Manistebu.com | Di tengah duka kehilangan ayahanda pada Rabu/25 Januari 2012, esok harinya saya harus mengisi workshop penulisan dan pengembangan buku panduan/modul bersubstansi integritas untuk para staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mas Sandri Justiana, mantan mitra saya dalam dunia penerbitan buku yang kini berkhidmat di KPK telah beberapa minggu menghubungi saya. Saya tidak dapat membatalkan hadir dalam workshop karena tidak ada yang dapat menggantikan–selama ini dalam training relatif saya memang one man show disebabkan belum memiliki kader trainer yang mampu menggantikan.
Inilah workshop kali kedua saya menerapkan metode baru TRIM (topik-riset-inovasi-matriks). Meski hanya sehari (waktu yang kurang untuk sebuah workshop kepenulisan), saya dapat lepas berinteraksi dengan para ‘pejuang’ integritas di KPK ini dan mengompori mereka untuk segera menulis buku. Sore hari saya baru dapat terbang ke Medan dan tidak sempat melepas pemakaman jenazah ayahanda–ada rasa sedih yang menggantung.
Hanya dua hari di Medan, Sabtu saya kembali terbang ke Jakarta. Namun, saya pun luput memberikan materi terakhir untuk training The Story Explorer dan urung berjumpa dengan para sahabat cilik calon penulis hebat. Ini sebuah kesedihan lain manakala saya tidak berkesempataan melihat ‘passion‘ menulis dari banyak orang dan membuat mereka berdecak ‘wow’… ternyata menulis itu hebat!
Alhamdulillah, esoknya saya masih berkesempatan menyapa para sahabat yang umumnya dari Komunitas Penulis Bacaan Anak (Pabers) dalam workshop terakhir First Novel yang diselenggarakan Tiga Serangkai. Sebanyak 35 orang saya ajak untuk melihat samudra buku anak melalui kesadaran melek literasi. Satu hari penuh saya berbagi bersama Mbak Ary Nilandari dan sekali lagi saya menemukan menulis itu memang mengejutkan!
Menulis Bermula dari Kesangsian
Banyak hasrat menulis dimulakan dari kesangsian: 1) sangsi tidak percaya diri; 2) sangsi tidak disukai; 3) sangsi ditolak penerbit; 4) sangsi tidak mampu menghidupi; 5) sangsi ditertawakan; 6) sangsi dalam soal waktu. Tidak ada penulis yang mengawali pilihannya menulis tanpa kesangsian. Wilayah ini memang tampak wilayah eksklusif meski ada beberapa orang yang menggampangkan soal tulis-menulis semudah membalikkan taplak meja.
Karena sangsi, lalu ada pernyataan tegas …. Jangan ragu-ragu. Kalau ragu-ragu, tinggalkan saja. Jangan coba-coba. Kalau coba-coba, nanti berbahaya. Menulis memang mendorong totalitas jika ingin terasa efeknya. Totalitas menggunakan pancaindra. Totalitas memanfaatkan waktu yang cuma 24 jam sehari. Totalitas menggerakkan kesempatan: baca-jalan-silaturahim.
Saya menghempaskan kesangsian ketika menyadari bahwa menulis adalah sebuah area ‘blue ocean‘ yang tidak pernah menjadi merah. Genre menulis yang menghasilkan cabang dan ranting begitu banyak membuat saya sadar bahwa inilah ‘life skill‘ paling penting pada abad informasi kini. Akarnya adalah gagasan-gagasan yang erat kaitannya dengan bagaimana cara pandang kita terhadap kehidupan di dunia fana ini.
Bayangkan, hanya dengan memfokuskan diri pada dunia anak-anak, Anda sudah dapat menghasilkan berbagai bentuk tulisan berbasis anak-anak. Sehari satu adalah sebuah keniscayaan jika Anda memang ingin mengejar Rekor MURI.
Menulis Memang Mengejutkan
Almarhum ayahanda mengajarkan saya untuk arif menulis. Ibunda menjejali saya kemauan untuk membaca dengan membelikan saya buku dan majalah. Ayahanda apik dalam menulis surat, laporan, studi kelayakan, menyukai lagu-lagu dan musik–meski beliau lebih populer sebagai ahli teknik untuk memancang mesin-mesin berbobot ton-an. Sempat saya berpikir menjadi ahli teknik seperti beliau.
Takdir membawa saya pada pekerjaan mengutak-atik tulisan, bukan mesin. Saya membongkar sebuah wacana, mulai paragraf hingga pecahan kata. Lalu, saya harus mampu menyusun ulang kembali dengan tampilan yang lebih apik. Karena itu, saya harus menemukan dulu makna, baru kemudian saya menunjukkan makna itu kepada pembaca dengan rasa suka.
Menulis memang mengejutkan! Saya mampu memainkan peran dengan tulisan, menciptakan dunia yang akrab dengan pembaca atau dunia yang membuat mereka tercengang dengan mulut terbuka. Setiap generasi akan bertemu dengan tulisan; dan setiap tulisan (tentunya yang dibuat dengan kekuatan sepenuhnya) mampu memberi efek perubahan.
Meski demikian, tetap banyak orang yang terkejut dalam sisi lain. Mereka terkejut ketika harus menulis dan keterkejutan itu membuat mereka mengambil jalan pintas plagiat. Mereka merasa tidak harus malu karena menulis mereka pandang hanya susunan kata, kalimat, dan paragraf tanpa estetika dan etika.
Ada lagi yang terkejut karena ternyata mereka mampu menghimpun uang dan popularitas lewat menulis. Menulis mengejutkan mereka dapat begini dan begitu. Lalu, mereka pun memaksakan diri menulis dan terus menulis tanpa lagi membentuk makna keterbacaan sesungguhnya.
Mereka kemaruk dengan tulisan sehingga tidak lagi “berpikir” ketika menulis, tetapi lebih didorong “rasa lapar”. Rasa lapar membuat para penulis ini memamah ide apa pun. Akhirnya, mereka terkejut karena kekenyangan–sebagian ide itu berpotensi menjadi penyakit.
***
Lebih dari sekadar menyusun atau menata, menulis juga pekerjaan mengoneksi. Inilah yang membuat susunan ataupun komposisi sebuah tulisan berbeda antara satu dan lainnya karena ada juga keterampilan mengoneksi terhadap sumber ide, pengalaman, bahan bacaan, fenomena kehidupan, peristiwa, dan banyak hal lain. Seorang penulis adalah seorang konektor terhadap semua celah kehidupan, bahkan celah imajinasi.
Menulis memang mengejutkan karena Tuhan ternyata menggelontorkan ratusan bahkan ribuan ide seluas langit dan samudra untuk ditafakuri–dan orang-orang arif menyebutnya sebagai hikmah. Ide-ide itu ada yang tersimpan, ada yang berganti dari masa ke masa, dan ada yang menjadi takdir bertemu dengan penulisnya.
Karena itu, ide menulis adalah karunia yang harus disyukuri. Praktik menulis adalah keterampilan yang harus dilatih dan dimiliki. Benefit menulis adalah efek samping dan ganjaran dari rasa syukur serta ikhtiar yang dijalankan. Akibatnya yang baik bagi umat manusia adalah amal jariyah yang tak putus pahalanya meski maut menjemput.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Saya kagum dan respek sekali sama pak Bambang Trim Sebagai penulis/penerbit Senior yang hebat yang mau berfikir untuk kebaikan generasi muda sebagai pembaca buku. Tidak menjadikan pembaca hanya sebagai sumber Makanan perut saja, banyak sekali para penulis & penerbit muda yang hanya memikirkan hanya untuk perut. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Bambang dan Panitia Workshop first Novel, kebetulan saat itu saya mengantar istri saya sebagai peserta. Panitia mempersilahkan saya untuk bergabung mengikuti workshop tersebut dan sambutan panitia sangat bagus. Bimbingan dan petunjuk dari pak Bambang untuka para penulis muda sangat luar biasa. Sebagai Penulis Senior yang berkarakter patut menjadi teladan para penulis-penulis muda. Trima kasih.
Kapan mas ToT-nya kekekekkeke, ane siap jadi kader (halah, ngarep ^_^)
Lagi digodok sama Mas Surya tuh… Beliau sudah duluan 🙂
Aamiin semoga lancar ^_^
pak Bambang, sy emailkan outline temen2 ya… tks