Mengubah Skripsi-Tesis-Disertasi Menjadi Buku

Ini hari ketiga (21/3) saya memberi materi tentang penulisan dan penerbitan buku ilmiah di hadapan sekitar enam belas orang para peneliti LIPI, bertempat di LIPI Press. Senang dapat berbagai kembali dan mengompori sekian peneliti untuk menulis buku yang “bergizi” sekaligus “bergigi”.

Persoalan mengemuka sungguhlah tidak asing lagi yaitu tentang pemahaman sebuah naskah buku. Naskah buku memang harus memenuhi kriteria tertentu misalnya mengandung unsur anatomi buku: preliminaries-text matter-postliminaries. Naskah yang merupakan karya tulis ilmiah (KTI) belum tentu serta merta dapat dijadikan buku. Naskah-naskah KTI nonbuku memang harus dikonversi dulu ke dalam naskah buku.

Nah, gawatnya banyak akademisi ataupun peneliti yang tidak memahami hal ini. Mereka menganggap laporan penelitian bisa langsung menjadi buku, bahkan para sarjana ataupun akademisi merasa skripsi-tesis-disertasi-nya langsung bisa dicetak menjadi buku. Tidaklah sesederhana itu dengan hanya menataletak ulang naskah, diberi kover, lalu diuruskan ISBN-nya. Ada proses lain yang disebut konversi dari naskah nonbuku ke naskah buku.

Saya menyajikan hasil perbandingan Disertasi vs Buku yang disusunWilliam Germano dari bukunya From Dissertation to Book, 2005. Menarik apa yang diperlihatkan Germano tentang perbedaan mencolok antara disertasi dan buku. Sebuah pengalaman pribadi memang menyiratkan hal ini bagaimana ketika seorang doktor yang baru lulus menawarkan disertasinya setebal 700 halaman untuk dibukukan. Disertasi itu belum dikonversi alias apa adanya. Tentu saja hal ini akan menjadi pekerjaan “tambahan” editor karena harus melakukan rewriting dan konversi naskah. Alhasil, disertasi itu tertolak.

LIPI-Hari1-Training

Apa yang harus disadari para calon penulis yang tadinya menulis KTI nonbuku adalah tentang siapa audiens atau pembaca sasaran buku. Kalau kita menulis skripsi, tesis, atau disertasi, kita hanya berusaha menarik dan menyakinkan tim penguji. Namun, ketika KTI itu hendak dijadikan buku, kita harus sadar bahwa pembaca sasarannya ada ribuan orang yang tidak kita kenal sebelumnya.

Belum lagi soal outline naskah yang memang harus diubah dan disesuaikan lebih populer karena akan dibaca oleh banyak orang yang punya kepentingan terhadap naskah. Dalam kasus di LIPI Press, banyak naskah yang diterima memang merupakan hasil laporan penelitian. Di sini akan terlihat pola naskah lazimnya laporan penelitian, tetapi tidak lazim untuk buku.

LIPI-Hari1-Training2

Pada beberapa buku teks Indonesia, saya masih sering melihat pola outline seperti ini diterapkan. Sungguh pembaca buku tidak memerlukan subbab-subbab seperti itu yang tampak kaku, khas karya tulis ilmiah nonbuku.

Lalu, bagaimana? Tentulah penulisan naskah buku tetap harus melalui proses. Naskah KTI nonbuku itu baru merupakan bahan mentah. Ide sudah ada dan tinggal dikembangkan menjadi sebuah naskah buku yang layak untuk diajukan ke penerbit. Hal itulah yang saya latihkan kepada para peneliti di LIPI Press. Ternyata memang banyak ide luar biasa penulisan buku yang tinggal diarahkan dan dikompori tentunya untuk terbit.

Kalau diminta menyajikan contoh buku apa yang termasuk baik penulisan dan penyajian dalam kategori ilmiah populer? Saya menyajikan contoh buku terjemahan ini yang pernah diterbitkan Metagraf (imprint Tiga Serangkai). Buku ini termasuk enak dibaca dan perlu–menjangkau pembaca yang lebih luas.

LIPI-Hari1-Training3

Satu pesan lagi soal niat. Ketika Anda menulis dan menyusun KTI, seperti laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, niatkanlah jauh-jauh hari kalau memang ingin diterbitkan menjadi buku. Artinya, Anda memang harus sudah mengantisipasi hal-hal yang diperlukan jika nantinya harus dikonversi menjadi buku. Dengan demikian, Anda sudah bisa melakukannya secara simultan dan lebih menghemat waktu.

Cerita_Anak_Kontemporer_Page_001Skripsi S1 saya di Fakultas Sastra Indonesia Unpad dibukukan dan lolos dalam penilaian Program Pustaka I, kerja sama Adikarya Ikapi dan Ford Foundation. Skripsi saya ini tentang analisis struktural karya sastra anak (novel) Indonesia. Saya mengubah total outline skripsi meskipun kontennya tetap tidak berubah. Judulnya pun berubah menjadi Fenomena Intrinsik Cerita Anak Indonesia Kontemporer: Dunia Sastra yang Terpinggirkan. Tahun ini saya berencana menerbitkan ulang buku ini dan merevisinya.

Anda tentu tidak akan menyangka bahwa ini adalah buku hasil skripsi yang sudah dikonversi di sana sini menjadi sebuah buku. Pekerjaan konversi yang dilakukan tidaklah memakan waktu lama sepanjang tadi kita sudah meniatkannya kelak akan menjadi buku.

Apakah tesis dan disertasi saya juga dibukukan? Hehehe untuk yang satu ini memang tidak karena saya belum mengikuti pendidikan S2 dan S3–baru niat. Cukuplah saya membantu para lulusannya yang berniat membukukan hasil karyanya itu ke dalam buku yang sebenar-benar buku.

Memang ada buku yang bukan buku? Ada seolah-olah buku, tetapi sebenarnya hanya kumpulan-kumpulan tulisan. Coba lihat bahasannya di sini tentang buku yang bukan buku.

Baiklah, saya sudah harus berangkat ke LIPI Press pagi ini dan besok, Jumat (22/3) berlanjut perjalanan ke Cisarua Bogor, sekali lagi mengompori 21 orang calon penulis buku untuk mau dan mampu menulis buku bersama tim Writers Incubator (WritInc).

Sembari berbagi soal penulisan buku, ide-ide baru pun bermunculan di benak untuk segera dieksekusi. Cuma saya baru mampu menuliskan catatan pagi ini. Mungkin setelah merebahkan lelah sejenak dan keluar dari atmosfer KTI, saya akan kembali menulis buku berbalut rindu. Hehehe []

Penting!

Lembaga pendidikan Anda ingin mengadakan in-house course tentang konversi skripsi/tesis/disertasi/KTI menjadi buku? Kontak TrimKom untuk kursus penulisan-penerbitan buku akademik.

14 thoughts on “Mengubah Skripsi-Tesis-Disertasi Menjadi Buku”

    1. Tentunya menetapkan topik skripsi sama dengan topik yang kemungkinan diinginkan atau diperlukan banyak orang atau untuk pembaca sasaran tertentu. Karena itu, pola risetnya juga harus mempertimbangkan riset yang nantinya dapat menjangkau pembaca sasaran lebih luas. Misalnya, riset yang lebih mutakhir, narasumber riset yang berkompeten, dan memengaruhi kepentingan banyak orang atau bidang ilmu tertentu.

  1. Abu Usamah as-Sulaimani

    Sambil menunggu jawaban pertanyaan Mas Muji, saya ingin bertanya soal karya akademis asing yang tidak melalui proses konversi dahulu namun langsung masuk meja redaksi, hendak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh mana kita bisa melakukan pengubahan dan penggubahan terhadap karya tersebut?
    Apa yang penerbit kami lakukan selama ini cukup sederhana, hanya menambah/mengurangi beberapa sub bahasan dan menyusun ulang sistematika penyajiannya; namun, terkadang terhadap karya yang kompeks mau tidak mau dipertahankan gaya akademisnya, demi merangkul segala ide penulis. Agak abstrak memang pertanyaan ini, dan sifatnya kasuistis, tapi saya tetap berharap mendapat saran atau masukan dari Pak Bambang. Terima kasih sebelumnya,

    1. Dalam editing ada yang disebut substantive editing atau development editing. Banyak kasus seperti itu karena memang penulis tidak teredukasi soal konversi. Alhasil, editor harus melakukan substantive editing dalam kategori editing berat: 1) merombak outline; 2) mengubah gaya penyajian. Untuk kasus menambahi dan mengurangi tentu harus melalui proses perizinan, sedangan konteks mempertahankan memang tidak ada hak editor untuk mengurangi kadar akademis sebuah naskah akademik. Jadi, saya tidak memberi saran karena itu adalah semacam keputusan editorial ketika kita berhadapan dengan naskah. Ujungnya tetap kepentingan pembaca sasaran dan pasar yang dituju.

      1. Abu Usamah as-Sulaimani

        Betul, memang terasa sekali beratnya editing naskah seperti itu. Meski tidak melulu menggarap karya demikian, tetap saja seakan ada yang mengganjal tatkala hendak melakukan improvisasi terkait sistematika penyajian yang mesti disesuaikan dengan kelaziman terbitan buku populer di Indonesia. Sebenarnya, penambahan dan pengurangan yang saya maksud tidak berarti penghilangan sebagian pemikiran penulis yang dituangkan dalam paragraf-paragraf penjelas, mengingat kami masih memegang slogan amanah ilmiah penerjemahan dalam perspektif “sempit”: terjemahkan apa adanya, jangan pedulikan ada apanya. Oya, karya asing tersebut adalah naskah buku berbahasa Arab, sampai lupa menyebutkannya di muka.
        Bicara soal perizinan, seperti konfirmasi ke penulis sebelum menambah/mengurangi tadi, kami mendapati “penyimpangan” dari keumuman yang berlaku. Misalnya, izin terbit diminta langsung ke penulis, bukan ke penerbit tempat penulis mengamanatkan naskahnya untuk diterbitkan. Sengaja kata itu saya petik karena keumuman di negara Timur Tengah, terutama karya-karya yang berorientasi dakwah Islam, mereka tidak menerapkan peraturan HAKI secara ketat–meski beberapa penulis menerapkannya, semilal Syaikh al-Albani dan Syaikn Aidh al-Qarni. Menimbang dari situ pula, kami menganggap penerjemahan yang kami lakukan lebih kepada pengalihbahasaan; mengemas ulang pemikiran penulis tanpa menghilangkan esensinya, sedikit pun. Semoga semua ini dapat dikategorikan ijtihad, ranah kesungguhan berkarya yang tidak berbuah dosa.

      2. Ya Mas… 🙂 saya sudah menduga karya terjemahan itu pastilah karya berbahasa Arab. Negara Arab ada yang menandatangani konvenis Bern sebagai konvensi hak cipta dan ada pula yang tidak, seperti Yaman atau Irak. Memang mereka tidak terbiasa dengan pola akuisisi terjemahan seperti lazimnya transaksi hak cipta. Beberapa penerbit Timteng sudah melek soal ini. Beberapa masih menyerahkan keputusannya kepada penulis, apalagi jika penulisnya seorang ulama. Namun, kasus yang sempat terjadi antara Almahira dan GIP patut menjadi pelajaran. Sengketa hak cipta terkait legalitas yang diberikan penerbit dan yang diberikan penulis.

        Saya juga pernah ke Kairo Book Fair dan melakukan negosiasi dengan cara-cara tradisional banget, bahkan tanda tangan MOUnya di lapak mereka. Namun, dalam menjunjung etiket akademis dan editing, setiap pengubahan selalu dikonfirmasikan. Kami sewaktu di MQS juga pernah mengubah struktur penyajian sebuah buku tentang shalat terjemahan Timteng dan itu sebelumnya sudah kita konfirmasikan tanpa mengubah kontennya. Ya, akhirnya kita memang sah melakukan ijtihad penyuntingan naskah sepanjang maslahat untuk pembaca.

  2. halo pak Bambang, tidak sengaja mampir lagi kemari. soal konversi skripsi dkk ini menarik sekali. wah, harga skripsi-tesis-disertasi bakal naik nih, hehe.. 🙂
    oiya, kalau membukukan KTI orang lain, berarti musti ada statemen tertulis ya, bahwa buku ini ditulis berdasarkan KTI si fulan. based on true story fulan’s KTI. 🙂

  3. mat pg, saya mau tanaya, saya punya satu tesis, dari hasil riset, rencananya saya akan mau buat buku, pertanyaanya saya adalah; untuk hasil-hasil dari penelitian org dan pendapat org sebagai pembanding , nama org ,gimana, apakah masukan semua nama org dari hasil penelitian org

  4. Wah, terima kasih banget buat infonya.
    Ada pertanyaanku nih, saya mau membukukan tesis saya sendiri hasil dari penelitian dilapangan, tapi rupanya skripsi saya sudah duluan dibukukan oleh orang lain. Bagaimana itu?

    1. Skripsi dibukukan oleh orang lain apakah maksudnya diterbitkan orang lain? Bukankah skripsi dan tesis itu berbeda? Tidak ada keharusan berurutan diterbitkan. Artinya, menerbitkan tesis menjadi buku tidak harus menerbitkan dulu skripsi.

Leave a Reply to Muji Sasmito Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.