Namanya mungkin sudah tidak terdengar lagi sebagai seorang seniman buku pintar. Namun, para pelajar angkatan 80-an hingga 90-an pastilah akrab dengan nama Iwan Gayo. Putra Aceh yang hobi mengkliping informasi dari koran/surat kabar ini akhirnya melahirkan suatu genre yang kemudian menjadi buku best seller yaitu buku pintar. Buku ini bukanlah ensiklopedia yang merupakan kumpulan pengetahuan dari abjad A–Z, melainkan sebuah buku kumpulan informasi plus pengetahuan. Buku jenis ini sudah menjadi tradisi pula bagi majalah Time sehingga disebut Time Almanac yang diterbitkan setiap tahun, bahkan juga ada versi untuk anak-anaknya.
Buku Pintar ala Iwan Gayo masih terus terbit dan dicetak ulang hingga kini, bahkan nama ‘buku pintar’ itu sudah menjadi trade mark Iwan Gayo. Walaupun demikian, banyak pula buku pintar lain yang terbit setelah itu. Angkat topi perlu diberikan kepada Iwan Gayo karena praktis ia bekerja sendiri dalam menyusun buku pintar pada awalnya. Pekerjaan yang dilakukan Iwan Gayo mirip dengan Russell Ash yang menyusun buku Top Ten of Everything dengan mengumpulkan informasi rekor dari seluruh dunia dan dari berbagai bidang.
Saya berterima kasih dengan orang-orang seperti Iwan Gayo maupun Russell Ash yang mau berpayah-payah mengumpulkan begitu banyak informasi, lalu menyajikannya dalam buku yang bisa dirujuk kapan pun. Sebagai penulis, saya sudah menyadari pentingnya konten informasi sejak kali pertama menulis buku. Saya mengoleksi buku pintar, memburu buku Apa dan Siapa Orang-orang Indonesia yang pernah diterbitkan Grafiti Press (lini penerbit buku Tempo)–yang ini dijamin sudah sulit dicari, termasuk juga mulai mengoleksi karya Russell Ash serta juga buku pintar versi Time. Buku-buku itu membantu saya mengoneksi dengan berbagai informasi serta pengetahuan terkait tulisan yang hendak saya buat.
Berkesempatan mengunjungi Gramedia Matraman pada 30 Mei 2012 lalu, saya pun sudah mengincar satu buku pintar anyar berjudul Buku Pintar Kompas 2011. Buku Pintar versi Kompas termasuk unik karena disusun berdasarkan urutan waktu dan merupakan kumpulan peristiwa sepanjang 2011 dalam data dan fakta. Kelebihan Kompas yang selalu merancang infografik juga menjadi salah satu keunggulan buku pintar ini. Aroma kental kasus-kasus politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya terasa sekali dalam buku pintar yang disusun oleh Tim Litbang Kompas ini.
Meskipun dicetak di kertas book paper, tampilan isinya berwarna, kecuali bagian lampiran yang merupakan sekumpulan data-data dalam tabel. Kita mafhum bersama bahwa menemukan data yang valid di Indonesia termasuk sulit maka lampiran Buku Pintar Kompas 2011 membantu kita menemukan data-data yang disebut di sini berkualitas A-1. Misalnya, ada data produksi dan populasi kendaraan bermotor dari tahun 2005-2011, serta perbandingannya dengan negara-negara lain.
Satu buku lagi yang luput saya beli karena lupa adalah bukuRekor-Rekor MURI 2008-2009 edisi kedua (edisi pertama sudah saya miliki). Di dalam buku itu terekam berbagai rekor yang pernah dibukukan orang Indonesia dan terkadang rekor-rekor itu saya gunakan sebagai bahan baku tulisan di berbagai bidang.
Sebagai penulis generalis, saya memang harus sadar konten. Saya pernah menulis buku tentang asuransi syariah atas permintaan Takaful Indonesia sehingga menuntut saya harus mencari begitu banyak informasi tentang asuransi syariah, termasuk ekonomi syariah. Saya pun kini lagi mengerjakan beberapa buku bisnis, termasuk juga buku tentang sejarah eksplorasi gas di Indonesia sehingga saya pun merasa perlu kumpulan berbagai informasi dalam bentuk buku. Dan buku yang cocok untuk keperluan itu adalah buku pintar!
Penulis harus membaca buku, ya memang harus. Penulis harus memiliki buku referensi, yang ini terkadang tidak disadari, termasuk banyak penulis yang belum memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Tesaurus Bahasa Indonesia. Tentu sulit juga memastikan mereka memiliki satu set ensiklopedia. Sadar akan pentingnya konten informasi tampaknya kurang begitu menjadi hikmah, apalagi banyak penulis yang lebih mengandalkan mesin pencari Google ataupun informasi yang termuat di Wikipedia.
Penulis ingin bukunya laku, tetapi dia sendiri enggan membeli atau berinvestasi dengan buku. Ini tentu lucu bin rancu.
Pintar-pintar jadi penulis, ya koleksilah buku pintar. []
©2012 oleh Bambang Trim

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Buku Nyo dulu sudah 200 judul, digondol sama temen ke Pati T_T. Mulai dari awal mas.
Mengutip pernyataan di atas: “Penulis harus membaca buku, ya memang harus. Penulis harus memiliki buku referensi, yang ini terkadang tidak disadari”, saya tersenyum sendiri karena mengingat bahwa belakangan ini jarang sekali baca buku secara penuh; hanya mencari informasi pada bab-bab tertentu dari koleksi pribadi (di luar buku pintar, karena genre ini belum ada sama sekali).
Jika kecenderungannya begitu, apa saya masih memiliki kans (peluang) untuk menjadi penulis generalis seperti Pak Bambang?
Omong-omong, saya sudah memiliki KBBI meski merasa belum “perlu” membeli Tesaurus karena sudah disediakan secara cuma-cuma di kantor. Secara saya yang berwenang mengurusi buku-buku berbahasa Indonesia, terkadang keengganan mengoleksi buku yang sudah ada seperti tadi kian tak terbendung. He-he-he.
Hehehe itu namanya ngemil buku… Saya juga kadang melakukannya, tidak harus membaca keseluruhannya. Penulis generalis itu pilihan, di samping ada pilihan lain sebagai spesialis. Jadi, sangat mungkin kalau kita mengembangkan kemampuan menulis genre lain. Koleksi buku kantor dan koleksi pribadi kita sebagai penulis tentu berbeda. Terkadang hasrat menulis tidak terbendung di rumah, apakah kita harus ke kantor atau membawanya pulang? Hehehe saya selalu mengoleksi buku yang memang saya anggap penting dan akan digunakan berulang. Nah, investasinya sudah kita hitung akan kembali lagi. 🙂