Mimpi Menjadi Penerbit

Sekitar tahun 1999, Ikapi DKI pernah mengadakan lomba penulisan esai Menjadi Penerbit (On Being Publisher). Saya salah seorang peserta yang mengirimkan karya dan ternyata dinyatakan lolos. Itulah kali pertama saya menjadi penyumbang tulisan untuk sebuah buku kumpulan esai. Kala itu saya menulis tentang editor dan mendapat upah tulisan Rp500.000,00. Sudah sangat besar masa itu.

Tentulah saat itu saya menulis dalam sudut pandang sebagai pekerja perbukuan plus karyawan di sebuah penerbit. Memang belumlah terpikir menjadi penerbit dalam arti seorang wirausahawan penerbitan meskipun pada usia 31 tahun saya sudah menjabat sebagai direktur di Penerbit MQ dan selanjutnya di beberapa penerbit lain.

Saya memang menunggu momen yang tepat. Pencarian dalam perjalanan sebagai editor plus penulis buku. Jungkir balik bisnis buku yang saya lihat dari bos-bos saya terdahulu memang menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk menahan diri menjadi penerbit. Namun, tahun 2000 saya sudah mendirikan penerbit sendiri bersama dua orang teman lainnya. Namanya CV Bunaya Kreasi Multidimensi dan salah satu buku yang saya hasilkan adalah Menggagas Buku. Usaha ini akhirnya tutup karena memang modal tak kembali.

Sepuluh tahun kemudian barulah saya mengeluarkan buku dari “rahim” penerbit sendiri bernama TrimKom Publishing House–usaha yang saya dirikan sendiri berbadan usaha CV. Itu pun setelah ada pengalaman mengemas lebih dari 400 buku lewat usaha publishing service yang saya jalankan sejak 2008.

Mengapa harus menunggu begitu lama? Itulah sebuah pertimbangan karena saya tahu bisnis penerbitan buku termasuk bisnis paling berisiko. Namun, saya dengar dan lihat sekarang makin banyak dan makin berani orang-orang muda mendirikan penerbit–meski tanpa modal sekalipun. Tidak sedikit yang begitu pe-de dengan buku hasil kemasannya meskipun mereka sama sekali tidak punya pengalaman, apalagi ilmu mengemas buku. Zaman tampaknya memang telah berganti, semangat saja cukup mengompori orang untuk berani mendirikan penerbit.

Namun, itulah mungkin semangat bisnis, apalagi bumbu entrepreneurship yang sudah kuat mengakar. Tampak bisnis buku memang menggiurkan, apalagi dengan sistem POD saat ini. Buku bisa terbit walau dengan cetakan terbatas.

Untuk soal ini dengan pengalaman lebih dari 18 tahun, saya memang tidak gegabah. Saya mulai menerbitkan buku karya sendiri berjudul Tak Ada Naskah yang Tak ‘Retak’: Panduan Editing Profesional dengan cetak POD sebanyak 500 eksemplar. Dalam tempo tiga bulan buku tersebut habis terjual. Kini, saya pun mencicil cetakannya dalam oplag terbatas dan dijual melalui pelatihan-pelatihan penulisan-penerbitan.

Lalu, saya pun memberanikan diri mengakuisisi ulang buku yang sudah pernah terbit dan mencetak hits yaitu Setengah Isi Setengah Kosong (SISKO) karya Parlindungan Marpaung dan juga buku karya dua orang pasangan penulis (Ikhsanun Kamil dan Foezi Citra) berjudul Menikah itu Mudah. Tiga buku lagi akan menyusul dalam tahun ini juga plus beberapa buku karya saya.

Buku SISKO saya cetak perdana dalam tiras 2.000 eksemplar. Belum ada sebulan, buku ini pun sudah terjual 250 eksemplar secara langsung lewat event pelatihan. Orang ternyata masih menginginkan model motivasi berkisah ala SISKO ini dan buku edisi baru ini lebih besar ukurannya daripada buku edisi lama sehingga lebih nyaman untuk dibaca. Kertasnya juga menggunakan kertas book paper yang ringan. Harganya pun boleh diadu dengan buku sejenis, hanya Rp48.500.

Cover Setengah Isi Setengah Kosong

Tidaklah mudah memang untuk menjadi seorang penerbit. Dana yang diinvestasikan juga lumayan besar untuk ukuran UKM; berkisar belasan hingga bilangan puluhan juta rupiah untuk satu judul buku. Perlu kecerdikan dalam mempertimbangkan naskah apa yang pantas diluncurkan dan bagaimana investasi tadi kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan, bagi penerbit kecil harus mengusahakan untuk tidak terjadi umur buku sampai setahun lebih.[]

1 thought on “Mimpi Menjadi Penerbit”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.