dalam dunia editing buku anak. Ia menjadi editor akuisisi yang bekerja dengan hati. Kredibilitas Barry kemudian dikenal sehingga JK Rowling lewat agennya Christopher Little, memercayakan Harry Potter padanya. Tidak banyak editor atau penerbit yang bisa melihat cahaya sukses Harry Potter seperti Barry melihat, begitulah kira-kira pikiran Christopher Little saat itu. Barry hanya melihat beberapa lembar naskah Harry Potter dan memutuskan untuk menerbitkannya. Dan ternyata, Harry Potter benar-benar sukses mendunia.
Profesi seperti Barry yang menjadi editor akuisisi, kemudian meningkat menjadi literary agent memang seperti asing di Indonesia. Benarkah ada editor yang memang ditugaskan khusus untuk mencari penulis dan ‘meramalkan’ sebuah naskah? Editor-editor seperti ini memang bekerja dengan intuisi dan juga ilmu kalibrasi (lihat soal kalibrasi di dalam blog ini). Para penerbit Indonesia tentulah mendambakan editor yang memiliki kecakapan seperti ini di tengah persaingan memburu penulis dan menggagas naskah yang brilian.
Barry punya kekuatan menghimpun informasi sebanyak mungkin, mengamati apa yang dimaui pembaca sasaran, dan juga mampu ‘membaca’ para penulis untuk dilejitkan. Kalau saja ada editor Indonesia yang dapat berperan seperti Barry, tentu ia akan menjadi orang paling dicari.
***
Tidak ingin berpanjang-panjang, saya hanya mengetengahkan satu ‘misteri’ dalam dunia perbukuan Indonesia. Misteri bagaimana naskah-naskah hebat dapat terakuisisi. Terima kasih.
:: catatan kreativitas Bambang Trim
#komporis-buku-Indonesia

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Saya bukan editor apalagi pemburu naskah. Tapi saya bisa tahu sebuah novel enak dibaca atau tidak dari baunya (saat masih baru, tentunya 😉 ). Entah mengapa, terkaan saya sering tidak meleset. Kebetulan aja sih hehehe.
Hehehe kalau saya masih dalam bentuk naskah juga sudah cukup ‘dicium dan diendus’, akan ketahuan ini naskah potensial apa tidak; termasuk bau penulisnya… xixixi
Sangat berisi Pak…!! Penuh dengan ilmu…. Tapi, bagaimana cara mengendus naskah dan penulisnya..?? 🙂
Kekekekeke, komentar Sinyo cuma geli-geli baca dua komentar di atas 6_^
artikel sangat menarik. bertambah lagi ilmu saya.
berarti antara semua pihak, penerbit, agen (yang masih sangat jarang ini) dan penulis, sebenarnya memang saling mengendus-endus. 🙂
Hehehe betul betul