Tahun ini menulis buku instan dari tweetan; tahun depan menulis buku serius dari hasil studi kasus. #writerpreneur.
Itu kicauan saya di twitter kemarin soal buku menanggapi makin maraknya penulisan buku instan model kumpulan tweet, kumpulan tulisan-tulisan lepas di blog, butiran-butiran motivasi, dan sebagainya tahun 2012. Buku instan memang cepat melarut dan bikin kenyang sementara, tetapi akan membuat lapar lagi karena kadang tak tuntas memberi arah dan cara untuk mengubah atau memperbaiki diri. Adapun buku kita beli bukanlah sebagai buku lengkap dengan kertas dan kovernya, melainkan kita membeli “benefit” perubahan di dalamnya.
Buku serius? Sebenarnya ini hanya istilah untuk menyebut mereka yang menulis buku (fiksi, nonfiksi, atau faksi) dengan riset mendalam dan akhirnya disajikan apik berdaya pikat. Dalam konteks nonfiksi, buku semacam ini disajikan dengan outline tahapan: pembahasan dilakukan secara bertahap dari mudah ke sulit, dari sederhana ke rumit, atau dari yang dikenal ke yang asing. Buku tahapan menyajikan sebuah proses berpikir dan bertindak sehingga kemudian pembaca mendapatkan mata baru dalam hidupnya.
Beda halnya dengan buku yang memang kita kumpulkan dari tulisan lepas-lepas meskipun satu topik dari hasil “mencicil” di website ataupun blog. Benang merah proses berpikir dan bertindak terkadang sulit dicari atau dapat ditemukan, tetapi tidaklah mendalam.
Dalam sebuah diskusi beberapa tahun lewat tentang Program Pustaka (Adikarya Ikapi dan Ford Foundation), Bonda Winarno, tidak setuju dengan dikotomi buku serius dan buku tidak serius. Menulis buku itu saja menurutnya sudah serius. Bagaimana mungkin ada buku tidak serius? Namun, dalam era media sosial sekarang ini memang akhirnya muncul buku-buku instan, entah memang disusun serius atau tidak, tetapi sepertinya memang tidak diniatkan awalnya menjadi buku. Iseng-iseng berhadiah jadilah buku-buku demikian.
Ada juga memang diniatkan sebagai buku, tetapi dengan cara-cara yang instan, seperti mengambil bahan-bahan dari “lautan tulisan” di website, blog, ataupun semacam wikipedia. Jadilah sebuah buku yang daftar pustakanya bersumber dari internet–tanpa si penulis memedulikan apakah itu sumber primer atau sekunder. Sebuah fenomena kadang mendorong buku ditulis dan diterbitkan; ada yang serius, ada yang instan, dan ada pula yang merupakan epigon-epigon. Ingatlah dulu fenomena “otak tengah” yang booming, lalu sekarang buku tentang tokoh seperti Jokowi–pilihannya ada buku serius dan ada buku instan yang dibuat seperti kejar tayang.
Editor akuisisi (pengadaan naskah) penerbit sekarang juga rajin memantau media sosial, termasuk model blog citizen journalism Kompasiana ini untuk memantau ide-ide tulisan yang sekiranya dapat dibukukan. Boleh jadi, kumpulan “keisengan” ataupun “keseriusan” menulis di sini, kemudian ditawari untuk dibukukan. Jadilah, sebuah buku dengan outline butiran. The book is not a book (buku yang bukan buku) menurut cendekiawan Taufik Abdullah. Berbeda halnya jika dari satu atau beberapa ide tulisan, kemudian dikembangkan menjadi buku tahapan, termasuk dengan formulanya. Banyak buku kategori serius memang bermula dari tulisan pendek, seperti artikel, feature, atau esai.
Menulis tulisan jurnalistik (berita, artikel, resensi, feature, esai, dsb.) seperti berlari cepat (sprint). Adapun menulis buku seperti marathon yang memerlukan nafas panjang. Penulis buku instan adalah sprinter yang akan berhenti setiap satu kali menulis, tetapi penulis buku serius memang akan mempersiapkan “pelarian panjang”-nya dengan riset dan referensi dan berhenti pada satu garis finish tertentu bernama momentum. Tidaklah mengapa jika penulisan buku instan merupakan batu loncatan untuk menulis buku yang lebih serius dalam arti hasil sebuah proses berpikir dan bertindak yang disampaikan secara bertahap.
Konsep diterimanya sebuah naskah buku itu sederhana: MAP. MENARIK dari sisi mengundang keingintahuan banyak orang atau memang memiliki daya tarik informasi tertentu untuk banyak orang atau orang-orang dalam satu bidang. AMANAT yaitu memiliki pesan-pesan yang maslahat untuk kehidupan manusia. PENTING dari sisi aktualitas konten serta pengaruhnya kepada pembaca, misalnya penting untuk perubahan diri, penting untuk menambah pengetahuan, penting untuk persiapan menghadapi sesuatu, atau penting untuk menghindarkan penyakit.
Buku instan bolehlah untuk hiburan, melarut dan kenyang di dalam pikiran serta hati. Namun, untuk kecerdasan lebih jauh dan mendalam, buku-buku yang bermutu dalam penggarapan konten dan konteksnya yang serius dipersiapkan perlu juga menjadi “makanan” pikiran dan hati kita. Untuk itu, penulisnya pun akan merasa tertantang dan tahun depan adalah momentum menulis buku sebenar-benar buku.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
mantab betul ulasannya Pak, jadi lebih cerah hari ini 🙂