Saya membeli buku lawas yang masih dicetak ulang hingga kini karya Tetsuko Kuroyanagi berjudul Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela masih dalam terbitan Pantja Simpati. Versi terbaru dari buku ini telah diterbitkan Gramedia. Pantja Simpati sebenarnya sebuah percetakan yang berada di Bitung, Tangerang. Beberapa tahun lalu percetakan ini diakuisisi oleh Tiga Serangkai Grup. Buku Totto Chan yang pernah diterbitkan pun dialihkan ke Gramedia hak penerbitannya dalam bahasa Indonesia.
Tidak hanya dalam hal perusahaan penerbit yang dapat berpindah tangan, hak penerbitan (ekonomi) sebuah buku pun dapat berpindah tangan. Jika ada sebuah penerbit bangkrut atau menutup aktivitasnya, hak-hak ekonomi atas buku-bukunya dapat dialihkan ke penerbit lain. Hak-hak ekonomi ini memang termasuk intangible asset.
Di sisi lain, perjanjian penerbitan sebenarnya juga menyediakan klausul masa eksploitasi naskah yang bervariasi, seperti 3 tahun, 5 tahun, atau 10 tahun. Ketika masa eksploitasi terlampaui, hak ekonomi (hak publikasi, hak edar, dan hak jual) naskah dikembalikan kepada penulis sehingga penulis pun bisa menentukan apakah meneruskan kerja sama dalam bentuk cetak ulang dan revisi atau mengalihkannya ke penerbit lain.
Dalam kasus-kasus khusus dapat terjadi disebabkan buku tidak lagi dicetak oleh penerbit asalnya karena kehabisan dana, sementara permintaan atas buku terus mengalir, buku seperti ini bisa dilirik penerbit lain. Penulis pun dapat mengajukan penarikan kembali karyanya untuk dialihkan ke penerbit yang berminat.

Contoh terbaru adalah novel Galaksi Kinanthi karya Tasaro GK yang awalnya diterbitkan Salamadani, pada 2012 dialihkan penerbitannya ke Bentang. Buku saya berupa fiksi anak berjudul Pesta Sayuran yang semula diterbitkan MQS, tahun 2012 saya alihkan penerbitannya ke Pandu Aksara dengan format perwajahan dan ilustrasi yang baru.
Bagi penulis sebuah buku yang memiliki life time period sangat lama atau tetap aktual merupakan aset berharga yang dapat menghasilkan passive income terus-menerus. Karena itu, buku-buku seperti itu akan selalu menjadi rebutan para penerbit, bahkan juga menarik bagi keluarga atau ahli waris si penulis jika memang sudah meninggal dunia. Kadang-kadang pihak keluarga malah terpikir untuk mendirikan penerbit sendiri apabila sang penulis memang produktif menghasilkan karya.
Kasus lama yang juga berhubungan dengan pengalihan hak penerbitan ini adalah antara penulis Pramoedya Ananta Toer dan penerbit penyokongnya Hasta Mitra. Sempat terjadi konflik antara Pramoedya dan Hasta Mitra disebabkan “tudingan” penggelembungan oplag buku sehingga ada royalti yang tidak terbayarkan. Hasta Mitra yang didirikan sahabat Pram, Joesoef Isak sendiri membela diri bahwa hal itu adalah perbuatan oknum distributor sekaligus percetakan yang dipercayai Hasta Mitra. Meski sudah berupaya berdamai, hubungan kedua sahabat ini merenggang hingga akhir hayat mereka berdua. Hak penerbitan buku-buku Pram pun kemudian beralih ke Lentera Dipantara yang dimiliki salah seorang putri Pram.
Dunia akuisisi naskah ini memang menarik tidak hanya terbatas pada akuisisi naskah baru atau disebut front list, akuisisi naskah lama (back list) dari penerbit lain juga dapat terjadi, termasuk penerbitan ulang karya-karya lawas. Karena itu, tidak heran jika dalam beberapa dekade kemudian kita dapat menemukan kembali buku lama yang diterbitkan dengan versi baru.
Jika Anda memilih sebagai self-publisher dan kemudian beruntung buku Anda sukses, jangan heran jika akan ada penerbit besar (mayor) yang siap mengakuisisi buku Anda dan mengalihkannya ke penerbit mereka. Dapat pula terjadi Anda pernah menerbitkan buku kali pertama di sebuah penerbit dan dulu Anda bukan siapa-siapa, lalu tiba-tiba Anda menjadi figur publik yang terkenal di mana-mana. Buku lama Anda pun segera akan meningkat nilainya dan siap diterbitkan ulang penerbit besar. Hal ini membuktikan bahwa penulisan buku dengan serius itu sebenarnya berinvestasi untuk jangka panjang dan telitilah selalu dalam membuat perjanjian dengan penerbit, termasuk tentang masa eksploitasi naskah Anda.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
betul sekali pak.
sekarang buku sherlock holmes malah diterbitkan dengan judul yang serupa oleh beberapa penerbit sekaligus
Nah, kalau begini termasuk fenomena apa?
Dalam buku-buku Islam pun kejadian serupa sering terjadi, terlebih beberapa penulis yang notabene ulama tidak mempermasalahkan hak cipta, jadi rebutan penerbitan karya-karyanya hampir tak terbendung.
Aku-mengaku juga kerap terjadi, bahkan kadang ada anak penulis yang tiba-tiba “berubah haluan” dan melegalkan hak cipta demi menjaga kredibilitas ayahnya yang oleh beberapa oknum dijadikan objek penderita.
Lika-liku penerbitan, memang menarik!