Tanggal 25 Juli 2013 kemarin, saya dijadwalkan mengisi materi untuk acara “Review dan Finalisasi Bahan Ajar Keterampilan untuk Anak Berkebutuhan Khusus”. Acara yang melibatkan sekitar 30 orang peserta ini digelar oleh Direktorat Pembinaan PK-LK Dikmen Kemdikbud. Saya diminta untuk menyajikan materi tentang “Kaidah-Kaidah Penulisan Bahan Ajar (Modul)”.

Pengalaman soal memberi materi tentang bahan ajar ini biasanya terkait defenisi dari jenis-jenis bahan ajar itu sendiri. Terkadang memang terdapat defenisi yang tumpang tindih antara handout, modul, diktat, dan buku ajar. Lalu, para peserta lokakarya ini sebenarnya membuat apa? Saya mendapat penjelasan bahwa mereka akan membuat sebuah modul.

Berdasarkan karakteristiknya, modul digunakan untuk pembelajaran mandiri sehingga tidak memerlukan peran guru ataupun peran tutor. Jika pun diperlukan peran guru/tutor, dibuatlah panduan tutorial dalam bentuk video ataupun multimedia lainnya yang diformat dalam CD. Selain itu, bisa pula dilakukan pola pembelajaran jarak jauh seperti e-learning ataupun kelas/pembelajaran on-line.
Penulis modul tentu harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu bahwa modul dapat terdiri atas beberapa kegiatan pembelajaran, setiap kegiatan pembelajaran ada tes untuk menguji keberhasilan peserta didik menyerap pembelajaran, ada rangkuman pada akhir pembelajaran, dan setiap mengakhiri satu modul ada tes formatif yang dilengkapi kunci jawaban. Peserta didik pun dapat mengukur sendiri tingkat ketercapaian standar pembelajaran yang ditetapkan kepada mereka. Peserta didik pun dapat mempertimbangkan sendiri apakah mereka perlu mengulang pembelajaran di dalam modul atau sudah dapat masuk ke modul selanjutnya.
Nah, ternyata yang dimaksud dalam pertemuan tersebut adalah penulisan diktat atau cenderung ke buku ajar. Buku tersebut akan digunakan peserta didik dengan bimbingan guru kelas. Apalagi kita pun mafhum bahwa ini diperlukan untuk anak berkebutuhan khusus yang notabene memang perlu pendampingan, tidak bisa dibiarkan belajar sendiri. Pertimbangan utama tentu aspek keamanan, seperti dalam keterampilan menjahit, keterampilan penataan rambut, dan keterampilan automotif yang berhubungan dengan penggunaan benda tajam dan alat listrik.
Contoh modul paling konkret adalah seperti apa yang diterbitkan oleh P2M2 UT yaitu modul untuk para mahasiswa UT yang melakukan pembelajaran mandiri. Jika mereka memerlukan bimbingan tutor, diadakan kelas tutorial dengan memanggil dosen. Selain itu, ada pula perangkat pembelajaran dalam bentuk program televisi dan video tutorial.
Jadi, diktat adalah bahan ajar berbasis kurikulum/silabus dengan anatomi mirip buku (prelims, text matter, postlims). Materi diktat terdiri atas teori, strategi/metode, pelatihan, rangkuman, dan juga evaluasi. Diktat tentu memerlukan guru untuk menjelaskannya. Diktat biasanya dapat dikembangkan menjadi buku ajar yang lebih kompleks sehingga diperlukan juga buku guru.
Untuk pembelajaran berbasis kelas memang diperlukan bahan ajar dalam bentuk handout, diktat, atau buku ajar. Penjelasan dan pengembangan materi oleh guru/dosen/tutor sangat dipentingkan. Di sinilah sebenarnya kualitas seorang guru/dosen/tutor itu diuji soal kreativitasnya yang tidak hanya atau tidak harus bergantung pada bahan ajar.
Nah, jadi lembaga pendidikan Anda mau membuat handout, modul, diktat, atau buku ajar? [BT]
©2013 oleh Bambang Trim

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Nah, berarti dulu benar kalau saya membuat handout…hasyeeek ^_^ tercerahkan pak Gu 🙂