Adalah Guy Kawasaki, seorang penulis yang terkenal dengan julukan Silicon Valley author, kemudian menemukan jalan self-publishing untuk menerbitkan karyanya setelah mendapatkan pengalaman bahwa penerbit bukunya tidak mampu memenuhi pesanan 500 eksemplar buku cetak dari eBook yang diproduksi. Kawasaki masuk jajaran penulis best seller versi New York Times dengan karyanya Enchantment: The Art of Changing Hearts, Minds, and Actions.
Guy Kawasaki, kemudian menuliskan pengalamannya bersama Shawn Welch tentang bagaimana mengelola penerbitan sendiri. Buku itu berjudul Author-Publisher-Entrepreneur (APE). Tesis mereka sederhana soal buku ini yaitu apabila seorang self-publisher (penerbit mandiri) sukses menjalankan tiga peran sebagai author (pengarang), publisher (penerbit), dan entrepreneur (pengusaha), potensi benefit yang akan mereka terima akan lebih besar daripada penerbit tradisional.
Menariknya mereka penyebut para pemeran APE ini akan menjalankan artisanal publishing. Saya mencoba googling apa yang dimaksud dengan istilah artisanal itu. Artisanal (sebagai kata sifat dari artisan) bermakna perajin yang juga punya arti bersifat terampil yang umumnya dalam hal membuat barang-barang kerajinan dengan tangan. Istilah ini sudah lebih dulu saya pakai untuk menyebut pekerjaan saya sebagai perajin buku.
Konsep APE jelas menekankan sebuah proses penerbitan yang sepenuhnya dikontrol penulis. Penulis pun tidak lagi bergantung pada “belas kasihan” penerbit tradisional, bahkan dapat begitu produktif menerbitkan bukunya sendiri. Memang itulah sejatinya sebutan self-publisher.
Bias Self-Publishing
Apa yang justru bias ketika saya melihat konsep self-publishing ini tidak sesuai di Indonesia. Ramai-ramai orang menggunakan jasa vanity publisher (penerbit berbayar), lalu menyebut dirinya self-publisher. Perbedaannya jelas, mereka sama sekali tidak mengontrol penerbitan bukunya, tidak mengontrol editing, layout, dan perwajahan hingga spesifikasi cetak buku. Terakhir, mereka juga tidak bisa mengontrol bisnisnya: harga buku, cara penjualan, dan promosi. Namun, mereka harus membayar untuk itu dan juga berbagi profit.
Peluang untuk menjadi self-publisher pada masa kini jelas lebih mudah dilakukan dibandingkan pada sepuluh tahun lampau–saat saya mulai membaca buku Dan Poynter dan melakukannya. Kini, akses untuk menjadi self-publisher makin mudah dan murah, contohnya dengan adanya layanan print on demand (POD) yang membuat seorang penulis bisa mencetak bukunya 1-200 eksemplar dengan harga lebih murah daripada digital printing. Saya menyebutnya sebagai cetak tes pasar.
Hal lain yang terbuka adalah mencoba menerbitkan awal dulu dengan e-Book. Dengan e-Book, seorang penulis tidak perlu mengeluarkan investasi besar dibandingkan harus mencetaknya. Investasi awal  yang keluar mungkin hanya Rp2-Rp3 juta, bahkan bisa lebih kurang dari itu. Ia hanya perlu keluar biaya untuk layout dan kover buku, lalu mengonversinya ke e-Book.
Biaya itu lebih kecil lagi jika seorang penulis mencoba menggunakan aplikasi semacam iBoo Author. Anda hanya cukup membayar Rp1 juta untuk biaya berlangganan sebagai member selama setahun, lalu menggunakan template yang ada untuk menciptakan eBook Anda sendiri.
Penerbit Besar Merangkul Self-Publisher
Beberapa penerbit besar melihat juga peluang berkembangnya konsep APE ini yang tidak mungkin mereka bendung. Karena itu, Gramedia lewat situs Gramediana juga menawarkan peluang bekerja sama membantu para self-publisher untuk menerbitkan bukunya dengan layanan POD. Begitu pula Mizan yang mulai mengadakan layanan self-publishing ini di situs miliknya. Syaratnya mudah, Anda diminta mendaftar dulu sebagai member hingga bisa mendapatkan fasilitas self-publishing tersebut.
Mizan lewat layanan self-publishing-nya menawarkan layanan dalam bentuk template untuk layout yang bisa Anda pilih dalam format MS-Word dan juga kover buku. Semuanya editable sehingga Anda bisa mengganti teks di dalam template. Lalu, Anda pun tinggal menentukan harga jualnya dan meminta Mizan untuk memasarkannya secara online di toko buku onlinenya. Selanjutnya, jika ada pesanan, buku pun akan dicetak POD sesuai dengan pesanan.

Jika Anda tidak mau menggunakan template standar itu, Anda pun dapat menggunakan layanan custom dari Mizan juga. Contohnya, Anda akan dikenakan biaya Rp500.000,00 per kover. Untuk layout, Anda dikenakan biaya Rp400.000,00, editing Rp12.500 per halaman. Jika Anda menggunakan layanan all in, harga pun dikorting 20%.

Ada dua hal yang disasar dari penerbit yang mengadakan layanan seperti ini. Pertama, mereka juga akan mendapatkan benefit dari layanan yang ditawarkan berupa order. Kedua, mereka juga bisa memantau self-publisher yang potensial untuk kelak ditawarkan menerbitkan bukunya di penerbit mereka dengan cetak massal.
Nah, kemajuan zaman makin menawarkan kemudahan buat kita, bukan? Sulitnya di mana. Ya, sulitnya menciptakan buku yang bisa dijual. Untuk itu, Guy Kawasaki harus menuliskan konsep APE. Kawasaki ingin menjelaskan panjang lebar bagaiman melakoni ketiganya.
Mungkin kalau di Indonesia, saya harus menambahkan “M” menjadi konsep “APEM”. Jangan langsung ingat kue apem, tetapi M-nya adalah mindset. Ya, mindset soal self-publishing harus turut ditanamkan, termasuk bagaimana membuat naskah buku yang bagus itu. Jadi, bukan asal tulis dan asal terbit ketika peluang begitu terbuka.[BT]
©2013 oleh Bambang Trim
Catatan menjelang iftaar, 16 Juli 2013.

Bambang Trim adalah Pendiri Penulis Pro Indonesia (Penprin). Ia telah berpengalaman 30 tahun di dunia penulisan-penerbitan serta telah menulis lebih dari 250 buku (1994–2023). Ia tercatat sebagai perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Ketua Umum Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional periode 2022–2026. Bambang Trim aktif di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek sebagai narasumber dan anggota Komite Penilaian Buku Teks.
Reblogged this on Manajemen Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta.
Pingback: Legitimasi Penerbit Independen « MANISTEBU