Kabar mengejutkan bagi kalangan perbukuan itu datang dari Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang hendak melikuidasi empat BUMN dan salah satunya adalah penerbit dan percetakan Balai Pustaka. Dahlan Iskan pun berujar seperti yang dikutip sebuah media.
“Kalau di otak saya, Balai Pustaka itu likuidasi. Saya anggap itu sudah mati, tapi surat ‘kematiannya’ belum keluar-keluar,” kata Dahlan saat ditemui di Kementerian BUMN, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa 12 Februari 2013. Dahlan Iskan yang juga pemilik usaha media Group Jawa Pos serta juga memiliki usaha penerbit bernama JePe Press tampaknya mafhum betul perusahaan plat merah itu sudah tidak mampu bersaing.
Walau prosesnya masih panjang, Dahlan sudah membunyikan lonceng kematian bagi BUMN yang umurnya sangat tua di Indonesia itu–berdiri sejak 14 September 1908. Gaung lonceng kematian ini juga sebenarnya sudah didengungkan sejak zaman Menteri BUMN, Mustafa Abubakar.
Cikal bakal Balai Poestaka adalah sebuah organisasi bentukan pemerintah kolonial Belanda bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volksletuur (Komisi Bacaan Rakyat). Awalnya komisi ini bertugas memilih bacaan yang sesuai untuk rakyat Hindia Belanda. Tujuan utamanya adalah meredam merebaknya bacaan-bacaan bermuatan propaganda melawan penjajah Belanda.
Di bawah kepemimpinan D.A. Rinkes, komisi ini kemudian aktif menerbitkan buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Pada 22 September 1917 karena kesuksesannya menjalankan program penerbitan, komisi ini diubah menjadi Kantoor voor de Volkslectuur dan disebut menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1921, Bale Poestaka malah sudah memiliki percetakan sendiri.
Buku-buku Balai Poestaka kemudian menjadi ukuran gengsi intelektual pada masa itu karena pembaca sasarannya adalah kaum elite serta menggunakan gaya bahasa tinggi. Selanjutnya, perjalanan Balai Poestaka tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya sastrawan-sastrawan Indonesia dengan diterbitkannya buku-buku sastra dari berbagai angkatan dalam bahasa Melayu. Karena itu, hasil kerja Balai Poestaka ini pun beberapanya kemudian digolongkan sebagai heritage yang harus dilindungi.
Kita tentu tak dapat melupakan roman dan novel klasik, seperti Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, Salah Asuhan karya Abdul Moeis, dan Si Dul Anak Jakarta karya Aman Dt. Modjoindo. Para pemimpin Balai Poestaka pun tercatat sebagai orang-orang yang bergiat dalam sejarah sastra dan perbukuan di Indonesia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Ajip Rosidi.
Balai Pustaka Era Modern
Tentulah ada pertanyaan mengapa BUMN penerbitan dan percetakan ini akhirnya tumbang diterpa zaman. Alasan yang dikemukakan Dahlan Iskan bahwa BUMN ini sudah tidak mampu lagi bersaing dengan swasta. Memang tampaknya BUMN ini terlambat mereposisi diri setelah sebelumnya mendapatkan kemudahan karena menjadi pemain tunggal dalam pengadaan buku sekolah lewat penunjukan langsung pemerintah.
Tahun 1970-an dan 1980-an adalah era keemasan bagi Balai Pustaka karena semua buku pelajaran untuk sekolah diadakan dan diproduksi oleh Balai Pustaka. Buku-buku penerbit swasta hanya sebagai pelengkap. Namun, keadaan berubah pada pertengahan 1980-an ketika penerbit swasta, sebut saja seperti Ganeca Exact, Intan Pariwara, Erlangga, dan Rosdakarya mampu memberikan alternatif buku pelajaran modern seiring bergantinya kurikulum dalam masa sepuluh tahun sekali. Balai Pustaka tak mampu berbuat banyak mengandalkan bukunya yang masih mengusung “gaya lama” dalam penyajian.
Balai Pustaka (BP) kemudian diubah menjadi Perseroan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1996 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Pada tahun inilah Balai Pustaka memulai kemandiriannya untuk bertarung secara bisnis dengan penerbit dan pencetak swasta. Angin segar menerpa ketika Balai Pustaka kemudian mengangkat seorang tokoh media yaitu Zaim Uchrowi menjadi direktur BP yang baru. Visi dan misi pun coba diselaraskan dengan kemajuan zaman meski tidak mudah membawa beban masa lalu, terutama para karyawan yang sudah tidak lagi memenuhi standar kompetensi para era modern.
Kesulitan pendanaan membuat BP harus melego assetnya di Jalan Gunung Sahari Raya untuk dijadikan modal kerja dan berpindah ke asset lain di area Kawasan Industri Pulogadung. Pada periode 2010 lalu sepertinya BP berusaha mereposisi kembali perannya mengikuti irama perbukuan modern dan bahkan laporan 2012 menunjukkan bahwa BP meraih laba Rp5,44 M. Meskipun demikan, tampaknya beban masa lalu perusahaan penerbitan tua ini terlalu berat untuk dipikul tiga direksi yang baru.
BP memang tampaknya terlambat melakukan reposisi dan reorganisasi dengan core compentency-nya yang berubah dari penerbit buku-buku sastra menjadi penerbit buku-buku pendidikan/pelajaran. Kompetensi intinya tidak berkembang karena pada saat persaingan terjadi, profesional di bidang perbukuan memang tidak dimiliki BP. Penerbit dan pencetak tentu dua hal yang berbeda karena penerbit “nyawanya” terletak pada gagasan-gagasan kreatif. Di dalam penerbit terlibat para penggiat kreatif, seperti penulis, editor, layouter, dan desainer. Penggiat kreatif sesuai dengan semangat zaman itulah yang terlambat diantisipasi BP untuk direkrut. Akibatnya, buku-buku keluaran BP sama sekali tidak berbunyi dan tidak mampu bersaing di kancah industri perbukuan nasional. Sulit menemukan buku BP yang mencuat dan menarik perhatian kini di toko-toko buku besar seperti Gramedia.
Di sisi lain, BP berusaha mengikuti perkembangan zaman dengan meluncurkan produk multimedia. Namun, alih-alih menyiapkan konten multimedia, BP lebih maju lagi malah menyediakan juga device dalam bentuk tablet yang dinamai Sabak Bubo–mengambil nama alat tulis tempo dulu yang terbuat dari batu bernama sabak. BP tampak berambisi menjadi penerbit yang pertama masuk ke wilayah penerbitan digital, sementara penerbit lain masih menahan diri dan melakukan serangkaian uji coba. Alhasil, diadakanlah tablet 7 inci yang diisi dengan konten (eBook dan multimedia book) mengambil contoh Kindle dari Amazon.com.
Sabak Bubo memang sebuah inovasi dan lompatan, tetapi kajian dari aspek bisnisnya mungkin belum matang, kecuali jika Sabak Bubo dijadikan sebagai proyek Kemdikbud sehingga akhirnya dibeli dengan dana pemerintah. Namun, akan ada pertanyaan tentang harga ketika Sabak Bubo dibandrol di bawah Rp3 jutaan berikut kontennya. Sementara itu, di sisi lain muncul berbagai tablet keluaran berbagai perusahaan dengan kemampuan dan fitur lebih canggih berharga di bawah Rp2 jutaan. Karena itu, proyek Sabak Bubo menjadi pertaruhan serius manajemen BP .
Meskipun diluncurkan sebagai program pembuktian bahwa BP sudah melakukan lompatan dalam dunia perbukuan–sesuatu yang tidak dilakukan penerbit lain, Sabak Bubo tidak menolong BP dari ancaman likuidasi. Tampaknya Menteri BUMN tetap menyarankan untuk rest in peace. Persoalan krusial BP tentang core compentency-nya justru memang tidak terjawab. BP sebagai penerbit tidak mampu lagi menghasilkan buku-buku atau konten-konten pendidikan yang mampu bersaing di pasar. Tentulah konten multimedia yang tengah dibuat BP dan ditanamkan di Sabak Bubo bukan berarti tidak akan dilakukan oleh Gramedia, Erlangga, Intan Pariwara, Yudhistira, dan Grafindo yang merupakan pemain-pemain besar dalam industri buku pendidikan.
Bagaimanapun kompetensi inti dan harta berharga dari sebuah perusahaan penerbit adalah KONTEN berikut pengembangannya. Soal teknologi, itu adalah soal yang dapat diadopsi dari mana pun dengan banyak pilihan di dunia kini. Karena itu, masyarakat pembaca atau pengguna tidak akan terlalu tertarik dengan tabletnya, tetapi lebih kepada tawaran konten yang ada di dalamnya. Begitu dibaca ternyata electronic book atau multimedia book yang ada di dalamnya biasa saja, tablet itu pun tidak akan ada artinya.
Dahlan Iskan dalam keterangannya menyatakan bahwa BP selanjutnya akan “dititipkan” di bawah Kemdikbud. Ini juga menjadi sebuah pertanyaan bagaimana bisa sebuah perusahaan dititipkan di bawah kementerian. Lalu, asset berupa heritage akan dikelola Kemdikbud dan asset lainnya akan dilego ke BUMN lain. Pikiran pun berkelindan tentang Kurikulum 2013 dari Kemdikbud dan ambisi Kemdikbud menyediakan buku babon (buku induk) materi pelajaran dalam waktu singkat. Akankah BP kembali terlibat dalam pengadaan buku-buku paket pendidikan bertema Kurikulum 2013 dan menjadi domain pemerintah untuk mengadakannya? Bagaimana dengan core compentency tadi?
Beristirahatlah dengan tenang Balai Poestaka. Ada menggantung seribu tanya tentang kearifan literasi yang sudah ditanamkan para pendahulunya; akankah ikut punah?

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
padahal buku-buku cerita berkonten pendidikan masih sangat dibutuhkan.
Betul…. BP masih menyimpan ribuan konten yang sangat bagus untuk anak-anak Indonesia