Adakah penulis buku yang tidak tahu untuk siapa ia menulis buku? Banyak. Satu hal yang dapat ditengarai bahwa sang penulis memang merasa semua orang akan suka dan mau membaca bukunya. Lebih jauh lagi bahwa ada banyak orang yang sangat memerlukan bukunya. Kita ditanya lebih spesifik lagi siapa pembaca sasaran sebenarnya, sang penulis pun bisa kehilangan orientasi.
Memang seperti mudah, tetapi sebenarnya agak sulit mendefenisikan siapa pembaca sasaran kita. Ketika kita merancang sebuah buku, idealnya pembaca sasaran sudah tergambar jelas di depan mata. Siapa mereka? Berapa usianya? Dari kalangan apa mereka berada? Apa mereka punya minat spesifik? Apa mereka punya profesi spesifik? Di sinilah kemudian seorang penulis dapat memetakan apa yang diperlukan atau diinginkan calon pembaca mereka.
Dalam berpikir pemasaran di benak penerbit maka harus ada peminat buku dari kalangan pembaca potensial paling tidak 1.000-3.000 orang sebagai skala ekonomis penjualan buku. Buku pun tidak boleh salah sasaran. Bagaimana mungkin sebuah buku religi Islam ditempatkan di toko buku yang umumnya tidak didatangi kaum Muslim? Bagaimana mungkin sebuah buku akademis perguruan tinggi dijual dalam event bazaar yang pengunjungnya notabene adalah para remaja alay?
Dari sisi penulis kembali jika pun sudah terdefinisi jelas siapa pembaca sasaran mereka–malah lebih bagus jika benar-benar captive–tinggallah memikirkan apa perbedaan buku dibandingkan buku sejenis yang sudah terbit lebih dulu. Harus ada pembeda, kadang harus ada formula pada sebuah buku yang hendak ditawarkan kepada pembaca. Terkadang ada buku yang sebenarnya isinya hanya berputar-putar di situ-situ jua. Namun, pembaca bisa dikecoh dengan judul dan promosi yang bombastis. Pembaca sasaran yang dituju tetap sama dan tipikalnya memang sering lengah dalam membeli buku–tanpa mempertimbangkan benefit lebih untuk mereka.
Jadi, memang ada semacam adagium: buku bagus belum tentu buku yang laku; buku yang laku belum tentu bagus. Kriteria pertama tentu karena salah kemas atau salah pasar disebabkan pemasar/penerbit tidak tahu siapa sebenarnya pembaca sasaran yang dituju atau buku memang tidak punya daya pikat. Kriteria kedua karena buku itu berhasil mengecoh pembaca dengan kemasan, promosi, dan iming-iming sebuah mimpi yang lagi dikejar meskipun kontennya adalah pengulangan-pengulangan dari buku yang pernah ada. Pembaca menjadi tidak rasional lagi.
Idealnya jelas bahwa buku yang bagus semestinya buku yang laku. Kuncinya memang pada pemahaman siapa pembaca sasaran buku ini sebenarnya. Jika tidak terdefinisi, sebaiknya buku tidak diterbitkan, apalagi dicetak dalam jumlah optimis 5.000-7.000 eksemplar. Hal ini karena akan sulit dalam merancang strategi dan eksekusi pemasarannya.
Jadi, jangan heran pula jika terjadi: penulisnya sudah bagus, bukunya sudah bagus, kemasannya sudah oke, tapi pemasaran tetap jeblok. Baru kita berpikir yang harus diganti adalah strategi pemasaran, termasuk orang-orang salesnya sendiri. Apa yang terjadi kadang lagi-lagi soal passion. Seorang salesman yang terbiasa menjual buku pelajaran atau buku teks jika dipaksa menjual buku umum bakal “berantakan”. Sebaliknya, salesman buku umum dipaksa menjual buku pelajaran/buku teks, bakal kedodoran.
Pengalaman saya mengatakan hal itu meskipun ada seorang marketer sesumbar bahwa bagi orang sales apa pun produknya harus bisa dijual. Namun, kenyataannya cobalah memaksa seorang salesman buku pelajaran/buku teks menjual buku umum, hanya ada 1 di antara 1.00 yang berhasil. Kebanyakan para salesman/salesgirl ini ketika produk bukunya berubah kehilangan orientasi pembaca sasaran meskipun kepada mereka dijejali berbagai amunisi product knowledge.[]

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Reblogged this on Haya Najma's.
Penerbit saya sedang menggarap Alquran, sudah masuk tahap akhir, sebentar lagi naik cetak. Namun ada masalah terkait “sasaran pembaca”, jika ingin dibahas lebih lanjut, terutama karena terbitan ini sudah pasti mengerucut kepada kaum muslimin. Terlebih dalam terbitan kami ini tidak menggunakan tashih Depag RI, melainkan Depag Malaysia. Jika ditinjau dari situ, agak sulit menentukan pangsa pasarnya. Mungkin Pak Bambang ada sumbang saran?
Al-Quran yang diedarkan di Indonesia wajib mendapatkan tahsih dari Depag RI karena bakal ada masalah jika tidak; keculai mungkin dengan pemasaran gerilya. Walaupun demikian, jika dilaporkan ke yang berwenang, pasti akan diminta ditarik dari peredaran. Sama halnya beberapa al-Quran kita juga ditolak edar di Malaysia karena menurut mereka “tidak sesuai”.
Ya, kami tahu soal ini. Hanya saja, karena pertimbangan pengurusan tashih yang dinilai amat sulit dan makan waktu lama, akhirnya diputuskanlah mengambil tashih Depag Malaysia, secara kami ada agen tetap di sana juga. Boleh dikatakan strategi gerilya ini seperti “sekali tepuk dua lalat kena”, dilihat dari sisi pemasarannya nanti-insya Allah.
Di luar perizinan dan legalitas ini, saya masih belum mendapat ilmu soal bagaimana menentukan “sasaran pembaca” jika bacaan yang kita usung adalah Kitab Suci seperti Alquran ini. Mohon pencerahannya. 🙂
Ya, itu sih keputusan. Tapi, pasar Malaysia tidak lebih besar dari pasar Indonesia. Soal pembaca sasaran Quran rasa-rasanya sudah terdefinisi jelaslah Mas. Persoalannya sekarang ada kreativitas modifikasi dalam soal context (kemasan) ya itu juga bagian dari policy penerbit. Ada yang buat Quran dengan context wanita untuk menyasar pasar Muslimah. Dari sisi segmentasi berdasarkan harga juga bisa terlihat. Ada Quran yang ditujukan memang berharga murah untuk pasar pesantren-pesantren ataupun keperluan wakaf. Ada Quran premium dengan kemasan luks yang ditujukan untuk pasar-pasar Muslim berduit. Nah, Quran Anda ditujukan ke mana? Kalau pembaca sasaran dalam konteks definisi captive market, ya Quran rasa-rasanya tidak dapat disamakan dengan buku biasa. Jarang ada Quran yang tidak laku.