Pagi ini 17 Mei kembali, sebuah hari yang dicanangkan Rezim Soeharto menjadi Hari Buku Nasional. Hari ini juga menjadi hari jadi dua lembaga perbukuan Indonesia, yaitu Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang ke-63 dan juga Perpustakaan Nasional RI. Selamat pagi Hari Buku Nasional? Apa kabar perbukuan Indonesia?
Kabar perbukuan Indonesia baik-baik saja, bahkan tampak punya gairah. Pertama, pemerintah dalam hal ini Mendikbud telah membuat kebijakan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013. Kemendikbud dalam pertemuan baru-baru ini dengan penerbit anggota Ikapi menyatakan akan melibatkan penerbit untuk pengadaan buku pelajaran Kur2013 karena pemerintah tidak mungkin sendiri memenuhi jutaan buku pelajaran untuk siswa di Indonesia. Kedua, Indonesia telah ditetapkan menjadi Guest of Honour Frankfurt Book Fair 2015–sebuah undangan bergengsi dan tampaknya sudah ada titik temu Indonesia untuk menandatangani MOU dengan pihak panitia Frankfurt Book Fair di Jerman. Ketiga, produksi buku tetap saja menaik meski pasar ditengarai stagnan dalam pertumbuhan 2-3 tahun terakhir ini.
Tidak dimungkiri bahwa buku pelajaran adalah pasar sangat besar di Indonesia. Sebenarnya sudah banyak penerbit buku pelajaran yang rontok diterpa kebijakan ketika Mendikbud sebelumnya membuat proyek buku sekolah elektronik (BSE). Kemendikbud membeli hak cipta secara berjangka dari para penulis buku pelajaran atau penerbit, lalu mengemasnya sendiri hingga menjadi file siap cetak berformat PDF. File itu pun bebas diunduh siapa pun dan bebas diperjualbelikan. Alhasil, terjadi kesimpangsiuran dalam bisnis buku pelajaran karena siapa pun bisa berperan, apakah itu pencetak, penulis, guru, dan tentu penerbit yang bermodal. Harga pagu buku pun ditetapkan dari kacamata percetakan sehingga penerbitan pun berguguran seperti ulat terkena pestisida.
Lalu, kini kran untuk berkreasi menyusun buku pelajaran baru pun dibuka kembali meski tentu regulasi terhadap aktivitas bisnis pemasaran buku tetaplah diperketat. Larangan menjual buku langsung di sekolah yang sering disebut menjadi biang kerok rusaknya tata niaga buku–memotong jalur distribusi ke toko buku–tetap akan berlaku. Kreativitas menjadi kunci untuk maju bagi penerbit buku pelajaran menyesuaikan diri dengan zaman.
Saya yang bergelut dengan dunia buku tanpa henti sejak kuliah 1991 tentu merasakan denyut perbukuan Indonesia yang unik ini mengikuti dua zaman: 1990-an dan 2000-an. Saya masih mengalami bergairahnya penerbitan buku pendidikan (buku pelajaran dan buku pengayaan) karena kucuran berbagai proyek pengadaan buku dari pemerintah. Lalu, buku umum pun menunjukkan geliatnya pada awal 1990-an sehingga memunculkan banyak penerbit baru yang progresif. Gelombang buku motivasi seakan tak henti pascakrisis 1998 hingga kini. Buku-buku fiksi populer juga mulai menunjukkan taji sejak awal 2000-an dan buku-buku ini juga memicu pertumbuhan film-film Indonesia berbasis novel. Buku-buku gaya hidup semakin ramai meniscayakan benar kebangkitan kelas menengah Indonesia. Dan sesuatu yang sedang lahir kini dalam masa inkubasi adalah e-Book!
Content is King! Itu sebuah esai yang pernah ditulis Bill Gates 1 Maret 1996 meramalkan kekuatan konten pada masa depan. Kini kata kunci “konten” itulah salah satu yang menyegarkan dunia buku. Tanpa konten, dunia buku tidak ada apa-apanya. Lalu, siapa penggagas konten itu? Merekalah para penulis dan pengarang yang berusaha eksis mengangkat gagasannya ke permukaan. Digjayanya konten pada sebuah buku dapat diturunkan menjadi produk derivatif industri kreatif lainnya, seperti animasi, film layar lebar, film televisi, T-shirt, game, dan tentunya e-Book. Wajah dunia buku pun berubah dan tentu sedikit banyak dipengaruhi social media.
Hari Buku Nasional tentu harus menyiratkan gairah dan semangat literasi untuk memajukan bangsa. Namun, kita pun patut merenungkan hal-hal yang harus dibenahi terkait penciptaan dan pengembangan konten. Hal tentang kehidupan para penulis/pengarang yang terkadang sulit mencapai “kasta” kelas menengah baru Indonesia–mungkin disebabkan kompensasi yang belum memadai untuk ukuran negara sebesar Indonesia. Begitupun dengan para pekerja perbukuan, seperti editor, layouter, desainer, dan ilustrator. Sampai saat ini mereka semua tidak memiliki asosiasi profesi yang mapan dengan sebuah standar profesi yang bisa dijadikan ukuran profesionalitas mereka di dunia perbukuan. Alhasil, standar gaji para pekerja perbukuan ini pun tidak ada–sama halnya dengan standar nilai sebuah tulisan/naskah dari penulis-pengarang.
Hidup saya memang berjibaku dengan buku. Kadang-kadang bermimpi sekaligus berjuang menghasilkan standar yang baku. Namun, kadang-kadang ide seperti juga tidak laku disapu ambisi bisnis yang kaku. Dan para pegiat di jalan buku niscaya menempuh jalan yang berliku-liku demi memperjuangkan buku.
Selamat pagi Hari Buku Nasional!
Selamat ulang tahun Ikapi!
Selamat ulang tahun Perpustakaan Nasional RI!
Selamat berjibaku dengan buku!
Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia
Ketua Kompartemen Diklat-Litbang-Informasi Ikapi

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.