Tentang Editing Buku Anak

Pada saat workshop first novel, dari salah seorang peserta mengemukakan keinginannya untuk mempelajari editing. Tim Publishing Tiga Serangkai diminta juga untuk melatihkan editing kepada para penulis buku anak. Ini memang wilayah lain dari keterampilan menulis. Editing itu sebuah ilmu sekaligus sebuah seni yang memerlukan ketelitian, kemampuan melenturkan bahasa,  dan kearifan menggunakan rasa.

Sebelum sampai pada soal editing buku anak, saya mau bercerita pengalaman karya saya diedit karena saran dari seorang ahli di Pusbuk (Pusat Perbukuan yang sekarang berganti nama menjadi Puskurbuk). Saya menulis satu paket buku bahasa Indonesia untuk sekolah dasar yang diterbitkan Penerbit Grafindo Media Pratama. Pada sebuah buku untuk kelas V di halaman 65, saya menyajikan sebuah pembelajaran tentang menulis buku harian dengan judul “Peristiwa Berdarah”. Berikut ini tulisannya.

Peristiwa Berdarah

Teman-teman, aku benar-benar dongkol mendengar cerita Kristi. Ia bercerita tentang peristiwa berdarah di rumah kosong tempo hari. Dengan berapi-api, Kristi bercerita bahwa ia menjadi saksi dalam peristiwa berdarah. Peristiwa tersebut terjadi di rumah kosong yang terletak di ujung jalan.

Aku benar-benar ingin tahu peristiwa apa yang terjadi. Kristi menceritakan bahwa ia lewat di depan rumah kosong itu. Kemudian, ia mendengar suara aneh dari dalam rumah. Dengan mengendap-endap, Kristi memasuki halaman rumah kosong itu. Suara aneh semakin terdengar. Kristi membuka pintu yang tidak terkunci dan masuk ke dalam. Kristi terkejut sekali begitu tahu apa yang dilihatnya. Ia melihat seekor induk kucing baru selesai melahirkan anak-anaknya. Di sekitar induk kucing itu, masih terdapat darah sehabis melahirkan. Kristi tanpa bersalah menyebut itu peristiwa berdarah yang pernah dilihatnya.

Itulah kedongkolanku teman-teman. Sekarang, aku mengajukan pertanyaan kepadamu: 1) Bukankah Kristi salah mengartikan ungkapan peristiwa berdarah?; 2) Menurutku, peristiwa berdarah itu adalah peristiwa kecelakaan ataupun kemalangan yang menimbulkan korban luka, bagaimana menurutmu?

Jadi, ini teks wacana tentang buku harian dan memberikan pendapat terhadap persoalan yang terjadi. Teks itu berubah nilai rasanya ketika ungkapan ‘peristiwa berdarah’ tidak diizinkan tampil karena pada anak dilarang untuk mengenalkan sesuatu yang sifatnya mengerikan. Semua ungkapan atau frasa ‘peristiwa berdarah’ pada teks tadi diganti menjadi ‘peristiwa aneh’. Sebagai penulis, saya hendak protes karena maksud saya menyajikan cerita tersebut menjadi lain hanya karena satu kata yang diubah.

Inilah salah satu contoh cara pandang editorial yang kadang melibatkan asumsi, terutama pada karya untuk anak-anak. Asumsi utama adalah cenderung enggan menyajikan realitas kepada dunia anak dengan peristiwa-peristiwa kegetiran, seperti kemalangan, kehilangan orang yang dicintai, perceraian orangtua, diskriminasi, perang, ataupun ketidakadilan. Di satu sisi, para penulis di luar negeri sudah menyajikan tema-tema getir ini untuk menyiapkan generasi mudanya punya ketahanan mental terhadap realitas yang terjadi.

Anak SD kelas V yang notabene berusia 11 tahun sudah tidak mungkin dihindarkan dari pertanyaan apa itu ‘peristiwa berdarah’ atau dihindarkan dari frasa itu yang setiap hari dapat mereka dengar dari media massa ataupun mereka baca langsung di koran-koran. Apa salahnya mulai mengenalkan ungkapan itu dan mereka sadar akan makna ungkapan itu? Ya, ini persoalan perbedaan sudut pandang editorial.

Saya menyajikan kasus ini untuk menunjukkan bahwa editing dalam buku anak bukan sekadar persoalan memperbaiki tata bahasa, melainkan juga soal nilai rasa pada sebuah istilah ataupun cerita yang kita sajikan. Lebih jauh lagi pada karya fiksi yang banyak disajikan untuk anak, unsur struktur karya sastra juga akan menjadi sorotan, seperti tema/topik, penokohan dan perwatakan, dialog, setting/latar, alur/plot, serta amanat cerita.

Sangat mungkin ada dua editor berbeda pandangan. Seorang editor mengatakan bahwa ia membatasi penulis memberikan banyak nasihat dan unsur pendidikan di dalam cerita. Biarkan anak mengambil kesimpulan sendiri dari akhir cerita tanpa perlu disampaikan muatan nilai-nilai secara eksplisit. Editor seperti ini cenderung berpikiran moderat dan mulai berpendapat bahwa anak zaman sekarang berbeda dengan anak zaman kini.

Di sisi lain, seorang editor begitu taat asasnya untuk tetap mempertahankan adanya nasihat dalam sebuah buku. Bahkan, lebih kental lagi mengharapkan penulis menyajikan boks yang berisi nilai-nilai dari sebuah cerita. Anak harus digiring kepada nilai dan karakter dan diberi tahu dengan menampilkan tokoh beroposisi biner (hitam-putih) yang akhirnya kebaikan selalu menang melawan kejahatan.

Apa yang justru terlupa pada saat mengedit fiksi adalah penggunaan bahasa itu sendiri yang sesuai dengan alam pikiran anak-anak. Penulis mendapatkan tantangan untuk mengolah kata (diksi) yang sesuai bagi anak, mengolah kalimat dengan variasi struktur kalimat tunggal dan kalimat majemuk, mengolah paragraf yang dinamis, serta yang banyak membuat para penulis kedodoran adalah mengolah dialog yang sesuai dengan perwatakan tokoh, termasuk juga realistis.

Banyak terjadi dialog yang muncul sangat tidak realistis. Saya menyajikannya dalam contoh berikut.

“Ikan dan udang ini masih benar-benar segar,” ujar Bandi.

“Benar. Memang demikian.”

“Lihat saja ciri-cirinya. Rupa dan warna ikannya tampak cerah, mengkilap, dan khas, sesuai dengan jenis ikan bandeng ini.”

“Akan tetapi, ada lendir tipis, bening, dan encer, Bu,” sahut Komar.

“Memang benar, itu juga salah satu ciri-ciri ikan segar. Selain itu, baunya normal atau khas bau rumput laut.”

“Sisiknya juga masih kuat, Bu,” kata Bandi sambil mencuci tubuh ikan bandeng tersebut.

“Memang benar, ciri dan tanda ikan segar adalah sisik melekat kuat, mengkilap, dan warnanya sesuai dengan ciri dan jenis ikan tersebut.”

“Lihat Bu. Matanya cemerlang,” kata Komar.

“Ya, selain cemerlang, juga cembung, bening, dan pupil mata hitam. Lagi pula tidak berdarah. Sekarang, pijitlah dagingnya dengan jari tangan,” ujar ibu seraya menyarankan Komar.

“Sudah, Bu.”

“Nah, dagingnya elastis atau kenyal. Apabila ditekan dengan jari tangan, bekas tekanan tidak tampak.”

“Lihat Bu. Insangnya juga berwarna merah cerah.”

“Ya, di samping itu tertutup lendir tipis, bening, dan berbau khas rumput laut.”

“Lihat pula bagian pertunya!” saran ibu.

“Ya, bagian perut itu masih kuat, tidak pecah, dan lubang dubur tertutup.” (hlm. 15 novel Mereka yang Berjuang)

Dapatkah Anda rasakan bagaimana kaku dan tidak realistisnya dialog novel untuk anak-anak ini. Bagaimana bisa seorang ibu yang digambarkan ibu rumah tangga di perkampungan nelayan begitu fasih menjelaskan tentang ciri-ciri ikan segar dengan bahasa yang menjurus teknis. Selain itu, dialog sengaja digiring untuk memberikan penjelasan tentang ciri-ciri ikan segar kepada pembaca. Dialog juga menggunakan bahasa Indonesia baku yang jadi terkesan aneh.

Inilah salah satu tantangan editor fiksi buku anak. Mereka harus menyelam ke dalam dialog secara logika anak-anak dan memperhatikan siapa penuturnya untuk mewarnai perwatakan.

Selain dialog, yang kerap membuat para penulis buku anak ‘kedodoran’ adalah soal alur dengan bumbu konflik. Sering konflik justru tidak tampil dan hanya berjalan mendatar, lalu cerita pun selesai. Mungkin standar novel seperti ini bisa saja lulus penilaian buku pengayaan di Puskurbuk disebabkan yang dinilai adalah unsur amanat dalam cerita dengan berbagai nasihat dan muatan pedagogis di dalamnya. Sama sekali tidak ada menarik-menariknya untuk dibaca anak. Nah, editor yang jeli tentu dapat merasakan alur ini dan menelisik konflik yang disajikan, termasuk soal ‘kemasukakalan’ konflik tanpa adanya unsur kebetulan.

Saya menggunakan istilah ‘meminjam mulut orang dewasa’ ketika sebuah konflik diselesaikan dengan kehadiran orang dewasa yang serba kebetulan. Misalnya, ada seorang anak mengeluh sakit gigi. Anak ini digambarkan suka makan permen dan jarang menggosok gigi. Konflik dimulai dari keenggannya ke dokter gigi. Lalu, pada saat ada sebuah acara keluarga, sang anak bertemu dengan tantenya yang cantik dan kebetulan dokter gigi. Maka konflik diselesaikan dengan penjelasan sang tante soal kesehatan gigi dan cara merawat gigi. Terjadilah dialog yang tidak wajar tadi… berupa penjelasan kesehatan gigi secara teknis. Konflik pun diselesaikan dengan maunya si anak ke dokter gigi dan akhirnya mengubah kebiasaannya untuk menjaga kebersihan gigi. Bagi seorang penilai buku anak yang kurang mengerti sastra maka buku ini dianggap sudah bagus karena berisi penjelasan merawat kesehatan gigi dengan unsur cerita.

Ada lagi cerita religi mengenalkan anak tentang ke-Mahakuasa-an Allah. Dibuatlah alur cerita anak tersebut diajak camping oleh ayahnya. Lalu, saat malam tiba tampaklah bulan dan bintang gemintang. Sang anak merasa takjub dan si ayah mulai menjelaskan benda-benda langit tersebut, bahkan lengkap dengan jarak bulan ke bumi ataupun ke matahari, disisipi juga kisah pendaratan manusia ke bulan lengkap dengan tanggal dan nama-nama astronotnya. Lalu, si anak pun semakin takjub dan bercita-cita menjadi astronot. Cerita ditutup dengan ayat-ayat yang menggambarkan ke-Mahakuasaan Allah. Ada cerita, tetapi tidak ada konflik sama sekali selain rasa ingin tahu anak yang dijawab dengan ‘mulut orang dewasa’. Bahkan, bisa lebih naif ketika disebutkan si ayah adalah seorang sarjana astronomi lulusan perguruan tinggi ternama. Logika yang dipaksakan dengan kebetulan.

Kesimpulannya memang tidak mudah untuk menghasilkan karya buku anak yang bermutu dari sisi penulisan maupun penyuntingannya. Tentu dibutuhkan perhatian dan kerja optimal dari sang editor buku anak. Karena itu, profesi editor buku anak pun bukan profesi sembarangan karena editor buku anak bagi saya kriterianya juga harus mampu menulis karya untuk anak, paling tidak pernah dimuat di media anak. Editor buku anak secara emosional juga tidak boleh  membenci anak-anak, akrab dengan kehidupan anak, dan selalu mengikuti perkembangan (pembaca) anak-anak itu.

Terlalu ideal soal pemikiran buku anak ini? Tidak juga karena semestinya memang begitu kalau kita mau menjadikan buku anak sebagai media literasi anak yang mampu membawa perubahan, baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, maupun kecerdasan spiritual. Jangan heboh bahwa saya menganggap menulis buku anak itu sulit, tidak segampang menulis karya untuk orang dewasa. Kenyataannya memang demikian untuk karya yang benar-benar bermutu dan punya pengaruh terhadap anak-anak,  sekaligus orangtuanya.

Namun, semua tantangan itu sebenarnya menarik untuk kita hadapi dan renungkan bagaimana strategi menguasai penulisan buku cerita anak yang bermutu. Kita harus tergerak mempelajari karya-karya bermutu dari penulis lokal maupun penulis asing. Kita harus tergerak melakukan pelenturan berkisah, baik dalam dialog, menggambarkan setting/latar, serta memainkan alur. Berlatih dan berlatih sehingga editing buku anak yang dilakukan oleh editor killer sekalipun menjadi lebih tenang dan damai karena sang editor dapat menyunggingkan senyum pada naskah yang diterimanya….

Selamat berkarya! Insya Allah kita bisa menggelar workshop editing buku anak pada 2012.

:: catatan kreativitas Bambang Trim

#komporis-buku-indonesia

11 thoughts on “Tentang Editing Buku Anak”

  1. Saya pernah mendapat oleh-oleh buku (novel anak) dari Pusbuk. Kalau Tidak salah judulnya Hutan Larangan. Konflik di situ betul-betul mengerikan karena menggambarkan peristiwa berdarah yang mengerikan (karena menghilangkan nyawa seseorang). Saya sampai tidak tega, jijik juga membacanya. Saya pikir kok bisa menang ya dengan penyajian kekerasan seperti itu. Wah postingannya TOP banget, Pak Bambang. 🙂

    1. Oh ya, Mbak di satu sisi mereka (para penilai) itu menghindarkan hal-hal yang dianggap berbau kurang baik untuk anak, tetapi di sisi lain meloloskan karya-karya yang mengandung unsur sadistis. Kegetiran tidak identik dengan sadistis, seperti ketika menceritakan suasana perang, tidak perlu menggambarkan sesuatu yang menyeramkan ibarat menonton film Final Destination… 🙂 Thanks ya, komentarnya.

  2. Belum lama saya mendapatkan 3 paket buku anak dari seorang penulis yang diterbitkan oleh elexmedia, di sana diceritakan tentang anak2 yang tidak mau makan, dan suka berbohong akan dibawa oleh monster yang menyeramkan dan dibawa ke hutan. Cukup sampai di situ saya sudah terheran2, rupanya editor buku2 anak juga harus belajar psikologi anak, Pak BT 🙂

  3. Salam, saya Wahyu yang pesan tiga buku mas Bambang beberapa hari lalu.

    Pencarian di Google tentang editing sering mengantarkan saya ke situs ini mungkin karena situs ini paling lengkap ya 😀

    Sekali lagi saya berterima kasih atas tulisan-tulisan mas Bambang.

Leave a Reply to Wahyu Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.