Sore yang hujan berbincang bersama Tasaro GK di sebuah sudut tempat makan, Buah Batu, Bandung. Sudah berbulan-bulan tak bertemu penulis yang terus bersinar ini sekaligus editor yang juga punya insting soal naskah.
Naskah memang sesuatu yang menarik untuk dibincangkan awal 2013 ini. Tentang tren, tentang peluang, tentang tokoh, dan tentang penerbit. Salah satu cara pandang baru (meskipun bukanlah sesuatu yang baru) yaitu bagaimana para penerbit mengakuisisi naskahnya. Para penerbit progresif kini memang sudah membentuk sendiri korps editor akuisisi yang ditugaskan untuk mengakuisisi naskah, alih-alih mencari dan mengakrabi penulis.
Penerbit yang berorientasi ke depan memang sudah tidak pada zamannya lagi menganggap editor sebagai makhluk yang harus duduk di belakang meja dan tekun mengedit naskah. Lalu, mereka juga dituntut untuk mendapatkan naskah dengan konsentrasi yang terpecah-pecah: antara mengedit dan mencari naskah. Berproses dengan jam terbang tinggi serta sistem yang baiklah kiranya mampu menciptakan “editor super” semacam itu. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Editor harus menemui penulisnya, bukan menemukan penulisnya.
Ulasan saya tentang ledakan digital publishing memperlihatkan perubahan dalam ekosistem penerbitan buku di Barat ketika mereka begitu khawatir kehilangan para penulis karena penulis itu kini dapat menerbitkan bukunya sendiri secara digital. Penerbit pun berlomba meningkatkan pelayanannya kepada stakeholder utama mereka yaitu penulis. Dari sistem advance fee (uang muka) royalti yang menarik, pendanaan penulisan, pemasaran yang optimal, dan salah satu yang penting ikut membangun merek sang penulis.
Jika ada kemudian penerbit yang masih berpikir hemat soal besaran royalti, tidak fleksibel dalam negosiasi, tidak menjanjikan pasar yang baik, dan juga membiarkan buku “menjual dirinya sendiri” setelah dilepas ke pasar; alamat bakal ditinggalkan para penulis. Penulis dan naskah adalah investasi terbesar bagi penerbit sebagai investasi konten untuk kini dan masa mendatang. Harus disadari bahwa core compentence para penerbit adalah pengembang konten, bukan penjual buku.
Sebuah jejaring penerbit besar menawarkan jaminan royalti untuk 3.000 eksemplar naskah dibayar dalam satu tahun meskipun buku tersebut tidak terjual sampai 3.000. Jaminan seperti ini tentu melegakan sekaligus menarik bagi penulis yang merasa ada jaminan dalam penjualan. Tidak hanya itu, penerimaan royalti juga dipersingkat terminnya menjadi 3 bulan sekali yang berarti dalam satu tahun sang penulis akan menerima 4 kali pembayaran royalti. Penerbit besar lainnya juga menawarkan uang muka royalti dalam besaran yang menarik untuk para penulis dan tentunya juga menjadi tempat “berkebun merek” bagi para penulis.
Semua program dan strategi penerbit itu ibarat amunisi bagi para editor akuisisi untuk melakukan negosiasi. Mereka akan sangat leluasa untuk membidik para penulis yang sudah punya nama ataupun para public figure untuk menulis buku. Mereka juga leluasa mengadakan program “penjinakan bakat” untuk para penulis pemula yang memiliki ide-ide brilian. Jadi, jangan heran jika penerbit progresif selalu berinvestasi dalam hal pendidikan dan pelatihan untuk para penulis. Mereka akan dengan senang hati membentuk komunitas-komunitas penulis, melibatkan para penulis senior untuk melatih juniornya, dan akhirnya muncul sebuah “rasa memiliki” terhadap penerbit tersebut.
Saya perkirakan brand-brand penerbit besar ke depan akan bersaing soal ini, kecuali mereka yang merasa masih jumawa dengan kebesarannya tanpa memandang sedikit pun potensi penulis dan editor akuisisi. Penerbit-penerbit level kecil juga akan bisa menyalip dan menyodok dengan buku-buku yang produksi judulnya sangat kecil, tetapi mantap. Mengapa? Karena penerbit kecil lebih leluasa berdialog dengan penulis sebagai sahabat dan manajer untuk mereka.
Jadi, 2013 akan menjadi ajang menaiknya agresivitas penerbit. Tentu salah satu yang mendorong hal ini juga mulai menggeliatnya e-Book sebagai komplemen penerbitan baru yang dapat menjadi pilihan para penulis buku. Selain itu, bertumbuhnya pembaca buku yang didorong meningkatnya penggunaan media sosial dan internet juga berpengaruh pada upaya menciptakan ikon-ikon penulis baru untuk pembaca muda Indonesia. Semoga prediksi ini tidak salah.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Saya agak penasaran, apakah di zaman seperti sekarang masih ada penerbit Indonesia yang jumawa dengan kebesarannya?
Terima kasih Mas Bambang, sudah memberi semacam “peta pertempuran” di dunia penerbitan di tahun 2013 ini.
Ada Uda Melvi…. 🙂 mencoba memainkan posisi tawar lebih tinggi dengan kompensasi yang kurang menarik: persentase royalti, tidak ada dukungan untuk event promosi, dsb. Sama-sama Uda, peta yang masih terlihat samar. 🙂
jaminan royalti dalam setahun? wow! berarti mearketing penerbitnya harus bertempur habis-habisan. btw, itu penerbit indonesia?
Ya, karena editor akuisisinya sudah juga bertempur duluan meyakinkan tim marketing. Ini penerbit Indonesia. 🙂
Di penerbit tempat saya bekerja, royalti untuk penulis lokal langsung dibayar di muka, tanpa peduli akan laku atau tidak laku bukunya. Kebijakan (baca: peraturan) ini sudah berlaku sejak kami berdiri hampir 15 tahun lalu. Akan tetapi, sayangnya kriteria penulis lokal yang lulus seleksi begitu ketat–kalau tidak boleh dibilang subjektif, milik bos besar seorang. Mungkin saya yang memandang terlalu sempit, namun yang pasti ada kriteria utama terkait manhaj (cara beragama) yang mutlak harus dimilik siapa saja yang ingin karyanya diterbitkan oleh kami.
Berdasar uraian Pak Bambang di atas, mungkin hanya penerbit sekelas Gramedia yang mampu menerapkan kebijakan kami ini; semoga, jika dilihat sekilas ini sebagai keunggulan, penerapannya langgeng. Wah, jadi melantur sepertinya. Sebagai penikmat blog ini, lama-kelamaan jadi cerewet juga… hehehe.
Untuk kasus-kasus tertentu dengan penulis tertentu, beberapa penerbit juga menerapkan model kompensasi royalti di depan, termasuk penerbit yang pernah saya tangani, bahkan nilainya bisa sampai ratusan juta dan miliaran untuk satu orang penulis. Memang tidak mungkin diterapkan untuk semua penulis karena ada risiko bisnis yang harus dipertimbangkan. Tentulah penerbit itu sangat bergantung pada haluan yang dijalankannya, dan terutama yang selaras dengan ownernya. Begitu Mas.