Pusing-Pusing Self-Publishing

Sebenarnya saya sudah pernah menulis tentang self-publishing di blog ini. Namun, tergerak hati menuliskannya kembali sekadar berbagi tentang praktik self-publishing yang tengah mem-booming ini di Indonesia. Apakah ini gejala yang kurang baik? Saya tidak ingin menghakimi karena self-publishing sebuah pilihan bebas bagi setiap warga negara dan termasuk juga telah mengakar menjadi budaya di Amerika. Kehadiran self-publisher membuat dunia penerbitan buku menjadi semarak. Namun, khusus di Indonesia kadang-kadang memang menjadi bikin pusing (pening).

Kali pertama dalam sejarah berdasarkan data di Wikipedia bahwa pada 2008, banyaknya buku yang diterbitkan secara mandiri (self-publishing) melebihi buku yang diterbitkan secara tradisional (melalui penerbit). Begitupun di Indonesia, self-publishing sontak menjadi ide baru bagi para penulis buku yang selama ini mengalami kepusingan berhubungan dengan penerbit tradisional, baik kelas minor, middle, maupun mayor karena ditolak berkali-kali.

Nah, self-publishing yang menggejala ini pun diramaikan dengan asumsi yang membuat pusing. Lalu, kita pun berpusing-pusing (berputar-putar, dlm bahasa Melayu) tentang terminologi self-publishing–yang beberapanya telah menjadi salah kaprah.

Terus terang, saya tersenyum masam ketika membaca posting sebuah layanan self-publishing di internet. Ada embel-embel iklan: “naskah Anda tidak akan diedit”. Waduh, bagaimana mungkin sebuah jasa penerbitan (publishing service) yang membantu para self-publisher tidak melakukan editing naskah. Inilah salah satu yang salah kaprah.

Dan Poynter Menginspirasi Saya

Dan Poynter disebut-sebut sebagai god father ribuan judul buku di AS. Poynter memang tukang kompor orang untuk segera menerbitkan bukunya sendiri. Buku karyanya yang sangat populer The Self Publishing Manual: How to Write, Print and Sell Your Own Book sudah mengalami cetak ulang belasan kali. Poynter sendiri mengalami penolakan yang menyakitkan untuk naskah pertamanya tentang parasut (The Parachute Manual).

Lalu, dimulailah petualangannya menerbitkan sendiri dan sukses dengan mendirikan Para Publishing. Poynter akhirnya menyebarkan pengetahuannya menerbitkan buku sendiri dan mengelola pemasarannya sendiri ke banyak orang. Dan saya termasuk yang terkompori oleh Dan Poynter.

Saya lalu menerbitkan buku Menggagas Buku dengan nama penerbit Bunaya Kreasi Multidimensi. Buku ini saya layout sendiri, covernya saya alihdayakan pengerjaannya kepada seorang desainer cover jebolan Rosdakarya. Naskah itu pun saya edit sendiri, lalu saya cetak di sentra percetakan kecil, Jalan Pagarsih, Bandung. Kemudian, mulailah saya memasarkan buku itu sendiri dibantu seorang teman. Saya mengerjakan semuanya dari rumah. Namun, kemudian Bunaya tidak lagi menjadi self-publisher karena menerbitkan satu buku karya orang lain. Dua buku lain yaitu buku anak tetap merupakan karya saya, yaitu Ramadhan Ceria dan buku kumpulan cerita Alkisah. Jadi, dari A-Z saya mengurusnya. Ini saya lakukan pada 2000 ketika keluar dari Penerbit Grafindo.

Jadi, pengertian self-publishing sesungguhnya adalah menerbitkan buku karya sendiri yang dilakukan sendiri oleh penulisnya, termasuk mengelola produksi buku tersebut hingga pemasarannya. Boleh saja kemudian sang penulis mengalihdayakan beberapa pekerjaan kepada penjual jasa penerbitan (publishing service), seperti editing, desain (interior/eksterior), hingga marketing. Namun, tetap saja ia yang mengelola full, menetapkan harga jual, menetapkan oplag cetak, hingga memilih cara-cara penjualan.

Ciri self-publisher yang kentara adalah nama penerbitnya juga ditentukannya sendiri, bahkan mungkin beralamat rumahnya yang merangkap sebagai kantor. Apakah perlu berbadan hukum? Di Indonesia tidak ada aturan penerbit harus berbadan hukum. Namun, dalam konteks bisnis lebih luas, badan hukum harus dipertimbangkan para self-publisher untuk menjual buku-bukunya secara lebih luas dan bekerja sama dengan distributor atau toko buku. Jadi, sangat mungkin ada self-publisher yang tidak berbadan hukum dan ada pula yang sadar bisnis kemudian mendaftarkan perusahaannya menjadi berbadan hukum.

Apabila self-publisher kemudian tergoda menerbitkan buku orang lain walaupun itu istri/suami, anak, atau saudaranya sendiri, sang penerbit bukan lagi disebut self-publisher (penerbit swakelola), melainkan sudah menjadi penerbit tradisional seperti layaknya penerbit buku biasa.

Self-publisher punya sebutan lain yaitu independent publisher yang mengesankan kebebasan mereka untuk menerbitkan bukunya sendiri tanpa tersandung aturan yang biasa diberlakukan penerbit tradisional. Di arena Frankfurt Book Fair, saya pernah melihat satu area yang disewa oleh asosiasi penerbit independen di sana. Ya, para penerbit independen atau swakelola di sana memang sudah sangat kuat sehingga membentuk asosiasi sendiri untuk saling bertukar informasi.

Vanity Publisher Bukan Self-Publisher

Semangat menerbitkan buku sendiri di Indonesia, lalu melahirkan bisnis baru. Patut dicermati bisnis di bidang penerbitan ini.

Pertama, adalah munculnya bisnis publishing service yang memberi layanan alihdaya editorial penerbitan hingga ke tahap cetak.  Belakangan bisnis ini pun dikenal dengan nama lain book packager (perajin buku) yang kurang lebih pekerjaannya sama. Bisnis ini mengandalkan order dari para penerbit tradisional (middle dan major) untuk mengerjakan beberapa pekerjaan editorial, termasuk akuisisi naskah. Saya sendiri sejak 2007 sudah menjalankan bisnis ini secara serius. Sebelumnya pada 1994 saya sempat mendirikan publishing service bersifat lokal di Bandung bersama teman-teman satu alumni Editing Unpad. Lalu, saya mendirikan perusahaan sendiri bersama kakak saya bernama Intimedia Persada dengan modal 2 unit Macintosh dan 1 printer laser HP.

Sebenarnya pengguna jasa publishing service kebanyakan adalah para penerbit tradisional. Namun, lama-kelamaan perseorangan pun makin banyak menggunakan jasa ini untuk menerbitkan bukunya. Publishing service tidak menawarkan institusinya menjadi penerbit karena institusinya bukan penerbit. Karena itu, biasanya publishing service akan membantu Anda untuk memberi nama penerbitan Anda sendiri, membuatkan logo, serta menguruskan nomor ISBN yang khas untuk penerbit Anda.

Kedua, ini yang menjadi booming iming-iming self-publishing yaitu yang disebut vanity publisher. Vanity publisher saya terjemahkan saja sebagai penerbit bersubsidi. Penerbit ini didirikan dengan badan hukum dan sudah memiliki nomor ciri ISBN. Namun, penerbit ini hidup dari buku-buku orang lain yang ingin diterbitkan dengan membayar (subsidi). Jadi, penerbit semacam ini menjual jasa menerbitkan naskah Anda dengan menggunakan ‘bendera’ penerbitan mereka, sekaligus juga membantu penjualannya. Vanity publisher mendapatkan profit biasanya dari jasa editorial dan jasa cetak, jarang sekali dari jasa penjualan.

Shum FP, salah seorang akademisi bidang penerbitan dari University of Stirling di Inggris dalam tesis masternya tentang self-publisher yang pernah diterbitkan di Malaysia jelas-jelas menolak penggunaan vanity publisher tergolong sebagai self-publishing. Shum menganggap praktik self-publishing seyogianya semua kontrol ada di tangan penulisnya sekaligus menjadi penerbit. Vanity publisher menurutnya hanya membuat bias dari apa yang disebut self-publishing.

Apalagi, beberapa praktik dari vanity publisher kerap menjadi modus penipuan kepada para penulis yang tidak mengerti proses penerbitan sesungguhnya. Praktik vanity publisher banyak menimpa para dosen yang mengejar kumulatif indeks untuk naik pangkat dengan menerbitkan buku. Vanity publisher dengan senang hati menawarkan institusi penerbit mereka untuk menerbitkan karya sang dosen, mencarikan ISBN untuk bukunya, lalu mencetak dan menjualnya. Praktik penipuan sering terjadi pada biaya cetak yang dilambungkan, spesifikasi cetak yang diganti, oplag cetak yang dikurangi, dan hasil penjualan yang tidak jelas.

Dengan masuknya teknologi print-on-demand (POD), vanity publisher menjadi lahan baru yang menarik. Tercatat beberapa orang mendirikan perusahaan penerbitan untuk menampung karya-karya yang mereka sebut self-publishing. Silakan Anda buat naskah apa pun, kami siap menerbitkan asalkan Anda membayar untuk biaya editorial dan cetak sekian. Impian Anda menjadi penulis buku pun cepat terwujud tanpa berlelah-lelah menawarkan ke penerbit tradisional. Hanya memang Anda harus merogoh kocek sendiri.

Tentu ini praktik legal dalam dunia penerbitan meskipun ada anggapan minor tentang praktik ini di luar negeri. Kadang-kadang kemudian praktik ini berkembang menjadi kerja sama bisnis joint venture. Sebenarnya praktik ini sama saja dengan Anda mendatangi penerbit tradisional dan Anda berharap naskah Anda diterbitkan di penerbit itu dengan iming-iming semua biaya Anda yang tanggung atau iming-iming lain bahwa semua buku yang diterbitkan langsung Anda beli cash. Saya jamin ada banyak penerbit yang mau melakukannya untuk zaman kini.

Nah, yang patut disoroti adalah vanity publisher yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Naskah Anda benar-benar jadi buku, tetapi buku yang tidak layak terbit secara content maupun context. Tidak ada orang yang mau membaca, apalagi membeli buku Anda. Namun, Anda sudah puas karena buku sudah terbit. Sang penerbit juga segera cuci tangan karena mereka sudah meraih untung dari selisih biaya editorial dan biaya cetak.

***

Semoga tidak menambah kepusingan Anda soal self-publishing. Mau tahu lebih jauh? Silakan ikut Book Writing Revolution Training, 16-17 Februari 2012 di Hotel Sawunggaling, Bandung. Hanya dengan investasi Rp500 ribu selama 2 hari, Anda akan mendapat segudang informasi tentang seluk-beluk dunia penulisan-penerbitan buku di Indonesia. Tempat terbatas 25 orang dan ini training terakhir berharga sangat hemat dengan fasilitas handout eksklusif, CD pdf materi presentasi, makan siang + kudapan, sertifikat, dan keanggotaan otomatis di Akademi Penulis Indonesia. Kontak Irma 081320200363

Jangan mau lagi disebut orang awam dalam dunia penulisan-penerbitan buku.

:: catatan kreativitas Bambang Trim

©2012, oleh Bambang Trim

8 thoughts on “Pusing-Pusing Self-Publishing”

  1. “Poynter sendiri mengalami penolakan yang menyakitkan untuk naskah pertamanya tentang parasut (What Color of Your Parachute?).”
    –> Mas Bambang, naskah pertama Poynter judulnya The Parachute Manual. Kalo gak salah, itu pula yang kemudian membuat dia menamai penerbitnya ParaPublishing. Ketuker dengan judul buku self-help yang termasyhur itu, ya? Salam hangat.

  2. Iya. Agak pusing juga ya. Tapi apapun itu, artikelnya sangat mencerahkan. Saya harus sedikit merubah judul Publisher saya kayaknya. Soalnya menurut tulisan ini, saya gak termasuk Self-Publishing deh… 😉

  3. self-publishing tuh yang paling berat itu waktu jualan. sudah dicetak tapi kurang laku dijual, nah itu masalah yang mesti diantisipasi. makanya, sebaiknya diminimalkan risiko tidak terjualnya, dengan cara survey pasar dan minimalisasi ongkos produksi 🙂

    saya selalu suka dengan tulisan-tulisan mas bambang trim ini 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.